Pengratep Karya Agung di Pura Desa Puseh Mengwitani: Keseimbangan Yadnya dalam Siklus Waktu

Enam bulan yang lalu, tepatnya pada Tumpek Kuningan, 5 Oktober 2024, Pura Desa Puseh Mengwitani menyelenggarakan Puncak Karya Agung Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa, dan Mapahayu Nini. Hari itu bertepatan pula dengan piodalan Pura Desa Puseh, menjadikannya sebagai momen suci yang penuh dengan kekuatan spiritual dan semangat yadnya masyarakat. Setelah karya agung besar ini, diperlukan satu tahapan penting yang disebut Pengratep Karya, yang pada tahun ini jatuh pada 3 Oktober 2025, kembali bertepatan dengan Tumpek Kuningan.
Pengratep Karya dilaksanakan sebagai jembatan spiritual menuju piodalan reguler berikutnya, enam bulan ke depan. Dalam konteks ini, odalan pada Tumpek Kuningan tahun ini disebut odalan nyelihan—bukan sekadar piodalan rutin, melainkan sebagai pengikat dan penyeimbang energi yadnya setelah persembahan agung sebelumnya. Oleh sebab itu, upacara ini diselenggarakan dengan skala lebih besar dari piodalan biasa, namun tetap lebih ringan dibanding karya agung.
Empat buah bebangkit dan beberapa pulagembal lepas dipersembahkan dalam upacara ini. Ini adalah simbol rasa bhakti masyarakat yang masih mengalir kuat dan berkelanjutan, sebagai bentuk syukur dan peneguhan spiritual atas karya sebelumnya. Pengratep Karya ini kembali dipuput oleh Ida Pedanda Putra Pasuruan dari Griya Gede Taman Lukluk, yang juga merupakan Yajamana Karya saat puncak karya agung tahun lalu. Beliau didampingi oleh Ida Pedanda Istri Parwati Kemenuh, yang sebelumnya menjabat sebagai Tapeni Karya.
Ida Pedanda Putra Pasuruan dari Griya Gede Taman Lukluk
Prosesi diawali pukul 16.00 WITA, dimulai dengan Ida Bhatara Desa Puseh mesuci ke beji bersama kahyangan tiga, sebagaimana lazimnya prosesi piodalan. Namun, berbeda dengan kebanyakan piodalan di pura-pura desa lainnya, Ida Bhatara Desa Puseh tidak medal secara langsung dalam setiap piodalan. Hanya dilakukan pecanangan Ida, tanpa pawintenan atau ngider, yang menunjukkan satu bentuk luhur kearifan lokal Desa Adat Mengwitani. Kebijakan ini merupakan warisan para the founding father desa adat, yang telah mengantisipasi agar beban masyarakat dalam menjalankan yadnya tidak terlalu berat. Sebab bila setiap piodalan Ida selalu medal, maka frekuensi dan intensitas prosesi akan sangat tinggi dan bisa menjadi beban bagi masyarakat adat.
Baris Gede
Pecanangan Ida tetap diiringi secara niskala oleh petapakan Ratu Ngurah Agung dan Ratu Nyoman dari Pura Desa Puseh, serta Ratu Ketut dan Ratu Bhatari dari Pura Penataran. Setelah mesuci ke beji, prosesi dilanjutkan dengan tarian-tarian sakral seperti pendet, rejang, baris gede, dan disempurnakan oleh topeng sidha karya. Kemudian dilanjutkan dengan murwa daksina tiga kali tiga putaran yang mengelilingi pura, sebagai lambang pergerakan energi Ida Bhatara di tiga loka dan tiga mandala. Prosesi diakhiri dengan pemujaan oleh para sulinggih, dan seluruh rangkaian berakhir dengan khidmat pada pukul 11 malam.
Secara filosofis, Pengratep Karya adalah wujud keutuhan yadnya yang tidak terhenti pada puncak karya agung semata. Seperti kelahiran manusia, Ngenteg Linggih enam bulan lalu adalah simbol kelahiran kembali Ida Bhatara Desa Puseh, saat beliau disthanakan kembali setelah proses pensucian dan pemuliaan. Setelah itu, dilakukan pula upacara nutug bulan pitung dina atau hari ke-42 sebagai lambang perjalanan spiritual pasca kelahiran. Kini, pada “otonan nyelihan”, diadakan kembali upacara sebagai tanda penguatan kembali spiritual beliau, sekaligus penguatan getaran niskala agar tetap menjiwai desa adat dan seluruh krama.
Tarian Rejang Pemendak yang dibawakan Para Serati
Upacara ini menunjukkan bahwa yadnya bukanlah peristiwa tunggal, tetapi berkelanjutan, bertahap, dan penuh kesadaran. Pengratep Karya menjadi titik tengah antara sakralitas besar dan kesederhanaan harian. Ia adalah benang pengikat antara agung dan lumrah, agar getaran spiritual tetap stabil dan lestari. Ketika masyarakat tidak hanya fokus pada kemegahan, tetapi juga menjaga keberlanjutan, di situlah makna sejati yadnya terwujud.
Kehadiran Ida secara niskala saja sudah cukup memberi energi, karena sesungguhnya, yadnya bukan sekadar rupa, tapi rasa dan keyakinan. Keluhuran seperti inilah yang menjadi kekuatan Desa Adat Mengwitani—menyusun tradisi secara bijak agar spiritualitas berjalan seimbang dengan kehidupan sosial masyarakatnya.
Pementasan Topen Sidha Karya, penyempurna atas pelaksanaan yadnya
Sebagaimana pusaran waktu yang terus berputar, yadnya pun terus mengalir. Dari puncak karya ke pengratep, lalu kembali ke piodalan biasa, semua itu adalah napas spiritual desa yang terus hidup. Melalui Pengratep Karya ini, masyarakat Mengwitani tidak hanya mempersembahkan wujud bhakti, tetapi juga merawat warisan tak kasatmata: harmoni, keseimbangan, dan kesadaran suci yang diwariskan para leluhur.