Pura Nusa Dharma: Tempat Persembahyangan yang Tenang di Nusa Dua
Pura Nusa Dharma, yang terletak di Banjar Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan pengalaman spiritual Babah Tan Sie Yong. Saat sedang memancing di pulau kecil yang terpisah dari daratan Nusa Dua, Babah Tan dan rekannya terjebak oleh air pasang besar yang menghalangi mereka untuk kembali. Kejadian ini menjadi awal mula berdirinya Pura Nusa Dharma sebagai pusat spiritual di kawasan itu.
Berdasarkan penuturan Jero Mangku Sandi, sejarah keberadaan Pura Nusa Dharma bermula ketika Babah Tan Sie Yong, seorang warga keturunan Tionghoa, memutuskan untuk pergi memancing bersama rekannya di sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan utama Nusa Dua. Pulau ini dikenal sebagai Pulau Nusa Dharma, yang pada saat itu masih belum banyak diketahui orang. Kegiatan memancing yang mereka lakukan berjalan lancar hingga tanpa disadari air pasang mulai naik dengan cepat. Babah Tan Sie Yong dan rekannya, yang terlalu asik dengan aktivitas memancing, terlambat menyadari bahwa air pasang sudah begitu tinggi sehingga memutuskan akses mereka untuk kembali ke daratan Nusa Dua.
Karena Situasi ini, mereka tidak dapat kembali dan terpaksa menginap di Pulau Nusa Dharma. Dalam situasu yang tidak menentu ini, Babah Tan Sie Yong bersama rekannya memutuskan untuk melakukan persembahyangan dan samadhi setiap malam, berharap air segera surut agar mereka bisa kembali ke Nusa Dua dengan selamat. Selama mereka tinggal di pulau tersebut, Babah Tan Sie Yong membuat janji suci. Beliau bersumpah bahwa jika dirinya dan rekannya berhasil keluar dari Pulau Nusa Dharma dengan selamat, maka ia akan membangun tempat suci sebagai bentuk rasa syukur atas perlindungan yang telah diberikan.
Plakat Pengingat Pura Nusa Dharma (Sumber: Koleksi Pribadi)
Setelah melakukan samadhi dan bermalam selama 10 hari di pulau tersebut, air laut akhirnya mulai surut. Namun, yang lebih menarik adalah bagaimana air laut tersebut surut dengan cepat, seolah-olah ada kekuatang gaib yang mendorongnya menjauh ke tengah lautan. Melihat kejadian tersebut, Babah Tan Sie Yong sangat bersyukur dan merasa bahwa doanya telah dijawab. Setelah air laut surut, beliau dan rekannya berhasil kembali ke Nusa Dua dengan aman. Sesuai janjinya, pada tahun 1948. Babah Tan Sie Yong mulai merealisasikan niatnya untuk membangun Pura Nusa Dharma sebagai bentuk rasa terima kasihnya. Pura ini secara resmi selesai dan diresmikan pada 10 Juni 1948, yang tercatat di prasasti Pura Nusa Dharma sebagai hari penting dalam sejarah pura tersebut.
Pura Nusa Dharma dibangun sebagai tempat suci yang mengadopsi tradisi agama Hindu meskipun Babah Tan Sie Yong sendiri adalah keturunan Tionghoa yang beragama Buddha. Ini menunjukkan toleransi dan penghargaan terhadap tradisi setempat, yang sangat kental di Nusa Dua dan Bali pada umumnya. Hingga kini, pura ini masih dijalankan dan diupacarai berdasarkan adat Hindu, mengikuti tatanan upacara yang sama seperti pura-pura lainnya di Bali. Upacara piodalan, yaitu upacara persembahyangan utama di pura ini, dilakukan setiap Purnama Kasa, sebuah hari sakral dalam kalender Bali yang dianggap penting untuk penghormatan terhadap dewa-dewa.
Sisi Masuk Pura Nusa Dharma (Sumber: Koleksi Pribadi)
Keluarga yang menjadi pengempon atau pengelola Pura Nusa Dharma adalah keluarga Jero Mangku Sandi dari Desa Bualu, bersama keluarga Babah Ketut Jaya, yang merupakan keturunan dari Babah Tan Sie Yong sendiri. Pura ini juga mendapatkan pengawasan dan dukungan dari Puri Jero Kuta, yang dikenal sebagai penjaga spiritual dari pura tersebut. Sebagai tempat suci yang memiliki sejarah yang begitu dalam, Pura Nusa Dharma tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat spiritualitas yang dihormati oleh banyak orang.
Sejak berdirinya Pura Nusa Dharma, banyak keajaiban yang terjadi di sana, yang semakin mengukuhkan statusnya sebagai tempat suci yang memiliki energi spiritual yang kuat. Salah satu fenomena yang paling terkenal adalah munculnya beberapa sumber air tawar di area pura. Air ini kemudian dimanfaatkan sebagai tirta atau air suci yang digunakan dalam upacara-upacara keagamaan dan persembahyangan umat yang datang ke pura. Keajaiban lain yang sering disebutkan oleh masyarakat setempat adalah munculnya sebuah sumber air yang secara misterius membelah batu karang di sekitar pura. Di dalam batu karang tersebut ditemukan sebuah benda purbakala berupa cubang air (Ketu Pendeta), yang kini telah diangkat dan ditempatkan pada sebuah pelinggih khusus di dalam area pura.
Pelinggih-pelinggih Pura Nusa Dharma (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Nusa Dharma tidak hanya dikenal karena keajaibannya, tetapi juga karena menjadi tempat umat memohon berkat dan keselamatan. Banyak orang yang datang ke pura ini untuk berbagai tujuan, seperti memohon penyucian diri melalui samadhi, memohon agar diberikan anak (nunas sentana), atau memohon kesembuhan bagi mereka yang sedang sakit. Selain itu, pura ini juga sering dikunjungi oleh mereka yang ingin memohon keselamatan (penglukatan), sebagai bentuk perlindungan diri dari hal-hal yang buruk.
Di bagian timur pura, terdapat pelinggih yang berbentuk tapas. Pelinggih ini menjadi perhatian banyak umat karena di dalamnya terdapat bejana yang terbuat dari batu padas jenis tufa kersikan, yang menyerupai gentong. Benda-benda ini, yang berasal dari zaman purbakala, menjadi bagian penting dari nilai sejarah dan kekayaan spiritual yang dimiliki oleh Pura Nusa Dharma. Dengan segala keunikan dan kekuatan spiritual yang dimilikinya, Pura Nusa Dharma terus menjadi tempat yang dihormati oleh umat Hindu dan pengunjung dari berbagai latar belakang, yang ingin merasakan ketenangan spiritual dan memohon berkat dari Tuhan.