Pura Luhur Pucak Petali: Tempat Sakral untuk Memohon Keadilan

Pura Luhur Pucak Petali adalah tempat suci di Bali dengan sejarah dan legenda mendalam. Dibangun pada tahun 1272 Masehi, pura ini merupakan hasil kerja keras Bhagawan Rsi Canggu dan Arya Wangbang. Selain sebagai tempat ibadah, Pura Petali juga berperan sebagai pusat pengajaran sastra agama. Tempat ini memancarkan pesan kebijaksanaan kuno, mengarahkan masyarakat menuju keadilan, kedamaian, dan keselarasan dalam perjalanan spiritual mereka.

Dec 29, 2023 - 06:58
Sep 27, 2023 - 22:37
Pura Luhur Pucak Petali: Tempat Sakral untuk Memohon Keadilan

Pura Luhur Pucak Petali (Sumber: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)

 

Pura Luhur Pucak Petali adalah sebuah tempat suci yang mempesona di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali yang sarat dengan sejarah yang mendalam dan legenda menakjubkan. Tempat ini dipercayai sebagai salah satu keajaiban arsitektur dan spiritualitas untuk memohon keadilan, menyatu dalam suatu kisah yang tak terlupakan.

 

Catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pura Luhur Pucak Petali ini dibangun pada masa yang sangat lama, sekitar tahun 1272 atau 1350 Masehi. Pura ini adalah hasil kerja keras Bhagawan Rsi Canggu bersama dengan Arya Wangbang, yang terjadi pada masa pemerintahan Adhipati Samprangan Sri Kresna. Namun, cerita ini juga dihubungkan dengan kehidupan Ida Bagus Angker, seorang putra Rsi Wesnawa Mustika.

 

Rsi Mustika, seorang pertapa yang berjuang untuk kesejahteraan negara selama bertahun-tahun, akhirnya wafat di Besakih. Bagus Angker kemudian memutuskan untuk pindah ke Giri Kusuma, di mana ia mendalami yoga samadhi untuk menyatukan pikiran suci. Tempat ini kemudian diberi nama Gunung Sari, sedangkan tempat tinggal Bagus Angker disebut Jatiluwih setelah ia menjalani dwijati dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Canggu.

 

Bagus Angker dan Arya Wangbang, dibantu oleh masyarakat setempat, membangun khayangan yang kemudian diberi nama Pura Petali. Bhujangga Rsi Canggu, yang dikenal luas dalam bidang sastra agama, ilmu kebatinan, dan kedokteran tradisional, menjadi pencerahan spiritual bagi masyarakat pada masanya. Kehadiran Pura Petali ini memenuhi peran penting sebagai pusat kegiatan spiritual bagi Rsi Canggu dan para pengikutnya, serta bagi masyarakat setempat pada saat itu.

 

Pura Petali diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang mengikat bumi dan jagat raya. Nama "Petali" sesuai dengan keyakinan ini, mengisyaratkan bahwa pura ini adalah pusat produksi gelombang spiritual yang mampu memberikan perlindungan kepada manusia dan alam semesta.

 

Pada awalnya, ketika ditemukan, pura ini hanyalah tumpukan batu berbentuk tugu yang terletak di tengah hutan di dataran tinggi. Masyarakat setempat membangun pura ini setelah melakukan permohonan kepada dunia gaib. Namun, pura ini harus dibangun sesuai dengan petunjuk gaib, termasuk bahwa tinggi bangunannya tidak boleh melebihi batang pohon misterius yang tumbuh di lokasi tersebut.

 

Patung Ganesha (Sumber: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)

 

Di tempat awal ditemukannya tugu batu ini, sekarang berdiri beberapa pelinggih. Pelinggih tertinggi adalah Gedong Tamblingan dengan lima tingkat, dan ada juga Gedong Kerinan dan Gedong Simpen. Selain itu, terdapat beberapa piyasan. Lokasi Pura Petali yang luas, sekitar 10 hektar, telah diatur dengan indah, termasuk dalam bentuk jaba tandeg, jaba tengah, dan jeroan. Di jaba tengah, kita dapat menemukan beberapa pelinggih dan beji yang memperkaya keragaman tempat suci ini.

