Antara Sekala dan Niskala: Pura Dalem Ulunsuan sebagai Gerbang Penyambutan Tamu Spiritual
Pura Dalem Ulunsuan di Denpasar merupakan pura tua yang berfungsi sebagai gerbang penyambutan tamu spiritual dari ranah niskala. Piodalan yang bertepatan dengan Hari Raya Pagerwesi berlangsung selama empat hari, menjadikannya berbeda dari pura lainnya. Selain itu, pura ini juga kerap menjadi lokasi upacara metatah massal sebagai simbol penyucian diri. Keunikan pelinggihnya menegaskan peran pura ini sebagai titik temu antara sekala dan niskala.
Pura Dalem Ulunsuan di Banjar Abiantimbul, Denpasar Barat, merupakan pura tua yang unik karena berfungsi sebagai gerbang penyambutan tamu spiritual dari ranah niskala. Terletak di tengah hiruk pikuk kota namun tetap menghadirkan suasana teduh, pura ini menjadi simbol pertemuan antara sekala dan niskala. Piodalan yang jatuh bertepatan dengan Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan hingga empat hari, menegaskan perannya sebagai ruang penghormatan terhadap kekuatan gaib sekaligus penguatan iman umat. Dengan pengelolaan modern dan peran spiritual yang kuat, Pura Dalem Ulunsuan mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan nilai sakral yang tetap terjaga.
Pura Dalem Ulunsuan Saat Hari Raya Pagerwesi (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Dalem Ulunsuan yang berada di Banjar Abiantimbul, Desa Adat Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat, merupakan salah satu pura tua yang masih aktif difungsikan hingga saat ini. Lokasinya berada di sebuah gang kecil bernama Gang Ulunsuan, yang bisa diakses dari Jalan Imam Bonjol, salah satu ruas jalan utama dan tersibuk di Kota Denpasar. Keberadaan pura di tengah padatnya wilayah urban Denpasar menjadikannya unik. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan, tetapi juga sebagai ruang sakral yang menjaga keseimbangan di tengah perubahan kota yang modern. Kehadiran Pura Dalem Ulunsuan di lokasi ini seakan memperlihatkan bagaimana unsur sekala dan niskala hadir beriringan. Sekala berupa kepadatan kota dengan lalu lintas niaga yang tak pernah berhenti, sementara niskala hadir melalui suasana spiritual yang tetap terjaga di dalam pura.
Sejarah Pura Dalem Ulunsuan tidak diketahui secara pasti, tetapi menurut catatan warga dan pemangku, pura ini telah ada sejak lama dan pernah mengalami renovasi besar pada tahun 1950, khususnya di bagian kori agung. Hingga kini, pura tetap difungsikan sebagai pusat persembahyangan dan ritual, serta menjadi tempat penting dalam praktik religius masyarakat sekitarnya.
Suasana Persembahyangan di Pura Dalem Ulunsuan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Secara sekala atau fisik, struktur Pura Ulunsuan menampilkan deretan pelinggih di sisi timur utamaning mandala. Beberapa bangunan masih menggunakan bata merah tanpa semen, mempertahankan keaslian arsitektur tradisional, sementara beberapa atap telah diganti dengan genteng agar lebih mudah dirawat. Di Pura Dalem Ulunsuan terdiri dari beberapa palinggih, mulai dari Palinggih Ibu, Palinggih Ratu Gede Panglurah, Palinggih Batur, Palinggih Ratu Gede Pangenter, Tajuk Kalantaka, Gedong Dalem Ulunsuan, Dalem Majapahit, Dalem Mekah, Dalem Cina, dan Palinggih Dewa Pregina. Keunikan yang paling menonjol terdapat pada pelinggih dengan nama-nama simbolis, yakni Dalem Cina, Dalem Mekah, dan Dalem Solo. Meski terdengar seperti merujuk pada tempat nyata, penamaan tersebut sejatinya bukan menunjuk lokasi geografis tertentu, melainkan lambang dari sesuatu yang jauh, asing, dan sulit dijangkau pikiran manusia. Keberadaan pelinggih-pelinggih ini menegaskan bahwa Pura Dalem Ulunsuan memiliki fungsi khusus sebagai penerima tamu spiritual dari ranah niskala. Pelinggih menjadi jembatan penting yang menghadirkan dimensi gaib ke dalam ruang sekala, menghadirkan keyakinan bahwa yang tak kasat mata pun bisa dihormati melalui simbol-simbol nyata.
Dalam ranah niskala, Pura Dalem Ulunsuan memiliki kedudukan penting sebagai pura yang diyakini menjadi tempat penerimaan tamu dari luar negeri dalam arti spiritual, yaitu entitas atau kekuatan gaib yang datang dari wilayah tak kasat mata. Konsep ini tercermin dalam pelaksanaan piodalan yang jatuh pada Buda Kliwon Wuku Sinta, bertepatan dengan Hari Raya Pagerwesi.
Ngayah Tari Rejang di Pura Dalem Ulunsuan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Hari Raya Pagerwesi sendiri dimaknai sebagai hari untuk memperkuat iman dan keteguhan batin umat Hindu. Pagerwesi secara filosofis berarti “pagar besi”, simbol dari benteng spiritual yang melindungi manusia dari pengaruh buruk. Di Pura Dalem Ulunsuan, Pagerwesi memiliki keistimewaan tersendiri karena piodalan berlangsung hingga empat hari penuh, bukan hanya sehari sebagaimana lazimnya pura lain. Lamanya upacara ini dimaknai sebagai bentuk penghormatan lebih besar kepada tamu niskala yang hadir, sekaligus penguatan keyakinan masyarakat dalam menjaga keseimbangan hidup. Pagerwesi di pura ini menjadi momentum ketika umat tidak hanya memohon keselamatan, tetapi juga membuka ruang penyambutan bagi kekuatan spiritual yang datang dari luar, menjadikannya titik temu antara sekala dan niskala.
Selain berfungsi sebagai pura penerima tamu niskala, Pura Dalem Ulunsuan juga memiliki peran sosial keagamaan yang besar dalam masyarakat. Pura ini kerap dijadikan tempat pelaksanaan upacara metatah (mesangih) massal, yaitu prosesi penting dalam ajaran Hindu Bali yang menandai penyucian diri menuju kedewasaan. Metatah merupakan upacara pengikisan enam sifat buruk manusia (sad ripu) yang dilambangkan dengan pengikisan atau pengampelan gigi taring. Prosesi ini diyakini menyempurnakan diri seseorang agar lebih siap memasuki tahap kehidupan baru dengan jiwa yang lebih tenang dan terkendali.
Metatah Massal di Pura Dalem Ulunsuan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Di Pura Dalem Ulunsuan, metatah massal sering dilaksanakan secara kolektif, diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai keluarga yang ingin menjalankan kewajiban adat dan agama dengan kebersamaan. Pelaksanaan secara massal bukan hanya meringankan beban biaya bagi umat, tetapi juga menumbuhkan semangat gotong royong, kebersamaan, dan rasa persaudaraan di antara krama desa maupun umat Hindu secara umum. Dengan adanya kegiatan metatah massal, Pura Dalem Ulunsuan tidak hanya dikenal sebagai gerbang penyambutan tamu niskala, tetapi juga sebagai ruang sosial-spiritual yang mempersatukan umat dalam penyucian diri.