Mabuug Buugan: Pesona Mandi Lumpur sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Pulau Bali tidak hanya memukau dengan keindahan alamnya, tetapi juga merayakan tradisi Mabuug Buugan, sebuah Warisan Budaya Tak Benda di Desa Adat Kedonganan. Mandi lumpur ini mencerminkan kebersihan spiritual dan keakraban antargenerasi. Meskipun sempat terhenti, Mabuug Buugan kembali bersemangat setelah absen akibat pandemi. Dengan antusiasme generasi muda, promosi aktif, dan pelestarian, tradisi ini menjadi daya tarik wisata di Kedonganan, menunjukkan keunikan dan kearifan lokal yang membuatnya tak terlupakan.
Bali, destinasi pariwisata yang selalu mengundang decak kagum, tidak hanya memukau dengan keindahan alamnya, tetapi juga merawat dengan cermat tradisi-tradisi berharga yang menyemarakkan warisan budayanya. Salah satu perayaan yang mencuri perhatian adalah Mabuug Buugan, sebuah tradisi mandi lumpur yang tak hanya unik, tetapi juga sarat makna spiritual dan mempererat kebersamaan masyarakat Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung.
Mebuug Buugan, yang memiliki akar dari kata "Buug" dalam bahasa Bali yang berarti lumpur atau kotoran, yang bukan hanya permainan fisik semata. Filosofi di baliknya erat kaitannya dengan hari raya Nyepi, di mana masyarakat Desa Adat Kedonganan berharap mendapatkan anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk kesejahteraan dan keselamatan lahir batin.
Tradisi Mebuug Buugan, yang pada awalnya merupakan permainan rakyat dengan lumpur sebagai mediumnya, kini telah menjadi tradisi sakral yang dijalankan pada hari Umanis Nyepi oleh warga desa adat kedonganan. Meskipun sempat terhenti pada sekitar tahun 1963 karena letusan Gunung Agung, keberlanjutan tradisi ini bangkit kembali dengan kreativitas dan semangat yang membara.
Pada hari Ngembak Geni, sebuah momen istimewa yang menegaskan keinginan generasi muda desa untuk tetap merayakan tradisi ini, Mabuug Buugan di Desa Adat Kedonganan digelar kembali setelah dua tahun absen akibat pandemi Covid-19. Tradisi ini tak hanya menjadi perayaan lokal, tetapi juga meraih pengakuan nasional sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak 2019.
Piagam Mabuug-Buugan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Dalam pelaksanaannya, Mabuug Buugan memvisualisasikan manusia yang dilapisi oleh tanah sebagai simbol Bhuta atau kekotoran yang melekat pada jiwa. Melalui proses ini, masyarakat berdoa memohon kepada kekuatan laut atau Segara sebagai bentuk penyucian, yang mencerminkan perwujudan Pemarisudha atau kesempurnaan yang mengatasi kekuatan Bhuta dalam bhuana alit atau badan kasar manusia.
Semangat generasi muda dan masyarakat desa adat kedonganan, terhadap Mabuug Buugan sangat mencolok. Dari upacara di Pura Dalem hingga bermain lumpur di hutan mangrove dan mandi di laut, semuanya dilakukan dengan semangat yang menggebu-gebu. Prosesi dimulai dengan berkumpul di Balai Desa dan berjalan menuju pantai timur dengan Pura Dalem sebagai titik awal, tempat upacara dilakukan untuk memohon perlindungan Tuhan.
Prosesi Melumuri Lumpur (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Setelah melumuri tubuh dengan lumpur di hutan mangrove, mereka kemudian menuju pantai barat untuk mandi dengan air laut, menandakan pembersihan jasmani dan rohani. Mabuug Buugan menjadi momen pembersihan dari segala kekotoran dalam tubuh, ekspresi terima kasih kepada alam atas hasil alam, dan penghormatan terhadap kecantikan warisan budaya.
Dalam era globalisasi, upaya pelestarian dan promosi Mabuug Buugan menjadi kunci untuk memastikan warisan budaya tak benda ini terus hidup dan dihargai. Pemerintah setempat dan organisasi kebudayaan harus aktif terlibat dalam kampanye pendidikan dan promosi agar Mabuug Buugan tetap memukau generasi masa kini dan mendatang.
Mabuug Buugan, dengan pesonanya yang unik, telah menjadikan Desa Adat Kedonganan sebagai destinasi yang penuh warna dan menarik bagi wisatawan lokal maupun internasional. Sebagai perayaan yang terus berkembang, Mabuug Buugan membawa harapan dan semangat kebersamaan, memperkaya warisan budaya Bali yang begitu istimewa.
Tradisi Mabuug Buugan bukan sekadar tradisi lokal, melainkan suatu perayaan yang keunikan dan kearifan khas setempat, menyiratkan daya tarik mendalam dari budaya Bali. Di tengah genangan lumpur, kita tidak hanya menemukan aspek kebersihan fisik semata, tetapi juga merasakan kesucian spiritual dan kehangatan hubungan antargenerasi.
Dalam cemerlangnya tradisi ini, setiap lekuk lumpur menjadi cermin dari kekayaan spiritual dan kesederhanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mabuug Buugan bukan sekadar seremoni mandi lumpur, ini adalah perjalanan yang menggambarkan kehidupan, penuh dengan makna dan filosofi yang melampaui dimensi fisik.
Keunikan Mabuug Buugan sebagai warisan budaya tak benda tidak hanya mencengangkan di tingkat lokal, tetapi juga merayakan kesadaran global akan urgensi merawat lingkungan dan memelihara warisan budaya. Melalui sentuhan keberlanjutan dan pelestarian lingkungan dalam tradisi ini, Desa Adat Kedonganan menghadirkan inspirasi yang menggelora bagi komunitas-komunitas di seluruh dunia. Mabuug Buugan bukan sekadar lambang kecantikan alam Bali, lebih dari itu ini adalah pesan mendalam tentang pentingnya merawat dan menghormati warisan budaya serta lingkungan, membawa kita semua ke dalam perjalanan keberlanjutan hidup yang menarik di bumi kita bersama ini.
Keberlanjutan Mabuug Buugan tidak hanya menjadi tanggung jawab Desa Adat Kedonganan, tetapi juga sebuah warisan berharga bagi seluruh Indonesia. Dalam perayaan ini, kita tak hanya merayakan lumpur yang mengalir, tetapi juga menyaksikan kekayaan dan keindahan budaya yang menjadi jati diri Bali. Mabuug Buugan, sebuah perjalanan ke dalam kekayaan budaya yang mengalir melalui lumpur dan merayakan ketahanan dan semangat Bali yang abadi.