Lelipi Selaan Bukit: Legenda Tersembunyi dari Tenganan
Sepasang suami istri yang bekerja sebagai surveyor tanah dihadapkan oleh kehilangan panen yang sangat sering. Pemilik tanah, Jero Pasek Bendesa pun menuduh I Tundung. Dan I Tundung memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar beliau menganugerahkan rupa yang menakutkan supaya orang tidak berani lagi mencuri. Namun pada akhirnya, I Tundung dan istrinya menjadi seekor ular.

I Tundung dan I Blenek (Source : Personal Collection)
Di desa Tenganan yang tenang dan asri, tepat di kaki perbukitan yang dikelilingi oleh hamparan sawah menghijau, hiduplah sepasang suami istri bernama I Tundung dan Ni Blenek. Kehidupan mereka tampak sederhana, namun penuh dengan kerja keras dan ketulusan. Desa Tenganan sendiri merupakan tempat yang kaya akan tradisi dan adat, sebuah wilayah yang dijaga ketat oleh norma-norma leluhur yang telah diwariskan turun-temurun. Di tengah harmoni alam dan kearifan lokal ini, I Tundung dan Ni Blenek menjalani hari-hari mereka dengan tekun, bekerja sebagai surveyor tanah yang dimiliki oleh Jero Pasek Bendésa, pemimpin adat yang sangat dihormati dan berpengaruh di desa tersebut.
Sebagai surveyor, tugas mereka bukanlah pekerjaan mudah. Mereka bertanggung jawab mengawasi dan memastikan bahwa tanah-tanah yang dikelola berjalan dengan baik, memeriksa batas-batas lahan, serta menjaga keseimbangan antara hasil bumi dan kebutuhan masyarakat desa. Meskipun pekerjaan mereka menuntut banyak tenaga dan ketelitian, I Tundung dan Ni Blenek tidak pernah mengeluh. Mereka dikenal oleh warga desa sebagai pasangan yang saling mendukung, selalu bahu-membahu dalam menjalani hidup yang penuh tantangan.
Selain itu, mereka juga dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan bersahaja, jarang terlihat terlibat dalam urusan-urusan besar desa. Meskipun hidup dalam kesederhanaan, mereka menikmati apa yang mereka miliki dan selalu merasa bersyukur. Hubungan mereka dengan Jero Pasek Bendésa pun penuh dengan rasa hormat. Sang pemimpin adat mempercayai mereka dengan tanah-tanah penting miliknya, karena tahu bahwa I Tundung dan Ni Blenek adalah orang-orang yang dapat diandalkan, jujur, dan bekerja dengan dedikasi tinggi.
Namun, di balik kehidupan yang tampaknya damai, ada tantangan besar yang siap menghampiri mereka. Tanah yang selama ini mereka awasi dan olah atas perintah Jero Pasek Bendésa mulai menghadirkan masalah yang tak terduga, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang mengancam ketentraman hidup mereka. Sepasang suami istri ini akan segera dihadapkan pada cobaan yang lebih dari sekadar urusan tanah, melainkan sesuatu yang jauh lebih mendalam—sebuah misteri yang mungkin mengguncang kehidupan mereka serta hubungan dengan sang pemimpin desa.
Jero Pasek Bendesa (Source : Personal Collection)
Jero Pasek Bendésa sebenarnya bukan merupakan penduduk asli Tenganan, melainkan seseorang yang diundang secara khusus untuk memimpin desa tersebut. Ia berasal dari luar desa, sebagaimana kelompok Pasek yang berasal dari desa Ngis dan kelompok Pandé yang dipinjam dari desa Tunggak, Bebandem. Kehadirannya di Tenganan didorong oleh kebutuhan untuk mendatangkan figur pemimpin yang memiliki kualifikasi dan peran penting dalam mengelola kehidupan adat serta menjaga keseimbangan sosial di desa tersebut. Tradisi peminjaman atau pengundangan pemimpin dari desa lain ini mencerminkan hubungan yang erat dan saling ketergantungan antar komunitas di wilayah Bali.
Jero Pasek memberikan sepetak tanah (Source : Personal Collection)
Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas dedikasi dan kerja keras yang telah ditunjukkan oleh I Tundung, Jero Pasek Bendésa dengan murah hati memberikan sepetak tanah yang subur untuk diolah dan dimanfaatkan. Tanah itu merupakan hadiah yang sangat berharga, sebuah kesempatan bagi I Tundung untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui pertanian. Awalnya, kebahagiaan menyelimuti I Tundung dan keluarganya, mereka membayangkan masa depan yang lebih baik berkat kebaikan hati Jero Pasek Bendésa. Namun, kebahagiaan tersebut tak bertahan lama.
Meskipun I Tundung bekerja keras mengolah tanah itu, menanam berbagai jenis tanaman, dan merawatnya dengan sepenuh hati, ia mulai menghadapi masalah yang tak terduga. Setiap kali musim panen tiba, hasil tanamannya kerap kali hilang secara misterius. Seolah-olah buah jerih payahnya lenyap tanpa jejak, diambil oleh tangan-tangan tak terlihat. I Tundung pun mulai curiga ada kekuatan gaib yang bekerja di balik peristiwa aneh tersebut, membuatnya merasa terperangkap dalam situasi yang semakin tidak jelas. Keresahan menggelayuti hatinya, ia terus bertanya-tanya, siapa atau apa yang menjadi penyebab hilangnya panen yang seharusnya bisa ia nikmati? Tanah yang semula merupakan hadiah membawa janji kesejahteraan, kini malah menjadi sumber kekecewaan dan misteri.
I Tundung dituduh atas kehilangan tanah tersebut (Source : Personal Collection)
Merasa kecewa dan frustasi akibat hilangnya panen yang terus terjadi, Jero Pasek Bendésa mulai diliputi kecurigaan. Ia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan pengelolaan tanah yang telah dihadiahkannya. Dalam hatinya, ia mulai meragukan kemampuan I Tundung untuk menjaga amanah tersebut. Kecurigaan ini semakin kuat hingga akhirnya Jero Pasek terang-terangan menuduh I Tundung sebagai penyebab hilangnya hasil panen. Ia menganggap bahwa I Tundung mungkin tidak serius dalam mengelola tanah itu, atau bahkan melakukan kelalaian yang membuat panen menjadi gagal atau hilang. Tuduhan ini, meskipun belum tentu benar, dilontarkan dengan nada kecewa dan kemarahan, menciptakan ketegangan yang membebani I Tundung.
Bagi I Tundung, tuduhan tersebut merupakan pukulan berat. Ia merasa tertekan, seakan-akan seluruh jerih payahnya selama ini dianggap sia-sia. Padahal, ia telah bekerja keras, memeras keringat siang dan malam untuk menjaga dan merawat tanah tersebut. Rasa kecewa yang dirasakan Jero Pasek kini seolah berubah menjadi beban bagi I Tundung yang tak hanya harus menanggung kegagalan panen, tetapi juga harus menangkis tuduhan yang menyakitkan.
Tidak ingin terus dibelenggu oleh tuduhan tersebut, I Tundung memutuskan untuk bertindak. Ia menyadari bahwa dirinya harus mencari jawaban atas misteri hilangnya panen, sekaligus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dengan tekad yang bulat, I Tundung memutuskan untuk mencari kekuatan dan pengetahuan, baik dari dunia nyata maupun dunia gaib. Ia mulai mencari petunjuk dari orang-orang bijak, serta mendatangi tempat-tempat keramat, berharap dapat menemukan jawaban yang akan membebaskannya dari tuduhan dan memulihkan kehormatannya. Perjalanan pencariannya bukan hanya untuk mencari kebenaran, tetapi juga untuk menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri yang selama ini tersembunyi.