Pura Puseh Luhur Bedha: Peninggalan Bersejarah Patih Kebo Iwa

Pura Puseh Luhur Bedha terletak di Desa Adat Bedha, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Dibangun sebelum 1343 Masehi, pura ini melibatkan Kebo Iwa dalam pertahanan militer dan pengenalan sistem irigasi subak. Tri Mandala, Bale Agung, dan tradisi persembahan menjadi bagian integral dari keberadaannya. Terdapat juga Ngaben Bikul, upacara unik menyucikan roh hama penyakit, yang mengakar dalam budaya Desa Adat Bedha. Piodalan di Pura Puseh Luhur Bedha sangat kental dilandasi dengan semangat gotong-royong krama, menjadikan pura ini bukan hanya sebuah tempat suci, tetapi juga pusat kehidupan sosial dan budaya.

Nov 19, 2025 - 00:30
Nov 18, 2025 - 21:25
Pura Puseh Luhur Bedha: Peninggalan Bersejarah Patih Kebo Iwa
Pura Puseh Luhur Bedha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pura Puseh Luhur Bedha merupakan Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Subak yang berada di kawasan Desa Adat Bedha, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Terdapat beberapa sumber tertulis yang menyebutkan waktu perkiraan pembangunan pura ini. Sumber tertulis itu, antara lain Lontar Purana Pura Puseh Luhur Bedha dan Lontar Purana Bali Dwipa. Menurut catatan dalam Lontar Purana Bali Dwipa, proses pembangunan pura ini dimulai sebagai bagian dari misi pertahanan militer Raja Bedahulu, yaitu Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten, yang memerintah Bali dari tahun 1328 Masehi hingga 1343 Masehi. Hingga saat ini, bangunan Pura Puseh Luhur Bedha masih kokoh berdiri, dengan atap susunan meru sebelas tingkat yang menjulang tinggi. 

Sosok Kebo Iwa berperan penting dalam berdirinya Pura Puseh Luhur Bedha. Selain sebagai patih (panglima militer). Kebo Iwa juga merupakan seorang undagi atau arsitek. Kebo Iwa-lah yang membangun Desa Adat Bedha sebagai benteng pertahanan Pulau Bali dari serangan/agresi Kerajaan Majapahit saat menjalankan misinya. Benteng itu disebut Bedog, yang digadang-gadang menjadi asal mula nama Desa Adat Bedha. Saat tiba di daerah yang sekarang dikenal sebagai Desa Adat Bedha, Kebo Iwa pertama kali membangun pura dengan merunya yang tinggi yang sekarang dikenal dengan Pura Puseh Luhur Bedha. Selain sebagai Kahyangan Tiga, Pura ini juga menjadi Kahyangan Subak, mengingat Kebo Iwa dahulu merupakan tokoh yang memperkenalkan sistem irigasi dan subak, sehingga dahulu masyarakat sejahtera dengan hasil sawah yang melimpah.

Bale Agung Pura Puseh Luhur Bedha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Struktur Pura Puseh Luhur Bedha mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu terdiri dari Nista Mandala (Jaba Pisan) yang melambangkan bhur loka, Madya Mandala (Jaba Tengah) yang melambangkan bhuwah loka, dan Utama Mandala (Jero) yang melambangkan swah loka. Pura Puseh Luhur Bedha memiliki Bale Agung yang merupakan simbol keagungan dari Kebo Iwa. Bale ini awalnya dipakai untuk menampung bala tentara Ki Patih Kebo Iwa yang jumlahnya 800 orang. Pembuatan Bale Agung tersebut oleh Kebo Iwa menggunakan kayu-kayu yang terdampar di pesisir pantai Selatan Tabanan. Saat itu ada banjir dan badai besar, jadi kayu-kayu besar dari Jembrana hanyut dan terdampar di pesisir pantai Selatan. Itulah yang digunakan untuk membangun tempat peristirahatan Kebo Iwa bersama pasukannya.

