Legenda Danau Tamblingan: Amarah Para Dewa atas Kesombongan Penduduk yang Lupa Diri
Penenggelaman Desa Tamblingan terjadi sebagai bentuk kemurkaan Tuhan karena kesombongan penduduk desa. Meskipun sebelumnya telah diselamatkan oleh air suci dari wabah yang mematikan, mereka mulai melupakan pentingnya rasa syukur. Akibatnya, para dewa menunjukkan konsekuensi dari sikap meremehkan mereka, yang menyebabkan desa tersebut lenyap di bawah air.
Dahulu kala, di lereng Gunung Lesung yang indah di Bali, terdapat sebuah desa kecil namun ramai bernama Tamblingan. Desa ini diberkahi dengan keindahan alam, dikelilingi oleh hutan lebat yang kaya akan flora dan fauna. Penduduk desa menjalani kehidupan sederhana namun penuh kebahagiaan, sebagian besar bekerja sebagai petani, mengolah tanah subur di sekitar mereka.
Yang membuat Tamblingan benar-benar istimewa adalah mata air suci yang terletak di tengah desa. Mata air ini bukan hanya sumber air, tetapi juga dianggap sebagai pemberian ilahi dari para dewa, memberikan penduduk desa dengan kebutuhan fisik dan perlindungan spiritual.
Penduduk Tamblingan sangat religius dan hidup dalam harmoni dengan alam. Mereka secara teratur melakukan ritual dan persembahan kepada para dewa, sebagai ungkapan syukur atas berkah yang mereka terima. Mata air suci ini menjadi pusat dari ritual-ritual tersebut, dan penduduk desa percaya bahwa selama mereka tetap menghormati dan rendah hati, para dewa akan terus melindungi mereka dan desa mereka.
Desa Tamblingan terkena Wabah Misterius. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Namun, sebagaimana takdir menghendaki, bencana mengerikan menimpa desa yang damai ini. Tanpa peringatan, sebuah wabah misterius dan mematikan mulai menyebar di antara penduduk desa. Penyakit ini datang dengan cepat dan tanpa ampun, menyebabkan demam tinggi, kelemahan, dan akhirnya, kematian.
Para tabib desa, yang sebelumnya mampu menyembuhkan penyakit umum dengan ramuan tradisional, tidak berdaya melawan penyakit baru ini. Kepanikan dan keputusasaan menyebar seiring semakin banyaknya penduduk desa yang jatuh sakit.
Dalam keputusasaan mereka, para tetua desa mengadakan pertemuan untuk memutuskan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan penduduk mereka. Mereka menyadari bahwa situasi ini berada di luar kemampuan mereka, dan mereka memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang resi sakti yang tinggal di puncak Gunung Lesung. Resi ini dikenal di seluruh daerah karena kebijaksanaannya yang mendalam dan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan para dewa. Penduduk desa sangat percaya pada resi ini, yakin bahwa dia akan memiliki solusi untuk situasi mengerikan mereka.
Pertemuan para tabib desa kepada Resi. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Sekelompok tetua dan penduduk desa yang masih kuat memulai perjalanan sulit untuk menemukan sang resi. Perjalanan mendaki gunung penuh dengan tantangan. Mereka harus melewati hutan lebat, menyeberangi jurang berbahaya, dan menghadapi berbagai rintangan alam, semuanya sambil dibebani dengan kesedihan dan ketakutan yang menghantui hati mereka. Meskipun menghadapi berbagai kesulitan, mereka terus maju, didorong oleh harapan bahwa sang resi dapat menyelamatkan desa mereka.
Setelah beberapa hari perjalanan yang sulit, kelompok ini akhirnya tiba di kediaman resi di puncak Gunung Lesung. Resi, seorang pria dengan sikap tenang dan damai, menyambut mereka dengan hangat.
Dia mendengarkan dengan seksama saat para tetua menjelaskan situasi di Tamblingan, menggambarkan kengerian wabah yang telah menghancurkan desa mereka. Resi tetap diam sejenak, merenungkan keseriusan situasi tersebut. Kemudian, dia bangkit dan berjalan menuju sebuah mata air suci kecil di dekat kediamannya.
