Ngusabha Desa: Kesempatan Emas Ida Bhatara Guru "Ngeyasang" Keluarga Masing-masing

Ngusabha Desa, yang bermakna Negtegan Bhumi, merupakan ritual penting dalam tradisi Bali yang bertujuan untuk menstabilkan keadaan bhumi atau lingkungan dan mencapai kesejahteraan sosial serta spiritual masyarakat. Kehadiran Ida Bhatara Guru sebagai otoritas tertinggi dikeluarga memiliki esensi yang begitu sangat penting dalam Ngusabha Desa ini.

Oct 13, 2024 - 16:18
Oct 13, 2024 - 20:07
Ngusabha Desa: Kesempatan Emas Ida Bhatara Guru "Ngeyasang" Keluarga Masing-masing
Prosesi Ida Bhatara Guru Murwa Daksina

Dalam lontar Widhi Sastra disebutkan bahwa Ngusabha Desa bemakna Negtegan Bhumi, merujuk pada tujuan dari Ngusabha Desa itu sendiri, yaitu menstabilkan atau mengkokohkan keadaan bumi atau lingkungan,  untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Ritual penting ini berfungsi sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial dan spiritual. Ngusabha Desa juga mencerminkan semangat kolektif, di mana kata "Ngusaba" berarti berkumpul/bersama, yang harus dimaknai bahwa kebersamaan menjadi dasar dari ritual ini. Dalam konteks tertentu, berkumpul atau bersama ini dapat bermakna parum.

Dalam konteks Ngusabha Desa, kondisi sosial spiritual masyarakat diwakili oleh kondisi sosial spiritual masing-masing keluarga. Dalam setiap keluarga pasti mengalami duka atau Penderitaan. Penderitaan ini bisa dibawa akibat samsara (kelahiran kembali), dapat juga karena kehendak bebas dalam menjalankan kehidupan. Inilah esensi dari kehadiran Ida Bhatara Guru dalam Ngusabha Desa, yang memegang otoritas tertinggi terhadap kehidupan keluarga. Ngusabha memberikan kesempatan emas kepada Ida Bhatara Guru untuk "Ngeyasang” setiap keluarga, yaitu  menghubungkan setiap keluarga dengan otoritas spiritual yang lebih tinggi. Melalui proses ini, Ida Bhatara Guru mencari dan memohonkan jalan untuk setiap anggota keluarga dalam mengatasi penderitaan yang mereka alami. Dengan harapan agar segala bentuk penderitaan yang terjadi menemukan jalan penyelesaian. Tentu tidak hanya terkait penderitaan, Ngeyasang ini juga terkait hal yang lebih luas yaitu harapan atau cita-cita setiap anggota keluarga yang ingin dicapai.

Tentu ada pertanyaan, apakah jika Ida Bhatara Guru tidak hadir, maka tidak bisa memiliki kesempatan ngeyasang keluarga? Dalam konteks ini, konsep karya Agung sejenis ini adalah menghadirkan Para Dewa dan Para Bhatara agar dapat bertemu secara fisik secara langsung dalam berbagai representasi wujud atau simbol (seperti arca, daksina linggih, dan lain sebagainya). Itu prinsip yang harus dipegang. Kondisi ini dapat dibayangkan seperti saat masyarakat memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pejabat atau pemimpin besar secara langsung, di mana interaksi tersebut membawa makna lebih dalam. Bila konteksnya adalah Para Dewa atau Para Bhatara cukup berstana di alam sunia, tidak bertemu secara fisik, maka tidak diperlukan karya besar semacam ini.

Ngusabha Desa juga berfungsi sebagai momen refleksi bagi masyarakat, mengajak setiap individu untuk bersyukur dan merayakan atas segala anugerah hidup dan kehidupan yang telah diterima, dan berkomitmen dalam menciptakan keharmonisan. Dengan menekankan kebersamaan, ritual ini tidak hanya memperkuat ikatan spiritual, tetapi juga menumbuhkan rasa solidaritas dan saling mendukung di antara warga desa.

Upacara Ngusabha Desa di Bale Agung, Pura Desa Mengwitani, pada tanggal 8 Oktober 2024, menghadirkan 648 Ida Bhatara Guru baik dari Merajan Wayah maupun Carang dari masing-masing keluarga. Untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, Keseluruhan Bhatara Guru dibagi ke dalam 30 sarad berdasarkan wewidangan 15 banjar.

Ida Mpu Dukuh Samiaga Muput Antaran Kambing

Prosesi Ngusabha Desa diawali dengan Nganteb upacara Antaran Kambing pada pukul 07.00, yang dipimpin oleh Ida Mpu Dukuh Samiaga dari Griya Samiaga Penatih. Setelah Nganteb Antaran ini selesai, dilanjutkan dengan prosesi Ida Bhatara Guru Murwa Daksina, di mana Ida Bhatara Guru turun dan mengelilingi Bale Agung sebanyak tiga kali. Pada putaran ketiga, Ida Bhatara Kahyangan Tiga, sebagai otoritas spiritual tertinggi di Desa Adat, turun (tedun) beriringan menuju Bale Agung dengan menginjak Antaran Kambing, diikuti oleh Ida Bhatara Guru lainnya, sebelum semuanya naik (munggah) ke Bale Agung. Setelah prosesi ini selesai dan Ida Bhatara Kahyangan Tiga serta Ida Bhatara Guru semua telah berstana (melinggih) di Bale Agung, barulah upacara Ngusabha Desa dimulai.

Ida Bhatara Guru Napak Antaran Kambing sebelum naik ke Bale Agung

Upacara Ngusabha Desa dimulai sekitar pukul 09.00, dipimpin oleh lima Sulinggih, yaitu: Ida Pedanda Gede Buruan dari Griya Darmasabha, Ida Pandita Mpu Sastra Wedangga dari Griya Sembung, Ida Bhagawan Geniten dari Griya Taman Abiansemal, Ida Rsi Hari Dantam dari Griya Tumbak Bayuh, dan Ida Mpu Dukuh Samiaga dari Griya Samiaga Penatih. Ini dapat dianggap sebagai momen bersejarah bagi Desa Adat Mengwitani, di mana Karya Agung dipuput oleh para Sulinggih dari kalangan "Sarwa Sadhaka".

5 Sulinggih Memimpin Upacara Ngusabha Desa di Pura Desa Puseh Mengwitani

Melalui kesempatan emas ini, Ida Bhatara Guru dapat meyasa, mengatasi penderitaan, dan membawa setiap keluarga menuju kesejahteraan. Ngusabha Desa menjadi simbol komitmen kolektif masyarakat Bali untuk menjaga keseimbangan sosial dan spiritual, menjadikan ritual ini sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan mereka.