Entil Pupuan, Makanan Tradisional Kaya Filosofi Jadi Oleh-Oleh Leluhur saat Rahina Ulihan?

Ulihan, hari suci istimewa di Bali yang dipercaya sebagai momen "pulangnya" para leluhur. Di Desa Pupuan, masyarakat melakukan sesuatu yang unik dengan menciptakan hidangan khusus yang dianggap sebagai "buah tangan" bagi leluhur mereka. Meskipun memiliki tampilan sekilas mirip ketupat dan penyajian mirip bubur, tak membuat keunikan hidangan ini berkurang. Bagaimana tidak? hidangan ini terbuat dari daun dan diikat dengan tali yang hanya dapat ditemukan di wilayah Pupuan.

Nov 7, 2023 - 06:43
Oct 7, 2023 - 14:22
Entil Pupuan, Makanan Tradisional Kaya Filosofi Jadi Oleh-Oleh Leluhur saat Rahina Ulihan?
Entil (Sumber: Koleksi Pribadi)
Entil Pupuan, Makanan Tradisional Kaya Filosofi Jadi Oleh-Oleh Leluhur saat Rahina Ulihan?

Pernah mendengar Rahina Ulihan? Hari suci di Bali yang dipercaya sebagai momen "pulangnya" para leluhur. Pada hari suci ini, terdapat hal unik yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Mereka menghidangkan sebuah makanan yang hanya dibuat enam bulan sekali. Konon katanya, makanan ini merupakan "oleh-oleh" yang akan diberikan kepada leluhur mereka yang pulang pada saat itu. Sobat kuliner mungkin tahu makanan apa yang dimaksud?

 

Entil merupakan makanan tradisional yang hanya dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Pupuan, Tabanan. Hidangan istimewa satu ini mengandung makna filosofis yang mendalam. Kata “entil atau entel berasal dari Bahasa Bali, tepatnya "kentel" yang memiliki arti "kukuh" atau "kokoh”. Jadi, entil merupakan simbolisasi pengukuhan anugerah sebelum leluruh kembali saat Rahina Ulihan. Leluhur yang pulang diberikan persembahan, dengan harapan “beliau” akan memberikan anugerah kembali, kepada masyarakat yang menghaturkan persembahan tersebut.

 

Dalam pembuatannya satu “takep” atau “bungkulentil terdiri dari dua bilah yang dililit atau diikat dijadikan satu dengan tali. Mengapa demikian? Hal ini melambangkan roh yang ada dalam diri, atau masyarakat Bali mengenalnya sebagai Sang Hyang Numadi. Masyarakat Bali meyakini bahwa di dalam diri setiap individu memiliki dua jenis roh yang berpasangan yaitu “laki-laki” dan “perempuan”. Konsep ini tercermin dalam proses pembuatan Entil, dimana dua bilah digabungkan menjadi satu, menggambarkan kesatuan dan keseimbangan antara roh "laki-laki" dan "perempuan" dalam diri setiap orang. Dalam penyajiannya pada "banten" Ulihan di Pupuan, fungsi Entil serupa dengan ketupat. Sehingga, harus berjumlah 6 bilah atau 3 pasang (akelan).

 

Daun Kalingidi (Sumber: Koleksi Pribadi)

Sekilas Entil memang memiliki tampilan yang mirip dengan ketupat atau lontong yang umumnya kita kenal. Meskipun pada pandangan pertama, Entil terlihat serupa dengan lontong yang terbuat dari beras, dari sisi ukuran dan bentuknya entil relatif kecil dan agak gepeng. Bahkan, di beberapa daerah lain di Bali, terdapat hidangan serupa dengan Entil yang juga digunakan sebagai persembahan pada Rahina Ulihan. Hanya saja, hidangan tersebut memiliki cara pembuatan dan nama yang berbeda. Sebagai contoh, di Bali Utara terdapat tipat pesor dan juga tipat blayag. Lalu, apa yang membuat Entil ini berbeda dengan yang lainnya? 

 

Entil memiliki keunikan tersendiri dalam penyajiannya, yaitu dengan menggunakan daun yang hanya dapat ditemukan di Desa Pupuan, yang dikenal sebagai daun kalingidi. Daun ini, awalnya hanya tanaman liar yang banyak dijumpai di lereng Gunung Batukaru. Meskipun memiliki tampak biasa dengan penampilan yang mirip dengan daun kunyit, sebenarnya kalingidi memiliki makna tersendiri. Kata kalingidi dapat didekompilasi menjadi dua suku kata, yaitu "kali" dan "ngidi". "kali" atau "kala" dalam Bahasa Bali merujuk pada waktu. Sedangkan, "ngidi" atau "ngid" mengacu pada "tanekan" atau endapan, yang dapat diartikan sebagai meninggalkan anugerah. Dengan demikian, kalingidi menggambarkan momen atau waktu ketika leluhur kembali pada Rahina Ulihan dengan meninggalkan anugerah. 

