Puri Agung Carangsari: Perjalanan Shri Arya Sentong untuk Menemukan Tengah-tengah Bali
Istilah "Kawitan" dalam tradisi Hindu Bali merujuk pada pemujaan roh leluhur dari garis keturunan yang sama, dan Pura Kawitan menjadi tempat utama untuk memuja leluhur tersebut. Salah satu garis keturunan yang terkenal adalah keturunan para Arya, seperti Shri Arya Sentong, yang pusat Kawitannya berada di Puri Agung Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. hingga saat ini, Puri Agung Carangsari menjadi pusat kawitan untuk keturunan Shri Arya Sentong di seluruh Bali.
Umat Hindu di Bali mengenal adanya istilah Kawitan. Kawitan berasal dari kata “wit” yang berarti garis keturunan. Kawitan memiliki arti pemujaan roh leluhur dari garis keturunan yang sama. Dengan adanya istilah Kawitan tersebut, dikenal pula adanya istilah Pura Kawitan. Pura Kawitan merupakan tempat untuk memuja leluhur dari garis keturunan yang sama. Oleh karena itu, setiap garis keturunan memiliki Kawitannya masing-masing. Istilah Kawitan mulai dikenal pada era Kerajaan di Bali yang didasarkan pada prasasti yang ditinggalkan oleh beberapa Raja Bali.
Salah satu garis keturunan yang ada di Bali adalah keturunan para Arya. Dalam sejarahnya, gelar Arya merupakan gelar yang diberikan kepada ksatria. Seiring dengan perkembangan zaman, gelar Arya kemudian diterjemahkan menjadi “Gusti” di Bali. Salah satu dari para Arya tersebut adalah Arya Sentong atau juga dikenal sebagai Shri Arya Sentong. Keturunan Shri Arya Sentong memiliki beberapa Pura Kawitan. Namun, pusat Kawitan dari warih-warih Shri Arya Sentong terletak di Puri Agung Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali.
Shri Arya Sentong pertama kali ke Bali pada abad ke-11. Pada saat di Kerajaan Gelgel, beliau turut serta dalam Pembangunan Pura Besakih yang pada saat itu dikenal juga dengan sebutan Pura Basukian. Shri Arya Sentong memiliki satu orang putra yang bernama Shri Arya Pacung. Begitu sang putra menginjak usia 6 tahun, Shri Arya Sentong diberikan tugas untuk ke Nusa Penida. Pada saat itu, Bali dalam keadaan yang genting. Ida Bhatara Kala setiap hari datang untuk mencari mangsa. Hal tersebut tentunya menimbulkan ketakutan bagi masyarakat Bali.
Shri Arya Sentong kemudian bernegosiasi dengan Ida Bhatara Kala agar jangan terlalu sering untuk datang ke Bali. Permintaan lantas itu disetujui oleh Ida Bhatara Kala dengan satu syarat. Shri Arya Sentong harus menemukan tengah-tengah Bali untuk melindungi Bali. Ida Bhatara Kala juga memberikan anugerah berupa taring beliau yang diubah menjadi sebuah keris. Keris tersebut dikenal dengan nama Keris Ki Ulang-Ulang Guguh. Keris tersebut akhirnya diserahkan kepada Shri Arya Sentong. Keris Ki Ulang-Ulang Guguh memiliki pantangan. Apabila keris tersebut dihunus, maka yang membawanya tidak boleh mundur atau menyerah terhadap lawan, melainkan harus tetap maju.
Shri Arya Sentong berdiam di Nusa Penida kurang lebih selama 30 tahun. Ketika Shri Arya Pacung beranjak dewasa, mandat untuk mencari tengah-tengah Bali kepada Beliau. Pada saat itu, Shri Arya Pacung telah menikah dan memiliki satu orang putra yang bernama I Gusti Ngurah Putu Pacung. Dengan dibekali oleh Keris Ki Ulang-Ulang Guguh, Shri Arya Pacung kemudian menggantikan ayahandanya untuk mencari tengah-tengah Bali. Shri Arya Sentong kemudian mengalami moksa (mendapatkan kebebasan spiritual) di Nusa Penida.
Shri Arya Pacung pada mulanya kebingungan tentang cara untuk mencari tengah-tengah Bali. Kemudian, beliau meminta bantuan Ibundanya, yaitu Ratu Mas Maketel. Pada saat Shri Arya pacung memegang tangan ibundanya, seketika wilayah Bali bersinar dan menunjukkan arah-arah mata angin. Arah-arah mata angin tersebut hingga saat ini dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga. Beliau lantas memulai perjalanan untuk menemukan tengah-tengah Bali.
Pada saat melakukan perjalanan, Shri Arya Pacung dihadang oleh pasukan I Gusti Ngurah Jelantik di daerah Gianyar. Pada saat itu, Shri Arya Pacung diminta untuk minggir, namun beliau menolak. Hal itu menyebabkan pecahnya pertengkaran antar pasukan. Dengan berbekal Keris Ki Ulang-Ulang Guguh, Shri Arya Pacung melawan I Gusti Ngurah Jelantik. Namun, karena keduanya sama-sama kuat, pertengkaran hanya berbuah kelelahan.
