Penunggun Karang : Sebuah Benteng Kuat Skala serta Niskala Masyarakat Hindu Bali
Apakah kalian tau bahwa di setiap rumah masyarakat Hindu Bali terdapat sebuah Tugu yang selalu dibangun oleh masyarakat di bagian barat rumah mereka? Inilah "Penunggun Karang", sebuah tugu yang dibangun dengan apa tujuannya? apa peran yang menyertainya? Bagaimana asal usulnya? Mari kita telusuri bersama dalam artikel kali ini!
Umat Hindu di Bali meyakini bahwa setiap bangunan suci atau Pelinggih pasri diperuntukkan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Bangunan suci atau Pelinggih tersebut diyakini sebagai Stana Dewa Dewi atau Ida Bhatara atau Linggih roh suci leluhur. Keberadaan tempat suci atau pelinggih itu merupakan tempat bagi manusia untuk menjalin hubungan dengan alam niskala. Pada rumah-rumah khas Bali secara umum memiliki dua bangunan suci yang memiliki fungsi sebagai wakil penghuni di alam niskala. Kedua tempat tersebut, yaitu Sanggah Pengijeng Karang (Penunggun Karang) serta Sanggah Pemerajan. Bagi umat beragama Hindu, khususnya di Bali, Sanggah Penunggun Karang atau dapat juga disebut sebagai Palinggih Pangijeng adalah salah satu tempat yang disucikan di wilayah pekarangan rumah mereka. Penunggun Karang ini biasanya memiliki fungsi sebagai sedahan penjaga karang atau palemahan serta penghuninya agar selalu berada dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, aman, tentram, dan rahayu, baik secara sekala dan niskala.
Jika dilihat dari suku katanya, maka Penunggun Karang atau Tugu Karang berasal dari dua suku kata, yaitu kata Tugu yang artinya tahu/mengetahui/berpengetahuan dan kata Karang yang artinya pekarangan/halaman rumah atau karang diri/tubuh. Dalam agama Hindu diyakini bahwa siapapun yang mengetahui karang diri/tubuhnya dengan baik, maka ia akan sejahtera, baik secara sekala maupun niskala. Jika ditelusuri lebih jauh, Penunggun Krang memiliki hubungan dengan Kanda Pat, yaitu empat saudara atau keluarga spiritual yang ada pada setiap orang. Kaluarga yang dimaksud dalam hal ini bisa fisik keluarga yang tinggal di dalam dinding-dinding rumah atau senyawa, sedangkan Pat Kanda atau keluarga mistis yang tinggal di alam mistis. Senyawa tersebut adalah ari-ari yang disebut sebagai Prajapati dan berstana di Sedehan Karang.
Jika diterjemahkan secaha harfiah, maka Pelinggih Penunggun Karang dapat diartikan sebagai kuil atau bangunan suci untuk penjaga rumah. Dalam beberapa Susastra dijelaskan bahwa pada Pelinggih Penunggun Karang yang diistanakan di sana adalah Hyang Bahurekso, artinya yang menjadi penguasa alam secara niskala tempat atau wilayah tersebut. Seluruh penguasa alam seperti Hyang Bahurekso diidentikkan dengan Dewa Ganesha. Jadi, Hyang Bahurekso dikelompokkan ke dalam Ganabala atau pasukan Gana, prajurit Dewa Ganesha.
Dalam Lontar Sudhamala disebutkan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa turun ke dunia dalam dua perwujudan, yaitu Sang Hyang Titah dan Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Titah merupakan perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menguasai alam mistis, termasuk di dalamnya alam Dewa, alam Bhuta Kala, Sorga, dan Neraka. Beliau bergelar Bhatara Siwa yang kemudian disebut sebagai Hyang Guru. Sedangkan, Hyang Wenang turun ke Marcapada menguasai alam berwujud semar atau dalam susastra Bali disebut Malen yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Hyang Titah berstana di hulu, yaitu komplek Sanggah Pemerajan. Sedangkan, Hyang Wenang berstana di teben, yaitu di komplek bangunan perumahan berupa penunggun karang.
Di sumber lain disebutkan bahwa Pelinggih Penunggun Karang merupakan Stana Ratu Made Jelawung. Setelah mendapatkan anugrah dari Dewa Sangkara, maka perwujudan Ratu Made Jelawung menjadi Bhatara Dukuh Sakti. Disinilah Beliau memiliki tugas sebagai Dewa Wates atau pagar, Dewa pelindung segalanya, dan sebagai Dewa penerang, baik bagi Bhuana Agung maupun Bhuana Alit di pekarangan rumah tinggal. Ada juga yang mengatakan bahwa Pelinggih Penunggun Karang merupakan Stana Dewi Durga dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Durga Manikmaya atau dikenal sebagai Sang Hyang Cili Manikmaya. Serta sebagai Stana Bhatara Kala sang disebut Sangkala Raksa yang memimpin Sang Raksa, Adi Raksa dan Rudra Raksa.
