Tarian Sanghyang Penyalin Pancasari

Tari Sanghyang Penyalin diyakini oleh masyarakat sebagai pengusir roh-roh jahat. Tari Sangyang Penyalin selalu hadir disetiap Pujawali di desa Pakraman Pancasari. Hal ini disebabkan karena masyarakat mensakralkan tari Sanghyang Penyalin dan dipercayai sebagai tarian penolak bala yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Masyarakat desa Pakraman Pancasari meyakini adanya kekuatan yang tersimpan dalam penyalin (rotan) yang telah disucikan lalu ditarikan.

Sep 24, 2023 - 06:00
Sep 23, 2023 - 12:41
Tarian Sanghyang Penyalin Pancasari
Tari Sanghyang Penyalin (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

Pancasari – Bali memang dikenal dengan tradisi yang beragam dan unik. Setiap tradisi memiliki makna masing-masing dan oleh setiap masyarakatnya dianggap sebagai warisan nenek moyang yang harus dilestarikan.

Tari Sanghyang penyalin di desa pakraman Pancasari merupakan tarian yang disakralkan oleh masyarakat setempat dan masih dipertahankan keberadaanya sebagai satu kesatuan dalam upacara keagamaan. Keberadaan dan proses pementasan tari sanghyang penyalin di desa pakraman Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng tempatnya di Pura Dalem dan ngelawang dengan diiringi nyanyian dharmagita khususnya nyanyian (gendingan) sanghyang.

Tari Sanghyang penyalin juga dipertunjukkan pada waktu diadakannya suatu upacara piodalan di pura-pura tertentu dengan persiapan sarana prasarana untuk proses pementasan tari Sanghyang Penyalin adalah:(a) segehan: putih, merah, kuning, hitam, dan manca warna; (b) tetabuhan: toya anyar, tuak, arak, dan brem; (c) canang: canang sari dan buratwangi; (d) banten gebogan; (e) pejatian. Fungsi pementasan tari sanghyang penyalin dalam rangkaian upacara Bhuta Yadnya sebagai sarana penolak bala atau mengusir Bhuta kala yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tari sanghyang penyalin di desa pakraman Pancasari sangat unik dan khas, diliat dari penyalin (Rotan) sebagai benda mati, namun setelah dipasupati menjadi hidup layaknya memiliki jiwa/roh. 

Tari Sanghyang Penyalin (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam tari sanghyang penyalin; Nilai Etika, Nilai Estetika, dan Nilai Religi, yang dimana dalam teori keyakinan masyarakat desa Pakraman Pancasari meyakini adanya kekuatan yang tersimpan dalam rotan dengan panjang 6 meter yang ditarikan, oleh sebab itu tari Sanghyang Penyalin diyakini oleh masyarakat sebagai pengusir roh-roh jahat. Pada saat pementasan tari Sanghyang Penyalin, sangat berbeda dengan pementasan tarian Sanghyang lainnya, biasanya tarian Sanghyang yang umum penarinya mengalami trance, tetapi pada pementasan tari Sanghyang Penyalin ini biasanya Penyalin (rotan) merupakan benda mati menjadi hidup layaknya memiliki jiwa atau roh. 

Dalam pertunjukkannya, sebatang penyalin yang digulung diletakkan pada sebuah tempat (dulang). Seorang penari yang telah ditentukan duduk sambil memegang rotan tersebut. Melalui proses pedudusan yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian oleh sekelompok penari, penyanyi pria dan wanita, Sanghyang kemudian kerawuhan (ditandai dengan lepasnya gulungan rotan) lalu menari sambil menggerak-gerakkan rotan ke sekeliling arena.

 

Terkandung nilai – nilai Tri Hita Karana dalam Tari Sanghyang Penyalin, dilihat dari bagaimana tarian ini di persembahkan sebagai bentuk permintaan manusia agar terhindar dari bencana (menolak bala), Sanghyang penyalin mempunya fungsi sebagai warisan budaya baik dari segi tari maupun musik yang wajib dilestarikan oleh generasi muda. Fungsi sosial itu mengajak masyarakat untuk bekerja sama, Sanghyang Penyalin juga mempunyai unsur religi yang mengandung keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk implementasi Tri Hita Karana dalam Sanghyang Penyalin dapat dilihat mulai dari persiapan hingga akhir pertunjukan, terbukti adanya kesurupan pada rotan (penyalin) yang digunakan selama pertunjukan. Terjadi interaksi sosial antar seluruh desa masyarakat yang ditandai dengan berjalannya kinerja dengan baik dan dengan lancer. Tari Sanghyang Penyalin di desa Pakraman Pancasari mengandung nilai-nilai pendidikan 

Tari Sanghyang Penyalin (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

Nilai Etika, Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia hanya akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia lainnya didalam masyarakat. Nilai etika dalam upacara dan pementasan tari Sanghyang Penyalin di desa Pakraman Pancasari terlihat pada Kebersamaannya. Sebagai makhluk sosial pastinya tidak bisa hidup sendiri, sama halnya dalam aktivitas berkesenian di Bali, sekuler apapun bentuknya, maka tidak bisa lepas dari konsep religiusitas yang fungsi pokoknya adalah sakralisasi dan sosial, karena melibatkan berbagai komponen masyarakat pendukung yang terdiri dari sekaa gong, sekaa santi, sekaa igel, tukang banten, pemangku dan anggota masyarakat lainnya di dalam mempersiapkan berbagai sarana baik yang berbentuk fisik maupun non fisik untuk  berlangsungnya upacara tersebut.

Nilai Estetika, Estetika berarti keindahan. Keindahan meliputi keindahan alam (keindahan tidak bisa dibuat oleh manusia), dan keindahan yang dibuat oleh manusia (keindahan yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia). Keindahan buatan manusia inilah yang disebut dengan kesenian. Estetika merupakan segala sesuatu yang membuat kita kagum “kelangen”, tertegun, takjub, dan didalamnya terkandung makna kebaikan, kebenaran dan menyenangkan antara pengamat dengan objek yang diamatinya.

 

Nilai Religi, Hampir semua tarian Bali bersifat religius karena sebenarnya tari-tarian yang bersifat sekular pun mempunyai sangkut-paut dengan kehidupan keagamaan. Berdasarkan religi mereka, dewa-dewa yang berdiam di ring luwur akan turun ke dunia apabila mereka ini diundang datang pada suatu upacara, untuk menduduki singgasana mereka di pura.