Resi mengambil air dari mata air tersebut dan mengisi sebuah kendi besar yang indah. Dia menyerahkan kendi itu kepada para tetua desa dan berkata, "Air ini diberkati oleh para dewa dan memiliki kekuatan penyembuhan. Bawalah kembali ke desa kalian dan berikan kepada mereka yang sakit. Namun, ingatlah, berkah ini datang dengan tanggung jawab. Kalian harus tetap rendah hati dan bersyukur. Jangan biarkan kesombongan atau ketidaksyukuran merasuki hati kalian, karena para dewa tidak akan mentolerir sikap seperti itu."
Bersyukur atas kebaikan sang resi, para tetua mengucapkan terima kasih dan memulai perjalanan kembali ke Tamblingan, membawa kendi berisi air suci dengan sangat hati-hati. Ketika mereka kembali ke desa, mereka segera membagikan air itu kepada mereka yang sakit.
Ketika para penduduk desa meminum air yang diberkati itu, sebuah keajaiban terjadi mereka yang hampir mati mulai pulih, kekuatan mereka kembali, dan gejala wabah itu hilang. Dalam beberapa hari, desa terbebas dari wabah, dan kehidupan perlahan kembali normal.
Para penduduk desa sangat bersyukur dan merayakan pemulihan mereka yang ajaib. Mata air suci di desa, yang sekarang mereka lihat sebagai sumber keselamatan, menjadi semakin dihormati. Ritual syukur diadakan, dan penduduk desa terus hidup dalam damai dan harmoni, bersyukur atas campur tangan ilahi yang telah menyelamatkan mereka.
Kehidupan sehari-hari Danau Tamblingan. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Namun, seiring berjalannya waktu dan ingatan tentang wabah mulai memudar, demikian pula kerendahan hati dan rasa syukur penduduk desa. Beberapa dari mereka mulai percaya bahwa mereka tak terkalahkan karena air suci itu. Mereka mulai mengabaikan ritual-ritual, menggunakan air dari mata air suci dengan sembarangan dan tanpa rasa hormat yang seharusnya. Peringatan dari sang resi perlahan-lahan dilupakan, dan kesombongan mulai merasuki hati beberapa penduduk desa.
Resi, yang mengamati perubahan ini dari kejauhan, tahu bahwa waktunya telah tiba untuk mengingatkan penduduk desa akan konsekuensi dari tindakan mereka. Dia berdoa kepada para dewa, memohon agar mereka memberi pelajaran kepada penduduk Tamblingan tentang kerendahan hati. Tak lama kemudian, awan gelap berkumpul di atas desa, dan hujan deras mulai turun. Hujan turun tanpa henti selama berhari-hari, menyebabkan sungai meluap dan mata air suci membesar di luar tepinya.
Desa Danau Tamblingan Tenggelam. (Sumber: Koleksi Pribadi)
Banjir itu naik dengan cepat, menenggelamkan rumah-rumah, ladang, dan akhirnya, seluruh desa. Penduduk desa yang tetap rendah hati dan setia melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi, tetapi banyak yang tersapu oleh banjir. Ketika hujan akhirnya berhenti, Tamblingan telah lenyap di bawah danau yang baru terbentuk. Desa itu hilang, tetapi di tempatnya berdiri sebuah danau yang indah dan tenang, yang kemudian diberi nama Danau Tamblingan untuk mengenang desa yang hilang itu.
Hingga kini, Danau Tamblingan dianggap sebagai tempat suci oleh masyarakat Bali. Danau ini berdiri sebagai pengingat kuat akan pentingnya kerendahan hati, penghormatan terhadap alam, dan rasa syukur atas berkah para dewa. Penduduk setempat masih melakukan ritual dan upacara di danau ini, untuk menghormati para dewa dan memastikan bahwa tragedi semacam itu tidak pernah terjadi lagi.