Dari Ritual Penolak Paceklik ke Simbol Persaudaraan: Kisah Perang Tipat Dalung

Perang Tipat Bantal di Dalung adalah tradisi tahunan yang lahir dari masa paceklik. Warga melempar tipat dan bantal sebagai simbol keseimbangan, kebersamaan, dan doa turunnya hujan. Hingga kini, ritual ini menjadi wujud syukur dan perekat persaudaraan masyarakat.

Nov 26, 2025 - 08:50
Nov 26, 2025 - 11:01
Dari Ritual Penolak Paceklik ke Simbol Persaudaraan: Kisah Perang Tipat Dalung
Tradisi Mesalaran Desa Adat Padang Luwih (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Padang Luwih (Sumber: Koleksi Pribadi)

Asal Usul dari Masa Paceklik

Pulau Bali bukan hanya tersohor karena alamnya yang menawan, tetapi juga karena warisan tradisi yang sarat makna dan tetap lestari hingga kini. Salah satu tradisi unik tersebut adalah Perang Tipat Bantal atau Mesalaran Tipat Bantal, ritual adat tahunan yang digelar masyarakat Desa Adat Padang Luwih, Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Tradisi ini lahir dari sejarah panjang yang berakar pada masa sulit desa di masa lampau. Konon, Dalung pernah dilanda paceklik panjang. Hujan tak turun, sawah mengering, dan kehidupan warga terancam oleh kelaparan. Dalam kondisi tersebut, para tetua desa memohon petunjuk di Pura Desa lan Puseh.

Pawisik dan Simbol Keseimbangan Alam

Dari sembah bakti itu, datanglah pawisik (bisikan gaib) yang memerintahkan warga membuat olahan beras dalam dua bentuk: tipat (ketupat berbentuk segi empat) sebagai simbol purusha (laki-laki) dan bantal (lontong panjang) sebagai simbol pradhana (perempuan).

Tidak hanya dipersembahkan, kedua makanan ini diminta untuk saling dilemparkan antarwarga dengan sukacita. Lemparan itu melambangkan keseimbangan alam semesta, kebersamaan dalam suka dan duka, serta pesan bahwa keberkahan harus dibagi bersama, bukan disimpan sendiri. Keajaiban pun terjadi: keesokan harinya hujan turun, mengakhiri masa paceklik. Sejak saat itu, Mesalaran Tipat Bantal dilaksanakan setiap Purnama Sasih Kapat sebagai wujud syukur dan perekat persaudaraan.

Rangkaian Prosesi yang Meriah

Masyarakat dibagi menjadi dua kubu (Sumber: Koleksi Pribadi)

Hingga kini, prosesi diawali dengan sembahyang bersama di Pura Desa lan Puseh. Setiap kepala keluarga membawa persembahan enam tipat dan enam bantal. Warga dibagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan letak banjar: utara dan selatan. Tradisi ini melibatkan enam banjar adat: Banjar Tegal Jaya, Celuk, Jeroan, Pendem, Gaji, dan Kwanji.

Masyarakat saling melempar Tipat dan Bantal (Sumber: Kolekasi Pribadi)

Diiringi pengawasan pecalang, warga kemudian berkumpul di depan pura dan saling melempar tipat serta bantal. Suasana yang tercipta bukanlah perang penuh amarah, melainkan pesta tawa dan sorak sorai. Anak-anak hingga orang tua larut dalam suasana riang, seolah seluruh desa kembali diikat dalam satu rasa: gembira, bersyukur, dan bersaudara.