 

Tak sampai disitu saja, tali yang digunakan untuk melilit Entil pun hanya dapat ditemukan di Desa Pupuan yaitu tali kaso-kaso. Kaso-kaso berasal dari kata "kasa" yang memiliki arti putih. Namun, pelafalan dialek masyarakat Desa Pupuan sering menggantikan akhiran "a" dengan "o" sehingga terbentuklah kata "kaso". Dalam konteks ini, warna putih pada tali kaso-kaso melambangkan kesucian. Sehingga, Entil dapat difilosofikan sebagai dua bilah laki-laki dan perempuan di dalam diri yang kemudian digabungkan dan diikat dengan kesucian. Sebagai simbol mempersembahkan kesucian saat Rahina Ulihan. Dengan harapan, para leluhur kembali memberikan anugerah yang sama yakni kesucian. 

Tahap Pembuatan Entil (Sumber: Koleksi Pribadi)

Cara pembuatan Entil tergolong sederhana. Hidangan ini terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kalingidi dan dililit dengan tali kaso-kaso. Dimasak dengan cara direbus selama empat hingga lima jam hingga matang. Biasanya, proses memasak Entil tidak menggunakan kompor, melainkan kayu bakar. Terutama kayu kopi, yang dipercaya memberikan aroma masakan yang lebih lezat. Kelezatan Entil terkait erat dengan penggunaan daun kalingidi sebagai bungkusnya. Daun ini memberikan warna hijau khas pada Entil, yang memberikan aroma dan rasa yang unik. Bahkan setelah didinginkan, Entil tetap memiliki sentuhan rasa mint yang khas. Daun kalingidi juga memungkinkan Entil untuk tahan selama dua hingga tiga hari.

 

Saat Rahina Ulihan, Entil biasanya disajikan bersama dengan berbagai lauk seperti urutan (jeroan babi) yang diasap atau didendeng, ikan goreng, sayur urab, ayam suwir, dan saur (serundeng kelapa). Tak hanya Rahina Ulihan, Entil juga digunakan oleh masyarakat Pupuan ketika terdapat upacara kedukaan, tepatnya hari ketiga setelah orang meninggal atau biasa disebut dengan “nutug katelun. Nutug katelun ini dilakukan dengan mengunjungi “setra” sebelum pukul 6 pagi atau sebelum matahari terbit, dengan membawa “banten” yang berisikan Entil. Lalu, apakah makna Entil disini serupa dengan makna entil saat Ulihan?

 

Upacara Nutug Katelun (Sumber: Koleksi Pribadi)

Berbeda dengan makna Entil saat Ulihan, yakni leluhur yang "pulang" disucikan. Dengan harapan “beliau” pergi dengan berbekal kesucian dan pulang menganugerahkan kesucian. Ketika Nutug Katelun, makna entil berfokus pada tindakan penyucian tanpa mengharapkan anugerah kesucian sebagai balasan. Dalam konteks ini, Sang Hyang Numadi yang merupakan simbol tubuh dengan dua kekuatan, laki-laki dan perempuan lah yang menjadi fokus penyucian. Konon katanya, tujuan penyucian disini adalah agar yang “numadi” pada badan kasar dapat diterima untuk ngayah di Pura Prajapati, sehingga terbebas dari ikatan duniawi.

 

Tak sampai disana saja, Entil dengan bahan pembuatan yang istimewa dan makna filosiofis yang mendalam ini, juga memiliki tata cara konsumsi yang unik. Saat membuka tali yang melilit Entil, kita harus mengikuti prosedur khusus dengan cara memotongnya sehingga terbelah menjadi dua bagian (tidak boleh dibuka sembarangan). Setengah dari Entil ini harus dipersembahkan terlebih dahulu sebagai sesajen, sementara setengahnya lagi baru dapat dinikmati. Awalnya, Entil hanya dapat dinikmati di "Desa Pupuan" saat perayaan Rahina Ulihan yang berlangsung sekali dalam enam bulan. Namun, saat ini hidangan khas tersebut telah menjadi bagian dari kuliner sehari-hari masyarakat di "Kecamatan Pupuan", tanpa harus menunggu selama setengah tahun. 

 

Jadi, Bagaimana? Apakah Anda tertarik untuk mencoba hidangan tradisional yang kaya akan filosofi ini? Jika Anda berkunjung ke wilayah Kecamatan Pupuan, jangan lewatkan kesempatan untuk menikmati Entil. Ingatlah bahwa hidangan ini adalah hidangan eksklusif yang hanya ada di wilayah Pupuan, dan Anda tidak akan menemukannya di luar wilayah tersebut. Selamat mengeksplorasi kekayaan cita rasa kuliner Bali dengan makna mendalam yang ditawarkan oleh Entil Pupuan.