Hal tersebut membuat keduanya kebingungan. I Gusti Ngurah Jelantik bertanya mengenai identitas dari Shri Arya Pacung. Setelah terkuak, ternyata mereka masih memiliki hubungan keluarga. Oleh karena itu, keduanya sepakat untuk berdamai dan saling bertukar ikat pinggang (saput) masing-masing. Saput Poleng (hitam-putih) miliki I Gusti Ngurah Jelantik dipakai oleh Shri Arya Pacung, sedangkan Saput Putih milik Shri Arya Pacung dipakai oleh I Gusti Ngurah Jelantik. Setelahnya, Shri Arya Pacung memilih untuk melanjutkan perjalanan.
Merajan Agung Puri Carangsari (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pengembaraan Shri Arya Pacung berlanjut ke daerah yang sejuk, asri, dan indah disertai dengan aliran sungai yang jernih. Shri Arya Pacung merasakan damai di sana. Karena beliau sangat menyukai daerah tersebut, beliau akhirnya memberi nama daerah tersebut dengan Perean atau Perariyan. Beliau juga mendirikan Puri Perean. Beliau kemudian diangkat menjadi Raja Perean. Putra beliau yang bernama I Gusti Ngurah Putu Pacung kemudian menggantikan ayahandanya sebagai Raja di Puri Perean.
I Gusti Ngurah Putu Pacung memiliki tiga orang anak. Anak pertamanya bernama I Gusti Ngurah Gede Pacung yang kemudian dinobatkan sebagai Raja Perean. I Gusti Ngurah Gede Pacung kemudian menikah dan memiliki seorang putra yang bernama I Gusti Ngurah Raka Pacung. I Gusti Ngurah Raka Pacung juga menggantikan ayahandanya untuk mengambil alih kepemimpinan di Puri Perean. I Gusti Ngurah Raka Pacung memiliki anak yang bernama I Gusti Ngurah Pacung Sakti, yang juga menjadi Raja di Perean.
Diceritakan bahwa terjadi perselisihan antar-keluarga yang menyebabkan I Gusti Ngurah Pacung Sakti meninggal dunia. Layon atau jenazah dari I Gusti Ngurah Pacung Sakti kemudian dikuburkan. Namun, sebuah peristiwa Ajaib terjadi. Malam harinya, makam tersebut meledak. Dari dalam makam terlihat I Gusti Ngurah Pacung Sakti terbang menggunakan kain Geringsing Wayang dengan menunggangi seekor Naga Kahang. Sosok I Gusti Ngurah Pacung Sakti kemudian hilang dan menyatu dengan Brahman atau mengalami Moksa.
Pelinggih dengan Ornamen Naga Kahang (Sumber: Koleksi Pribadi)
Akibat kematian dari I Gusti Ngurah Pacung Sakti, keadaan Puri Perean menjadi kacau. Keturunan dari I Gusti Ngurah Pacung Sakti kemudian pergi meninggalkan Perean. Salah satunya adalah I Gusti Ngurah Pacung Gede. I Gusti Ngurah Pacung Gede, yang diikuti oleh panjak 400 kepala keluarga pindah menuju Pahyangan dan menjadi Raja di sana. Beliau kemudian mengangkat seorang anak dan kemudian bergelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka.
Pada abad ke-14 I Gusti Ngurah Pacung Gede datang ke sebuah hutan belantara yang sudah terbentuk tiga desa di dalamnya. Ketiga desa tersebut adalah Desa Bebalang, Desa Telugtug, dan Alas Wayah. I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka menginjakkan kakinya di Alas Wayah karena di Puri Pahyangan terjadi kerusuhan. Patih Agung Puri Pahyangan berusaha untuk merebut kekuasaan puri. Oleh karena itu, I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka beserta dengan para pengikutnya memilih untuk mengungsi.
Kedatangan beliau di Alas Wayah terdengar hingga ke telinga kedua pemimpin (mekel) desa tetangga. Selanjutnya, kedua pemimpin Desa Telugtug dan Desa Alas Wayah memohon kepada I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka agar bersedia tinggal, membangun puri, dan memimpin wilayah mereka. Permohonan tersebut dikabulkan oleh I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka. Namun, beliau mengajukan syarat agar puri yang akan dibangun berada di tengah-tengah ketiga wilayah tersebut. Semenjak saat itu, dibangunlah Puri Agung Carangsari.
Puri Agung Carangsari dibangun pada tahun 1384. Letak dari Puri Agung Carangsari adalah berada di tengah-tengah Bali, sesuai dengan titah dari Ida Bhatara Kala. Hal ini pula merupakan alasan mengapa Puri Carangsari dijadikan pusat kawitan dari keturunan Shri Arya Sentong di seluruh Bali. Keris Ki Ulang-Ulang Guguh kemudian menarik warih-warih Shri Arya Sentong yang tersebar di seluruh Bali. “Carangsari” memiliki arti bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di tengah-tengah masyarakat dan bertindak sebagai penengah di segala permasalahan dengan bijaksana. Dengan berdiamnya I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka di Carangsari, maka kepemimpinan di Pahyangan diserahkan kepada anak angkat beliau. Atas kebesaran dari Shri Arya Sentong, beliau diberikan gelar Ksatryaning Dalem Amangkubumi Shri Arya Sentong.