Dehe: Pesona Tari Rejang Jepun Desa Asak
Tarian Rejang Jepun, warisan leluhur turun temurun, memukau dengan keindahan spiritual dan hiasan bunga jepun asli yang unik. Dipersembahkan oleh para Dehe, tarian ini merefleksikan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakatnya. Riasan dan tatanan bunga jepun yang cantik tak hanya sebagai cerminan spiritual namun juga merupakan daya tarik bagi para wisatawan dan fotografer.

Desa Asak merupakan desa yang berada di Kabupaten Karangasem, Bali. Salah satu diantara beberapa desa yang tergolong Bali Aga, penduduknya masih kuat dalam memelihara ritual budaya dan keagamaan. Salah satu dari ritual yang masih rutin dijalankan di Desa Asak adalah Tarian Rejang Jepun.
Tarian Rejang Jepun, sebuah warisan leluhur, memikat dengan sejarah yang tak tercatat dalam literatur. Terbentuk tanpa tanggal pasti, tarian ini menjadi keindahan spiritual dengan keunikan hiasan bunga jepun asli yang membutuhkan keahlian dan seni khusus.
Mengutip tokoh masyarakat lokal, tarian ini hanya dapat diikuti setelah menjalani upacara "turun medehe" untuk usia 15 tahun keatas, yang disebut oleh warga lokal dengan nama "ngepikang." Makna spiritual tarian ini terpancar saat dilaksanakan pada upacara-upacara, khususnya saat manis Kuningan. Adapun proses “Pelelawangan da”, mengitari desa dengan riasan bunga jepun, menjadi ritual yang mempersatukan warga desa di Pura Puseh.
Bale Agung Desa Asak (Sumber: Koleksi Penulis)
Dalam konteks tata rias kepala “payas perong” pada tarian rejang asak, elemen atribut kepala menjadi puncak keindahan dan menjadi simbolisasi keagunan dan keindahan. Salah satunya adalah “bunga tegeh” yang menonjolkan keanggunan melalui bentuk persegi empat yang menjulang tinggi. Warna kuning keemasan pada “bunga tegeh” tidak hanya menciptakan kesan kegembiraan, tetapi juga melambangkan kemuliaan dalam setiap gerakan tarian. Ornamen geometrik di sekitarnya menambah sentuhan keberwibawaan pada penampilan keseluruhan.
Sementara itu, “bunga anjel”, terbuat dari logam emas murni dan menyerupai anggrek, ditempatkan secara proporsional di samping kanan dengan bentuk yang mengecil ke atas. Warna keemasan pada “bunga anjel” tidak hanya mencerminkan keagungan, tetapi juga memberikan nuansa keceriaan bagi penari.
Kemudian, bunga sandat emas bukan hanya menjadi elemen visual, tetapi juga melibatkan indera penciuman. Aroma pada mahkota “rejang asak” melambangkan keheningan dan semangat dalam setiap langkah tarian. Warna keemasan pada bunga sandat emas menambahkan sentuhan keagungan dan kemeriahan, menciptakan pengalaman sensorik yang mendalam dan berarti dalam setiap penampilan “rejang asak”. Dengan begitu, atribut kepala ini tidak hanya menjadi hiasan fisik, melainkan juga sarana untuk menyampaikan makna mendalam dalam konteks budaya dan seni pertunjukan.
Hiasan kepala rejang asak menggunakan bunga jepun dengan dua teknik utama: “bunga jepun kuncup” dan “bunga jepun belit”. Pada teknik “bunga jepun kuncup”, bunga yang masih kuncup ditusuk pada “plendo” sebagai mahkota. “Bunga jepun belit” adalah proses lipatan ujung helai bunga jepun pada mahkota “rejang asak”, membentuk persegi empat dengan eliminasi satu helai untuk menyesuaikan bentuk. Warna kuning pada bunga kamboja menambah kemewahan. Penggunaan bunga segar memberikan tampilan segar dan bau harum, meningkatkan semangat dalam pementasan tarian.
“Plendo” berwarna putih, dicat merah, dan berfungsi sebagai pembatas antara bunga belit dan bunga petitis. Warna merah pada plendo menciptakan energi kuat dalam tarian. Teknik “bunga jepun belit” melibatkan lipatan ujung helai bunga ke belakang, membentuk persegi empat yang simetris.
Ornamen kepala berwarna emas disebut “Blengker”. “Blengker” adalah ornamen yang mengikuti kontur wajah penari rejang asak, memberikan tampilan wajah yang lebih indah dan proporsional. “Blengker” emas disusun dalam bentuk melingkar di sekitar kening penari, juga dikenal sebagai petitis, yang dibentuk menyesuaikan bentuk wajah. Warna emas menggambarkan kemewahan pada mahkota penari.
Pentingnya persyaratan ini tercermin pada penggunaannya di hari raya Kuningan dan odalan keenam. Anak-anak yang cukup usia diwajibkan turun medehe dan menjadi dehe. Selain itu, ada juga yang disebut dehe truna, yang juga harus menjalani upacara "turun matruna" yang ditentukan untuk mengesahkan menjadi dehe truna dan diperbolehkan mengikuti tarian Rejang Jepun ini. Pada rahinan musaba kasa, tarian menggunakan hiasan jepun emas. Pada hari raya Kuningan, tabuh menggunakan tabuh Gambang bukan menggunakan Gong.
Tarian ini hanya boleh dilakukan/ditarikan oleh warga desa yang perempuan yang belum menikah. Setiap keluarga di Desa Asak ini hanya boleh menampilkan satu saja anak perempuannya untuk mewakili mengikuti acara “Pelelawangan”. Namun keluarga tidak diharuskan untuk serta apabila tidak ada anak yang bisa tampil.
Tarian Rejang Jepun bukan hanya sebuah pertunjukan seni, melainkan juga cerminan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakatnya yang tumbuh bersama waktu, terus memikat para wisatawan dan fotografer pada setiap pelaksanaannya.