Menyusuri Warisan Tradisi Ngusaba Bantal di Desa Wisata Penglipuran: Cerminan Syukur Menjelang Nyepi

Desa Penglipuran di Bangli tidak hanya memikat lewat keindahan tata ruang dan lingkungannya yang asri, tetapi juga lewat tradisi leluhur yang masih terjaga. Salah satunya adalah upacara Ngusaba Bantal yang rutin digelar menjelang Hari Raya Nyepi. Tradisi sakral ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi wujud rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang melimpah.

Nov 8, 2025 - 06:59
Nov 8, 2025 - 13:51
Menyusuri Warisan Tradisi Ngusaba Bantal di Desa Wisata Penglipuran: Cerminan Syukur Menjelang Nyepi
Warga Desa Penglipuran Menghaturkan Persembahan dalam Upacara Ngusaba Bantal (Sumber: Koleksi Pribadi)

Warisan Tradisi di Balik Pesona Desa Penglipuran

Jalan Utama Desa Penglipuran dengan Deretan Angkul-angkul Seragam (Sumber: Koleksi Pribadi)

Mendengar nama Desa Penglipuran yang berlokasi di Kabupaten Bangli, sebagian besar orang akan langsung membayangkan jalan lurus ber-paving yang rapi, deretan angkul-angkul seragam, serta lingkungan bersih yang membuat desa ini pernah dinobatkan UNESCO sebagai salah satu desa terbersih di dunia. Namun keindahan Penglipuran sejatinya tidak berhenti pada tatanan fisiknya. Yang membuatnya istimewa adalah napas budaya berupa tradisi yang diwariskan lintas generasi, membuat desa ini tak lekang oleh modernisasi.

Salah satu tradisi sakral itu adalah Ngusaba Bantal, upacara syukur atas hasil panen yang digelar setiap menjelang Hari Raya Nyepi. Bagi warga Penglipuran, upacara ini bukan sekadar persembahan, melainkan wujud harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta yang sekaligus menjadi cerminan nyata dari filosofi Tri Hita Karana.

Mengapa Disebut Ngusaba Bantal?

Jaje Bantal, Persembahan Utama dalam Tradisi Ngusaba Bantal (Sumber: Koleksi Pribadi)

Bagi masyarakat Bali, Ngusaba merupakan upacara keagamaan sebagai wujud syukur dan doa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar selalu diberkahi kesejahteraan serta keselamatan. Setiap daerah memiliki tradisi Ngusaba yang berbeda-beda. Di Desa Penglipuran, tradisi ini dikenal dengan nama Ngusaba Bantal. Disebut demikian karena persembahan utamanya berupa jaje bantal, kue tradisional berbahan dasar beras ketan. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam setahun menjelang Hari Raya Nyepi, tepatnya pada Sasih Kesanga atau bulan kesembilan dalam kalender Bali, yang berpusat di Pura Ratu Sakti Mas Ayu Manik Melasem.

Persiapan Menjelang Upacara Ngusaba Bantal

Pura Ratu Sakti Mas Ayu Manik Melasem, Tempat Pelaksanaan Upacara Ngusaba Bantal (Sumber: Koleksi Pribadi)

Persiapan Ngusaba Bantal dimulai enam hari sebelum puncak acara. Pada hari pertama, warga Desa Penglipuran melaksanakan ngaturang piuning di Pura Ratu Sakti Mas Ayu Manik Melasem, doa persembahan yang dipanjatkan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar.

Desa Penglipuran masih mempertahankan cara tradisional dalam mepengarah, pengumuman resmi kepada seluruh krama atau warga desa, di mana petugas berjalan menyusuri jalan utama sambil menyerukan informasi terkait kegiatan adat yang akan dilaksanakan. Lima hari sebelum puncak upacara Ngusaba Bantal, petugas akan menyerukan mepenge baas ketan, menjadi tanda bagi setiap keluarga untuk mulai menyiapkan beras ketan, bahan pokok yang nantinya diolah menjadi jaje bantal.

Jaje Bantal, Persembahan Suci dalam Ngusaba Bantal

Banten yang Dipersembahkan dalam upacara Ngusaba Bantal (Sumber: Koleksi Pribadi)

Sekilas, jaje bantal tampak sederhana. Terbuat dari beras ketan, dibungkus daun ron atau daun aren, lalu diikat tali bambu hingga menyerupai guling kecil. Namun, di balik bentuknya yang mungil tersimpan nilai sakral yang dijunjung tinggi masyarakat Desa Penglipuran.

Dalam upacara Ngusaba Bantal, jaje bantal yang dibuat terdiri dari bantal putih yang terbuat dari ketan murni dan bantal merah yang terbuat dari ketan dicampur gula aren. Jaje bantal yang akan dipersembahkan dianggap pingit atau suci, sehingga tidak boleh dicicipi sebelum dihaturkan. Jika ada yang ingin mencicipi, kue harus dijatuhkan terlebih dahulu ke tanah sambil diucapkan “hus… hus… hus” sebagai tanda bahwa kesuciannya hilang. Hal ini mencerminkan betapa masyarakat menghargai makna spiritual dari setiap sesajen yang mereka persembahkan, sesuai keyakinan Hindu tentang sesuatu yang sukla, yakni suci dan murni.

Banten yang dipersembahkan dalam upacara Ngusaba Bantal tersusun dari 22 kue bantal, yaitu 11 bantal putih dan 11 bantal merah, yang menjadi lapisan paling dasar. Di atasnya ditata buah-buahan hasil panen, sementara di puncak diletakkan canang dari daun ron, dihiasi bunga berwarna biru dan kuning dengan sejumput tembakau di tengahnya. Susunan banten ini bukan sekadar hiasan, melainkan mengikuti aturan baku yang diwariskan turun-temurun, sebagai bukti kesetiaan masyarakat menjaga tradisi leluhur mereka.

Puncak Prosesi Ngusaba Bantal

Prosesi Petabuhan yang Dilakukan oleh 76 Perempuan sebagai Simbol Setiap Keluarga (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pada hari puncak upacara Ngusaba Bantal, prosesi berlangsung di Pura Ratu Sakti Mas Ayu Manik Melasem mulai pukul 06.00 WITA hingga sekitar pukul 11.00 WITA. Salah satu bagian yang paling khas adalah prosesi petabuhan, di mana 76 krama perempuan bergiliran menuangkan tuak ke persembahan. Jumlah ini mencerminkan jumlah rumah di karang induk Desa Penglipuran, sehingga setiap keluarga turut diwakili dalam ritual.

Seluruh upacara dipimpin oleh Jro Kubayan, sesuai sistem kepemimpinan Bali Aga atau hulu apad yang dianut Desa Penglipuran. Tugas Jro Kubayan adalah memastikan prosesi Ngusaba Bantal berjalan tertib dan sesuai aturan adat, memandu setiap tahap upacara dari awal hingga akhir dengan khidmat.

Keberlanjutan Tradisi Desa Penglipuran

Ngusaba Bantal bukan sekadar ritual tahunan, tetapi bagian penting dari tradisi yang menjaga kelestarian Desa Penglipuran. Tradisi ini mengajarkan masyarakat untuk bersyukur atas hasil panen dan menghormati alam sebagai sumber kehidupan.

Keindahan Penglipuran tidak hanya terlihat dari predikatnya sebagai desa terbersih atau tata ruang yang rapi, tetapi juga dari kearifan lokal yang tetap hidup di tengah masyarakat. Upacara Ngusaba Bantal menjadi bukti bahwa sebuah desa bisa bertahan tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan budaya, warisan yang terus dijaga dan diteruskan dari generasi ke generasi.