Menguak Sakralitas Pura Luhur Batubelig: Batu Licin, Khayangan Gunung Kereban, dan Jejak Leluhur yang Abadi di Kabupaten Tabanan

Pura Luhur Batubelig bukan hanya tempat suci, tetapi juga saksi sejarah panjang kerajaan Tabanan. Ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2022, pura ini menyimpan kisah spiritual, peperangan, hingga perjalanan leluhur yang masih dijaga hingga kini.

Nov 26, 2025 - 01:19
Nov 26, 2025 - 10:41
Menguak Sakralitas Pura Luhur Batubelig: Batu Licin, Khayangan Gunung Kereban, dan Jejak Leluhur yang Abadi di Kabupaten Tabanan
Tampak depan Pura Luhur Batubelig, pura suci yang berdiri kokoh di kaki Gunung Batukaru, memancarkan aura sakral sekaligus menyimpan jejak sejarah kerajaan Tabanan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pulau Bali dikenal sebagai pulau seribu pura, dan salah satu pura bersejarah yang memiliki daya tarik spiritual dan historis adalah Pura Luhur Batubelig. Pura ini terletak di wilayah kaki Gunung Batukaru, Desa Rejasa, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, dengan ciri khas pelinggih utama berupa batu besar yang licin karena ditumbuhi lumut. Dari kondisi unik inilah lahir nama Batubelig, yaitu batu berarti batu besar, dan belig dalam bahasa Bali berarti licin. Sejak lama, batu ini dipercaya menyimpan kekuatan suci dan menjadi pusat pemujaan umat Hindu.

Sejarah Pura Luhur Batubelig erat kaitannya dengan dinamika kerajaan di Tabanan pada abad ke-17. Kala itu, konflik besar terjadi antara Cokorde Tabanan dan Cokorde Penebel. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1615–1618 M menyebabkan banyak korban jiwa, kehancuran puri, serta perpindahan para bangsawan dan pengikutnya ke berbagai wilayah. Salah satu tokoh penting adalah Ki Ngurah Made Oka, keturunan bangsawan Tabanan, yang kemudian melakukan tapa-yoga di sebuah hutan bernama Pesagi.

 

Pelinggih Ageng Batubelig, batu licin berlumut yang diyakini memancarkan energi suci, menjadi pusat pemujaan sejak masa leluhur (Sumber: Koleksi Pribadi)

Dalam semedinya, ia menemukan batu besar yang licin dilapisi lumut, memancarkan tanda spiritual berupa api yang muncul dari dasar tanah. Dari peristiwa inilah lahir pura yang dinamakan Khayangan Batubelig atau Pura Luhur Batubelig, yang kemudian dipandang sebagai Khayangan Jagat, tempat suci bagi semua umat Hindu tanpa memandang garis keturunan atau wilayah.

Pura Luhur Batubelig memiliki makna spiritual yang mendalam. Keberadaannya melambangkan kesucian, keteguhan, dan hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi. Selain itu, pura ini juga berkaitan dengan Khayangan Gunung Kereban yang berada di wilayah yang sama. Keduanya diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, menjadi satu kesatuan spiritual dalam menjaga keharmonisan alam dan kehidupan. Makna ini sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana, yakni menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama (Pawongan), serta dengan alam (Palemahan).

Prangkeng Pura Batubelig yang jatuh tahun 2013, jejak keruntuhan yang masih disimpan di area pura sebagai saksi bisu perjalanan panjang warisan leluhur (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pura Luhur Batubelig memiliki sejumlah pelinggih kuno yang sebagian besar masih asli berupa batu. Setiap pelinggih tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan, tetapi juga menyimpan simbol-simbol yang mencerminkan hubungan manusia dengan leluhur, alam, dan Sang Hyang Widhi.

  • Pelinggih Ageng Batubelig

Inilah pusat utama pura yaitu sebuah batu besar berlumut yang licin. Batu ini diyakini sebagai titik energi suci, sekaligus ikon yang melahirkan nama “Batubelig”. Kehadirannya mengingatkan umat akan kekuatan alam yang dijadikan wahana pemujaan.

  • Pelinggih Taksu

Menjadi tempat umat memohon anugerah kecerdasan, karisma, dan ketajaman batin. Bagi masyarakat Bali, taksu adalah daya spiritual yang membuat seseorang disegani dan dipercaya dalam berkarya.

  • Empat Perangkeng

Rangkaian pelinggih berbentuk batu yang menempel pada permukaan tanah yang diyakini sebagai simbol penjaga wilayah suci pura. Salah satunya runtuh pada tahun 2013, namun sisa peninggalannya tetap disimpan di area pura sebagai penanda sejarah.