Dalam Lontar Sapuh Leger diceritakan bahwa seorang raja bernama Raja Sang Arjuna Sastrabahu berperang dengan Bhatara Kala. Dalam perang itu, Bhatara Kala kalah melawan Raja Sang Arjuna Sastrabahu. Karena kalah, Bhatara Kala akhirnya menyerah dan Raja Sang Arjuna Sastrabahu menugaskan Bhatara Kala dengan Pewarah-warah sebagai berikut: Duh Bhatara Kala mangke ring wayabya ungguhanta, wus kita angrebeda ring rat. Artinya “Hai Bhatara Kala sekarang di Barat Laut (Wayabya) letak tugas menjaga anda jangan lagi mengganggu kehidupan manusia”. Sejak saat itu, Bhatara Kala yang berstana di Pelinggih Penunggun Karang disebut Sang Kala Raksa yang memimpin Sang Raksa, Adi Raksa dan Rudra Raksa.
Tempat atau posisi Penunggun Karang dapat ditempatkan di mana saja yang masih mencakup posisi teben jika yang dianggap bagian hulu adalah Sanggah Kemulan. Namun, ada baiknya jika diletakkan di dekat pintu gerbang rumah karena fungsi Penunggun Karang sebagai penjaga pekarangan rumah. Apabila tidak memungkinkan, maka boleh didirikan di tempat lainnya asalkan masih memenuhi aspek-aspek kesucian. Dalam Lontar Hasta Kosala Kosali disebutkan bahwa Wayabya natar ika, iku Panunggun Karang paumahan, artinya “Di arah Barat Laut (Wayabya) dari natar perumahan itu tempat pemujaan Penunggun Karang”.
Penunggun Karang yang Berlokasi Pada Barat Laut Area Pekarangan (Sumber : Koleksi Pribadi)
Umat beragama Hindu, khususnya yang berada di Bali, di wajibkan untuk memiliki Sanggah Penunggun Karang karena di percaya dapat melindungi penghuni rumah dari berbagai serangan ilmu hitam dengan memberikan banten agar memberikan perlindungan yang maksimal dari Penunggun Karang. Penunggun Karang biasanya di tempati atau di singgahi oleh Hyang yang ditugaskan untuk dapat memberikan perlindungan kepada penghuni rumah dan melindungi pekarangan rumah. Biasanya pemilik rumah akan melakukan ritual nunas baos untuk berkomunikasi dan mengetahui nama penunggu yang berstana di Tugu Pelinggih dan wilayah sekitarnya. Secara skala (kasat mata), diyakini bahwa penunggu karang memiliki kemampuan untuk melindungi rumah dari niat jahat orang lain, seperti pencuri, dengan cara mengubah atau menghilangkan niat jahat mereka. Mereka juga dapat menampilkan wujud seram atau menyebabkan ketidaknyamanan pada individu yang berniat jahat, meskipun tanpa menggunakan metode medis dan menyebabkan orang-orang yang berniat jahat tersebut dapat sakit secara non-medis.
Secara niskala (alam tak kasat mata), Penunggun Karang akan berfungsi sebagai pecalang atau penjaga niskala yang akan selalu menjaga pekarangan rumah. Proses pendirian Pelinggih Penunggu Karang dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut. Pertama, pembuatan lubang pondasi (Ngeroak). Pada tahap ini, dilakukan pembuatan lubang pondasi yang memiliki makna untuk mengubah status tanah dari biasa menjadi suci. Ini adalah langkah awal dalam proses pendirian pelinggih. Kedua, pengukuran lokasi (Nyukat Karang). Langkah ini melibatkan pengukuran lokasi tempat pelinggih penunggu karang akan didirikan. Ini penting untuk menentukan tempat yang tepat sesuai dengan kepercayaan tradisional.
Ketiga, pembuatan dasar (Nasarin). Pada tahap ini, dasar tempat pelinggih dibangun. Ini menciptakan fondasi untuk struktur pelinggih yang akan dibangun. Keempat, pembangunan pelinggih (Memakuh). Langkah ini melibatkan pembangunan atau pemasangan pelinggih penunggu karang itu sendiri. Ini adalah inti dari pembangunan pelinggih. Kelima, penghidupan pelinggih (Ngurip). Dalam tahap ini, pelinggih penunggu karang dihidupkan atau diberi kehidupan spiritual. Ini dapat melibatkan serangkaian ritual dan upacara.
Keenam, pembersihan dan penyucian (Melaspas). Langkah ini berkaitan dengan membersihkan dan menyucikan tempat pelinggih penunggu karang yang baru dibangun. Ketujuh, Ngenteg Linggih. Pada tahap ini, pelinggih penunggu karang dipastikan berdiri dengan tegak dan kuat. Ini juga berkaitan dengan manifestasi Tuhan atau kekuatan spiritual yang diwakili oleh pelinggih. Kedelapan, upacara Piodalan. Langkah terakhir adalah pelaksanaan upacara ibadah atau piodalan. Setelah Tuhan diwakili di pelinggih penunggu karang, umat diharapkan untuk memberikan sesembahan dan penghormatan sesuai dengan tradisi keagamaan mereka.