 

Desa Adat Jatiluwih telah menjadi pengempon dan penjaga Pura Petali sejak zaman kuno. Puri Tabanan juga memiliki peran penting dalam melindungi dan merawat pura ini. Upacara piodalan di Pura Petali jatuh pada Buda Kliwon Ugu. Lima banjar Adat di Desa Adat Jatiluwih, yaitu Jatiluwih Kawan, Jatiluwih Kanginan, Kasambahan Kaja, Kesambahan Kelod, dan Kesambi, bekerja sama dalam penyelenggaraan upacara yadnya.

 

Meskipun Pura Petali berada dekat dengan Pura Luhur Maha Warga Bhujangga Waisnawa, keduanya memiliki peran yang berbeda dalam sejarah. Pura Luhur Waisnawan memiliki status kawitan, sementara Pura Petali adalah sungsungan jagat.

 

Selain sebagai pusat aktivitas pemujaan, Pura Petali juga memiliki peran sebagai pusat pengkajian dan pengajaran sastra agama, terutama ajaran Weda, bagi pengikut Rsi Canggu dan masyarakat sekitar Jati Luwih. Rsi Canggu, dengan keahliannya dalam pengajaran sastra agama, memberikan warisan pengetahuan yang berharga di tempat ini. Pura Petali memainkan peran penting dalam memperluas pengetahuan agama dan spiritualitas di Bali.

 

Menurut Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, seorang tokoh Hindu, tradisi guron-guron di Bali bertujuan untuk meningkatkan aspek rohani masyarakat hingga mencapai status dwijati melalui proses diksa. Setelah mencapai status dwijati, langkah selanjutnya adalah mendirikan pasraman untuk membimbing masyarakat yang ingin menjadi murid atau sisya. Proses guron-guron adalah tempat seorang dwijati, juga dikenal sebagai Sang Meraga Putus, menyebarkan pendidikan rohani dan menjadi Sang Patirthan.

 

Pendidikan rohani ini bertujuan agar masyarakat dapat hidup sesuai dengan konsep Catur Asrama. Setiap asrama memiliki disiplin hidup tertentu, mulai dari tahap Brahmacari yang berfokus pada dharma, hingga tahapan hidup Grihastha yang mengejar Artha dan Kama. Wanaprastha dan Bhiksuka kemudian mengutamakan pencapaian tujuan hidup tertinggi, yaitu moksha.

 

Penunggu Karang (Sumber: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)

 

Pura Luhur Pucak Petali adalah warisan berharga dari Bali yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari sekadar tempat ibadah, pura ini juga adalah lambang kearifan dan kedamaian yang abadi. Warisan ini tidak hanya menghidupkan kembali nilai-nilai kuno, tetapi juga membimbing masyarakat dalam pencarian mereka akan keadilan, kedamaian, dan keselarasan dalam perjalanan spiritual mereka.

 

Pura Luhur Pucak Petali terus menginspirasi dan memberikan ketenangan bagi semua yang datang untuk mengunjunginya. Di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung, pura ini tetap memancarkan pesan kebijaksanaan kuno, mengarahkan masyarakat menuju keadilan, keselamatan, dan kehidupan yang penuh makna yang selalu mereka cari dalam perjalanan spiritual mereka.

 

Di pura ini terdapat juga berbagai pelinggih pasimpangan seperti meru Tumpang Lima di sudut timur laut pada areal Jeroan Pura Utama Mandala. Meru Tumpang Lima ini sebagai media pemujaan Bhatara Dewi Danu di Danau Tamblingan. Upacara Pujawali di Pura Luhur Pucak Petali adalah setiap enam bulan wuku, yakni tiap Buda Kliwon Wugu. Dengan adanya pemujaan pada Dewi Danu, berarti Pura Luhur Pucak Petali juga sebagai pura untuk memohon keselamatan pertanian dan arti luas.

 

Dengan adanya pelinggih pesimpangan Ida Bhatara Dewi Danu, di Pura Luhur Pucak Petali ini umat diingatkan untuk menjaga kelestarian danau sebagai sumber air. Kalau melestarikan danau sebagai sumber air tentunya tidak mungkin tidak melakukan upaya Wana Kerti artinya menjaga kelestarian hutan.

 

Di luar areal pura, yakni di sebelah utara temnok penyengker pura terdapat pelinggih Beji. Di Pelinggih inilah umat memohon bahab tirtha yang digunakan di Pura Luhur Pucak Petali pada saat ada upacara baik upacara piodalan atau pujawali, maupun saat hari raya upacara keagamaan lainnya.