Bale Agung ini memiliki area yang sangat panjang, dimana konon Bale Agung tersebut dahulunya merupakan tempat tidur dari Kebo Iwa yang dipercaya memiliki panjang 500 meter dan terdiri dari 1.007 pilar. Yakni mulai dari batas timur Bale Agung yang ada saat ini hingga ke barat melewati Sungai Yeh Empas yang ditandai dengan penemuan bekas pilar. Kini, Bale Agung itu tinggal 16 pilar, Bale Agung tersebut belum pernah diganti kayunya, terutama kayu yang membentuk atap. Sementara pilar terakhirnya yang ada di seberang sungai tinggal sebuah gundukan. Sekarang, gundukan itu menjadi titik pembangunan Patung Kebo Iwa. 

Relief Pada Bale Agung (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Kisah keagungan Kebo Iwa di Desa Adat Bedha ini terpahat pada relief yang mengelilingi Bale Agung. Relief tersebut menceritakan sejarah kehidupan Kebo Iwa, dari sejak lahir sampai menyerahkan diri kepada Patih Gajah Mada saat dijebak di Majapahit. Di dinding-dinding pura juga terdapat relief yang begitu indah, namun dengan cerita yang berbeda, yakni menceritakan tentang pemutaran Gunung Mandara Giri. Di Bale Agung tersebut dikatakan berstana Ida Betara Begawan Penyarikan dan Ida Betara Nusa Mecaling yang selama ini mengayomi masyarakat Desa Adat Bedha agar senantiasa diberikan keselamatan.

Arca Kebo Iwa (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Untuk menghormati atas ketulusan ikhlasan Kebo Iwa, masyarakat Desa Adat Bedha mewujudkan dalam bentuk Arca Kebo Iwa setinggi 2,25 meter. Arca Kebo Iwa tersebut dijuluki “Palinggih Ida Betara Bagus Kebo Iwa” atau “Kebo Taruna”. Tradisi persembahan upacara untuk menghormati jasa-jasa Kebo Iwa dilaksanakan dalam upacara persembahan (piodalan) setiap 6 bulan (bulan Bali) yakni setiap 210 hari sekali yaitu pada hari Rabu, Kliwon hari Panca Wara, Wuku Pahang (Wuku ke-15) yang di Bali disebut Buda Kliwon Pegat Uwakan (Putus karena sudah tiada) atau sebulan setelah Hari Raya Galungan. Salah satu bentuk upacara persembahan yang biasa dilaksanakan pada saat “Melaspas” bangunan suci di Bali seperti Pura dan Arca yang disakralkan berbentuk 2 buah “Sarad”.

Pura Puseh Luhur Bedha disungsung oleh 38 banjar yang tersebar di tiga Kecamatan di Kabupaten Tabanan, yakni Kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan. Tidak heran jika saat pujawali tiba, pura ini akan menjadi penuh sesak oleh pamedek. Piodalan di Pura Puseh Luhur Bedha sangat kental dilandasi dengan semangat gotong-royong krama. Terbukti dalam piodalan, mulai dari ngayah serta biaya karya dilakukan secara gotong-royong dengan iuran dari warga dan tentunya juga disertai bantuan pemerintah.

Nista Mandala Pura Puseh Luhur Bedha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Terdapat tradisi adat khusus yang dapat di temui di Desa Adat Bedha, terutama di Pura Puseh Luhur Bedha, yaitu adalah Ngaben Bikul (mreteka merana). Ngaben Bikul merupakan upacara menyucikan roh hama penyakit khususnya tikus yang mengganggu tanaman padi di sawah, sehingga tidak menjelma Kembali sebagai hama penyakit yang mengganggu di areal subak Desa Adat Bedha. Jika upacara ngaben biasanya dilaksanakan di setra (kuburan) yang dekat dengan Pura Dalem, namun Ngaben Bikul dilakukan mulai dari Nista Mandala Pura Puseh Luhur Bedha. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena Pura Puseh Luhur Bedha selain sebagai Pura Kahyangan Tiga juga berfungsi sebagai Pura Kahyangan Subak. Hal ini terbukti bahwa subak-subak di wilayah Desa Adat Bedha terdapat linggih Bhatari Uma yang bentuk bangunannya bebaturan yang mirip dengan bangunan suci yang terdapat pada Pura Puseh Luhur Bedha.