Menelusuri Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gerih
Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat beribadah untuk umat Hindu di Bali, yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Setiap desa di Bali tentunya memiliki Pura Kahyangan Tiga, begitu pula di Desa Adat gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Uniknya, Pura Desa dan Pura Puseh di Desa Adat Gerih dibangun di satu lokasi yang sama. Desa Adat Gerih juga baru saja merampungkan upacara besar Karya Agung Menawa Ratna yang dilaksanakan setidaknya setiap 50 atau 30 tahun. Upacara tersebut dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Taman Dalem, dan Pura Prajapati Desa Adat Gerih.
Setiap desa di Bali memiliki tempat beribadah atau pura yang disebut dengan Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja Dewa Tri Murti sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara etimologi, Pura Kahyangan Tiga terdiri atas kata Kahyangan dan Tiga. Kata Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci. Kata hyang tersebut diberi imbuhan berupa awalan “ka” dan akhiran “an”. Pura Kahyangan Tiga memiliki arti tiga buah tempat suci.
Sesuai dengan pengertiannya, Pura Kahyangan Tiga terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Pura Desa digunakan untuk memuja Dewa Brahma, Pura Puseh digunakan untuk memuja Dewa Wisnu, dan Pura Dalem digunakan untuk memuja Dewa Siwa. Pada artikel ini, akan dibahas mengenai Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.
Desa Adat Gerih merupakan salah satu desa adat yang tergabung di dalam Desa Dinas Abiansemal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Desa Adat Gerih merupakan wilayah yang memiliki luas sekitar 1.500 hektar. Dengan luas wilayah tersebut, Desa Adat Gerih memiliki pura sebanyak 75 buah. Dari 75 pura tersebut, terdapat 9 pura yang termasuk ke dalam amongan desa. Pura Kahyangan Tiga merupakan pura yang termasuk ke dalam amongan Desa Adat Gerih.
Dalam sejarahnya, sekitar tahun 1540 Desa Adat Gerih dipimpin oleh Ki Pangeran Sukahet yang berasal dari Klungkung. Setelah itu, didirikanlah Pura Kahyangan Tiga pada tahun 1690. Dahulu, Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gerih disungsung oleh tiga banjar adat, yaitu Banjar Tegal, Banjar Peguyangan, dan Banjar Purwakerta. Pada tahun 1966, para penglingsir pura kemudian melakukan penataan kembali, sehingga Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Gerih disungsung oleh dia banjar adat, yaitu Banjar Dirgahayu dan Banjar Purwakerta.
Uniknya, Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Gerih dibangun di satu lokasi yang sama, sehingga diberi nama Pura Desa lan Puseh Desa Adat gerih. Tujuan dari digabungnya lokasi Pura Desa dan Pura Puseh adalah berkaitan dengan makna dan simbol dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Bila diibaratkan dengan tubuh manusia. Dewa Brahma diibaratkan sebagai “ati”, sedangkan Dewa Wisnu diibaratkan sebagai “nyali” atau nadi. Ati dan nyali adalah satu dan tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu, Pura Desa dan Puseh dibangun di satu lokasi yang sama.
Gedong Desa di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Gerih (Sumber: Koleksi Pribadi)
Meskipun dibangun di satu lokasi yang sama, namun Pura Desa dan Puseh memiliki gedong yang berbeda. Gedong Puseh memiliki atap yang bertumpang tiga (Meru Tumpang Tiga) sedangkan Gedong Desa memiliki atap tunggal. Selain Gedong Desa dan Gedong Puseh, di dalam Pura Desa lan Puseh Desa Adat Gerih terdapat Bale Pepelik, Padmasana, Pelinggih Naga Basuki, Catu Meres, Catu mujung, Taksu, Bale Peselang, dan Bale yang digunakan oleh Jro Mangku untuk memimpin persembahyangan.
Gedong Puseh di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Gerih (Sumber: Koleksi Pribadi)
Selain Pura Desa lan Puseh, tentunya Desa Adat Gerih juga memiliki Pura Dalem. Pura Dalem Desa Adat Gerih terletak sekitar 5 menit dari lokasi Pura Desa lan Puseh. Pura Dalem di Desa Adat Gerih disebut juga sebagai Pura Dalem Purwa yang artinya awal atau permulaan. Gedong Pura Dalem di Desa Adat Gerih menghadap ke selatan. Dahulu, leluhur (Pekak Warni) sempat menginginkan agar gedong Pura Dalem diubah menghadap ke barat. Tetapi pada kenyataanya, Gedong Pura Dalem justru menghadap ke Selatan setelah mengalami renovasi.
Pura Dalem Desa adat Gerih terdiri atas bangunan Padmasana, Gedong Ida Bhatari, Taksu, Bale Pepelik, Paruman (tempat Jro Mangku untuk memimpin persembahyangan), Ratu ngurah, dan Ratu Nyoman. Pindah ke bagian Jaba, terdapat Aling-aling, Apit Lawang, dan Kori Agung. Umat yang ingin melakukan persembahyangan bisa mengambil tempat di Jeroan maupun di Jaba.
Padmasana Pura Dalem Desa Adat Gerih (sumber: Koleksi Pribadi)
Uniknya, Desa Adat Gerih baru saja merampungkan upacara suci Karya Agung Menawa Ratna di sekitar bulan Agustus 2023. Karya Agung Menawa Ratna merupakan upacara besar yang diadakan setidaknya setiap 50 atau 30 tahun sekali di Pura Dalem, Pura Taman Dalem, dan Pura Prajapati Desa Adat Gerih. Pelaksanaan Karya Agung Menawa Ratna juga dilihat dari ketersediaan dana yang dimiliki oleh Desa Adat Gerih. Karena merupakan momen yang langka dan upacara besar yang memiliki serangkaian upacara lainnya. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu kurang lebih selama 6 bulan untuk mempersiapkan Karya Agung Menawa Ratna ini. Persiapan tersebut mulai dari persiapan banten, dekorasi, dan lainnya.
Salah satu rangkaian Karya Agung Menawa Ratna adalah upacara Nyenuk. Nyenuk memiliki arti yang sama dengan majenukan atau madelokan. Upacara Nyenuk ini diselenggarakan sebagai simbol datangnya para dewa arah mata angin (tamu) dari kahyangan untuk memberikan anugerahnya kepada umat. Tujuannya adalah untuk memohon agar upacara berjalan dengan lancar.
Karya Agung Menawa Ratna di Desa Adat Gerih (sumber: Koleksi Pribadi)
Masyarakat yang rumahnya berada di wilayah Utara memakai pakaian berwarna hitam dari kepala hingga kakinya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat lain. Mereka memakai pakaian yang warnanya sesuai dengan konsep Panca Dewata dari kepala hingga kaki. Hal ini melambangkan bahawa mereka merupakan utusan dari Dewa-Dewa yang mendiami kelima arah mata angin dalam konsep Panca Dewata. Dalam prosesi Nyenuk, kaum perempuan berbaris rapi dan berjalan beriringan menuju Pura Dalem sambil membawa banten sesembahan. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat menarik, mengingat perayaan ini hanya akan diselenggarakan kembali puluhan tahun kemudian