  • Pelinggih Sang Hyang Maling

Menarik karena namanya, pelinggih ini melambangkan kekuatan gaib yang menjaga kawasan agar terhindar dari kemalingan atau gangguan negatif. Ia adalah simbol proteksi dan keamanan spiritual.

  • Pesimpangan Tamba Waras

Berhubungan dengan penyembuhan. Dahulu dipercaya sebagai tempat memohon kesehatan dan kesembuhan bagi yang sakit. Kini bangunannya dibangun ulang dengan bentuk baru, tetap menjaga makna aslinya.

  • Pesimpangan Muncak Sari

Dihubungkan dengan pemujaan terhadap manifestasi kesuburan. Di sinilah umat memohon agar bumi senantiasa subur, tanaman tumbuh baik, dan hasil panen melimpah.

  • Pesimpangan Batukaru

Menjadi penghubung spiritual dengan Pura Luhur Batukaru yang berada di pegunungan. Hal ini menunjukkan adanya jaringan spiritual antar pura di Bali yang saling menguatkan.

  • Meru Tumpang 3 (kini Meru Tumpang 1)

Dahulu merupakan tempat berstana Ida Bhatara Kawitan Puri Oka Tabanan, leluhur bangsawan Tabanan. Sesuai pesan leluhur, bangunan ini ditata ulang menjadi Meru Tumpang 1.

  • Menhir (Krinan)

Batu tegak yang menjadi pelinggih pengiring, mengingatkan pada tradisi megalitik kuno di Bali yang masih lestari hingga kini.

  • Pesimpangan Rambut Siwi dan Jero Bangbang

Keduanya kini berada dalam satu kompleks, dengan Rambut Siwi di bagian atas dan Jero Bangbang di bawah. Yang dimana dulunya Jero Bangbang adalah tempat untuk melebur (pralina). 

  • Pelinggih Lingga Dukuh Sakti

Sejak lama memiliki bangunan tersendiri. Lingga ini dipandang sebagai simbol kekuatan dan keabadian.

  • Pelinggih Ratu Wayan, Ratu Nyoman, dan Ratu Made

Melambangkan pengayoman leluhur dari tiga generasi utama. Keberadaan tiga pelinggih ini menunjukkan penghormatan masyarakat kepada garis keturunan leluhur.

Keberagaman pelinggih ini membuat Pura Luhur Batubelig tampak seperti ensiklopedia hidup spiritualitas Bali. Setiap sudut pura menghadirkan makna, mulai dari perlindungan, kecerdasan, penyembuhan, kesuburan, hingga penghormatan kepada leluhur.

 

Tampak depan Pura Gunung Kereban, pura suci yang berdiri beriringan dengan Pura Luhur Batubelig, tak terpisahkan dalam menjaga keharmonisan jagat (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pura Luhur Batubelig memiliki keterkaitan erat dengan Khayangan Gunung Kereban, yang sama-sama berada di wilayah kaki Gunung Batukaru. Kedua pura ini tidak dapat dipisahkan karena saling melengkapi, baik dari sisi sejarah maupun fungsi spiritual. Dalam tradisi setempat, keduanya dipandang sebagai satu kesatuan Khayangan Jagat, yaitu tempat suci yang diperuntukkan bagi semua umat Hindu.

Hubungan ini tercermin dari pelaksanaan upacara dan pemeliharaan pelinggih yang dilakukan secara beriringan, sehingga Pura Batubelig dan Gunung Kereban selalu disebut bersama. Kesatuan tersebut juga memperkuat makna bahwa warisan leluhur di Tabanan bukan hanya sekadar bangunan fisik, tetapi juga jaringan spiritual yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Ida Sang Hyang Widhi.

Dokumen resmi penetapan Pura Luhur Batubelig sebagai Cagar Budaya pada tahun 2022 oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan, bukti pengakuan atas nilai sejarah dan spiritual pura (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pada 2 Juni 2022, Pemerintah Kabupaten Tabanan menetapkan Pura Luhur Batubelig sebagai Cagar Budaya. Penetapan ini menjadi bentuk pengakuan resmi atas nilai penting pura ini, baik dari sisi sejarah maupun spiritual. Dengan status tersebut, pengelolaan pura lebih terjamin dan upaya pelestariannya dapat dilakukan secara berkelanjutan oleh desa adat bersama pemerintah.

Pura Luhur Batubelig bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga situs sejarah yang sarat nilai filosofi dan spiritual. Pelinggih-pelinggih kuno yang masih terjaga keasliannya menjadi bukti nyata perjalanan panjang peradaban di Tabanan. Dengan ditetapkan sebagai cagar budaya, Pura Luhur Batubelig semakin diakui sebagai warisan penting yang wajib dijaga kelestariannya. Bagi masyarakat Bali, khususnya Tabanan, pura ini adalah simbol suci, pusat kebersamaan, sekaligus jembatan untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi.