Pura Pulaki: Akar Sejarah dan Keabadian Spiritual Legenda Bali Utara
Pura Pulaki, destinasi suci di Bali Utara, menawarkan keindahan alam yang memukau dengan pemandangan laut, bukit, dan kehadiran kelompok monyet. Berkaitan dengan perjalanan spiritual Danghyang Nirartha, pura ini juga tempat moksa Mpu Isteri Ktut, menciptakan momen spiritual unik yang menjadi dasar pembangunan pura yang kaya makna sejarah dan spiritual di Bali Utara. Keberadaan Utamaning Mandala yang disucikan dan interaksi dengan kera-kera lokal menjadi daya tarik, sementara mata air tawar di sekitarnya memberikan kesegaran dan kesejukan bagi pengunjung dengan penghormatan terhadap keberlanjutan dan spiritualitas tempat suci ini.
Patung Dang Hyang Nirartha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Pura Agung Pulaki juga dikenal sebagai Pura Petirtaan, merupakan destinasi suci yang memukau di Bali Utara. Terletak di Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, pura ini memiliki lokasi yang strategis tepat di pinggir jalur Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk. Dengan jarak sekitar 53 kilometer ke arah barat Kota Singaraja, Pura Pulaki sering dikunjungi oleh umat Hindu yang hendak bersembahyang, terutama saat mereka melewati Gilimanuk menuju Singaraja atau sebaliknya.
Posisinya yang berada di kaki bukit dan menghadap langsung ke arah laut memberikan pemandangan yang sangat indah. Suasana alam yang menarik dan keberadaan kelompok monyet di sekitar Pura Pulaki menambah daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, sehingga tempat ini telah masuk dalam daftar destinasi wisata pura yang populer di Bali Utara.
Pura Pulaki di Buleleng tidak hanya dikenal sebagai situs sejarah dan keindahan alam, tetapi juga memiliki hubungan mendalam dengan perjalanan spiritual Danghyang Nirartha. Menariknya, pulau ini juga menjadi tempat moksa Mpu Isteri Ktut, yang merupakan istri setia Danghyang Nirartha, dan dikenal sebagai Bhatari Dalem Ktut.
Kisah ini berawal ketika Sri Patni Kaniten, istri Danghyang Nirartha, turut serta dalam perjalanan spiritual suaminya dari Blambangan ke Bali. Namun, sampai di Pura Pulaki, Sri Patni Kaniten merasa tidak mampu melanjutkan perjalanan karena sedang hamil. Dengan penuh kebijaksanaan, Danghyang Nirartha memberikan izin kepada istrinya untuk tinggal di Pulaki. Sri Patni Kaniten pun memohon untuk tidak melanjutkan perjalanan dan mendapat izin tersebut. Akhirnya di Pura Pulaki, Sri Patni Kaniten menetap dan mencapai moksa. Sampai saat ini disembah sebagai Bhatari Dalem Ktut.
Selain kisah Mpu Isteri Ktut, Pura Pulaki juga terkait erat dengan perjalanan Danghyang Nirartha. Istirahat yang dimohonkan oleh Sri Patni Kaniten pada suaminya menciptakan momen spiritual yang unik. Frustrasi dan kesabaran istri Danghyang Nirartha yang mencapai puncak ketika Dewata mengabulkan permohonan dengan syarat dirinya tidak tampak oleh manusia. Pada kilatan kilat dan gemuruh guruh, rombongan itu lenyap, beralih menjadi suci dan wong gamang.
Tempat moksa istri Danghyang Nirartha kemudian menjadi dasar untuk pembangunan Pura Pulaki, tempat suci untuk memuliakan dan memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Kisah ini, bersama dengan keindahan alam dan arsitektur pura yang megah, membuat Pura Pulaki menjadi destinasi yang kaya makna spiritual dan sejarah di Bali Utara.
Utamaning Mandala (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Pura Pulaki mempersembahkan keistimewaan dengan adanya Utamaning Mandala, pelinggih utama yang dijaga ketat dan tidak boleh dijejaki oleh siapa pun, termasuk pemangku adat. Lokasi suci ini hanya boleh dimasuki pada acara atau upacara tertentu, seperti upacara ngenteg linggih, demi menjaga kesuciannya.
Selain keunikan tersebut, Pura Pulaki juga dianggap sebagai warisan dari zaman prasejarah. Tata letak dan struktur puranya mirip dengan bangunan sarana pemujaan masyarakat prasejarah, dan dugaan ini diperkuat oleh penemuan berbagai alat perkakas batu, seperti batu picisan dan kapak, pada tahun 1987.
Dengan ornamen batu berwarna hitam yang mendominasi, Pura Pulaki menghadirkan keindahan khas di lereng perbukitan, lengkap dengan suasana lingkungan yang diperkaya oleh gemuruh suara ombak laut.
Pentingnya menjaga kesucian Pura Pulaki tercermin dalam aturan yang berlaku, seperti persiapan Banten Pejati. Namun, perlu memastikan bahwa tutup Utamaning Mandala tetap tertutup agar terhindar dari gangguan monyet yang sering berkeliaran di sekitar pura. Semua peraturan, kecuali untuk Canang dan Kewangen sebagai sarana sembahyang, ditempatkan di dalam area yang diamankan dengan kawat, sehingga terlindungi dari intervensi monyet-monyet tersebut. Dengan demikian, para pengunjung dapat menikmati kehadiran monyet-monyet tanpa gangguan, mempertimbangkan pura sebagai rumah mereka.
Monyet Pulaki (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Pura Pulaki, yang terletak di bukit terjal berbatu dan kering dengan laut membentang di depannya, menawarkan pemandangan yang memukau. Bukit yang berada di sebelah barat dan memiliki bentuk tanjung kecil menambahkan suasana menarik di sekitarnya. Suasana alam yang dipadukan dengan elemen batu dan laut menciptakan lingkungan yang unik di Pura Pulaki.
Kehadiran kera-kera yang hidup di sekitar pura menjadi daya tarik tersendiri. Binatang tersebut sering berkumpul di halaman pura karena mendapat makanan dari para pengunjung. Interaksi ini menciptakan momen yang menyenangkan dan tak terlupakan bagi para wisatawan yang berkunjung.
Di dekat Pura Pulaki, tepatnya di Teluk Pulaki Buleleng, terdapat sejumlah mata air tawar yang dapat diminum oleh pengunjung. Keberadaan mata air ini memberikan kesejukan dan kenyamanan bagi para pengunjung, yang dapat menikmati air segar sambil menikmati keindahan sekitar. Penting untuk diingat bahwa mata air ini dianggap suci oleh warga setempat, sehingga para pengunjung diharapkan untuk tetap menjaga perkataan dan perbuatan mereka selama berada di area mata air maupun area Pura Pulaki. Menghormati keberlanjutan dan spiritualitas tempat suci ini merupakan bagian integral dari pengalaman wisata yang bermakna di Pura Pulaki.