Mengeksplor Keunikan dan Sejarah Perjuangan Merebut Kembali Desa Adat Saba
Desa adat di Bali merupakan suatu bentuk komunitas lokal yang mengikuti tatanan budaya dan tradisi yang telah ada sejak zaman dahulu dan telah diwariskan oleh para leluhur. Desa Adat Saba merupakan bentuk perjuangan I Gusti Gede Padang dalam merebut kembali wilayah Alas Rengked dari Kerajaan Sukawati. Kekayaan sejarahnya tercermin dalam suatu keris dan transformasi dari Alas Rengked hingga menjadi Desa Adat Saba. Memiliki 5 pura kahyangan tiga sebagai stana Dewa Tri Murthi dengan rumpun masyarakat yang beragam serta gelang dan kalung benang merah sebagai simbol identitas khas Desa Adat Saba membuatnya berbeda dengan desa adat lainnya.

Desa adat merupakan sebutan untuk sebuah desa yang dikelola oleh masyarakat adat dan memiliki hak untuk mengurus wilayah serta kehidupan masyarakat dengan kepengurusan sendiri atau dengan kata lain oleh prajuru adat. Setiap desa adat memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan desa adat lain, seperti adanya batasan wilayah yang jelas, masyarakat dengan persyaratan tertentu, pura kahyangan tiga, otonomi ke luar maupun ke dalam, serta adanya pemerintahan adat beserta kepengurusannya. Desa adat memiliki beberapa tugas dari pemerintah daerah di antaranya melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa adat. Selain itu, desa adat juga memiliki kewenangan dalam mengatur dan melaksanakan pemerintahan, mengatur dan mengurus wilayah desa adat, serta memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, dan budaya kepada masyarakat. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai sebuah desa adat dengan kekayaan sejarah dan keunikan yang membedakannya dengan desa adat lain di Bali, yaitu Desa Adat Saba.
Monografi Desa Adat Saba (Sumber: Koleksi Pribadi)
Desa Adat Saba merupakan sebuah desa adat yang terletak di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Untuk sampai di desa adat ini, membutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan menggunakan kendaraan dari Kota Denpasar dengan menempuh jarak sekitar 19 km. Menurut I Gusti Ngurah Mahendradinata yang merupakan Bendesa Desa Adat Saba, sejarah dari desa adat ini telah tertuang dalam buku Monografi Desa Adat Saba. Beliau menyatakan bahwa wilayah desa adat ini dahulunya sekitar tahun 1830-an merupakan sebuah hutan yang disebut dengan nama Alas Rengked, di dalamnya terdapat sebuah pedukuhan yang dipimpin oleh seorang mekel bernama I Rengked. Hutan ini merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Blahbatuh, tetapi kemudian dikuasai oleh Kerajaan Sukawati dengan rajanya saat itu bernama Dewa Agung Anom Kalang yang bertempat di Ketewel, Batuyang.
Raja Kerajaan Blahbatuh pada saat itu yaitu I Gusti Ngurah Jelantik merasa kecewa karena teritorial daerah Blahbatuh dikuasi oleh Kerajaan Sukawati. Beliau kemudian mengutus leluhur masyarakat Desa Adat Saba bernama I Gusti Gede Padang yang berasal dari Bona untuk merebut kembali Alas Rengked. Namun, karena beliau tidak menginginkan adanya pertempuran dan pertumpahan darah yang dapat menyebabkan masyarakat menderita, beliau akhirnya datang ke Alas Rengked bersama beberapa prajurit dengan jumlah sekitar 11 orang untuk mengadakan diplomasi agar menemukan solusi terbaik yang tidak menyengsarakan masyarakat. Akhirnya, wilayah Alas Rengked ini diserahkan kembali kepada Kerajaan Blahbatuh. Atas jasa I Gusti Gede Padang yang telah berhasil merebut kekuasaan wilayah Alas Rengked, beliau akhirnya diberikan kekuasaan atas wilayah tersebut oleh Kerajaan Blahbatuh. Pada saat penyerahan kekuasaan, beliau diberikan sebuah keris yang diberi nama Keris Pusaka Rengked dan sampai saat ini disimpan di Puri Saba.
Karena Raja Blahbatuh merasa senang atas keberhasilan I Gusti Gede Padang dalam merebut kembali Alas Rengked, nama Alas Rengked kemudian diubah menjadi Toh Jiwa karena adanya pertaruhan jiwa dalam proses perebutan wilayah tersebut. Setelah beberapa lama, I Gusti Gede Padang menyadari bahwa jumlah penghuni Toh Jiwa sangat sedikit, sehingga beliau meminta kepada raja-raja di seluruh Bali untuk membawa masyarakat yang akan dikenakan hukuman mati untuk dibina di wilayah Toh Jiwa. Setelah adanya pertambahan jumlah masyarakat, I Gusti Gede Padang manyampaikan hal tersebut ke Puri Blahbatuh hingga akhirnya diberikan status dan nama Toh Jiwa diubah menjadi Pesaban atau yang sekarang dikenal dengan nama Saba.
Gelang Benang Merah (Sumber: Koleksi Pribadi)
Kekayaan sejarah Desa Adat Saba ini tentu merupakan hal yang menarik dan perlu dipahami oleh generasi muda untuk menghargai perjuangan besar yang telah dilakukan oleh para leluhur. Namun, penting juga untuk mengetahui keunikan yang dimiliki oleh desa adat ini yang membuatnya berbeda dengan desa adat lain sekaligus sebagai bentuk apresiasi kekayaan tradisi dan budaya. Beberapa keunikan dari Desa Adat Saba yaitu:
- Memiliki 13 pura dengan 5 pura kahyangan tiga di dalamnya. Jika umumnya desa adat hanya memiliki 3 pura kahyangan tiga dengan masing-masing 1 Pura Desa, 1 Pura Puseh, dan 1 Pura Dalem, Desa Adat Saba memiliki 1 Pura Desa, 2 Pura Puseh, dan 2 Pura Dalem yang membuatnya berbeda dengan desa adat lainnya.
- Melakukan upacara Caru Linuh setelah terjadi gempa. Upacara ini akan dilakukan oleh masyarakat untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar diberikan keselamatan dan menjaga keseimbangan alam.
- Melakukan upacara Nangluk pada Purnama Sasih Kalima. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan dijauhkan dari hal-hal yang bersifat negatif seperti wabah ataupun bencana alam. Kemudian, setelah 15 hari tepatnya pada hari Tilem Sasih Kalima akan disusul oleh Desa Adat Blahbatuh.
- Memiliki banyak soroh atau rumpun masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada saat Alas Rengked berhasil direbut kembali oleh I Gusti Gede Padang, banyak masyarakat dari seluruh Bali yang dibawa ke wilayah ini untuk dibina dan kemudian menetap, sehingga kini Desa Adat Saba memiliki banyak rumpun masyarakat yang beragam.
- Masyarakat Desa Adat Saba menggunakan gelang ataupun kalung benang dengan hanya satu warna yaitu warna merah. Benang ini biasanya akan didapatkan saat dilaksanakannya upacara pada hari Purnama Sasih Kanem. Gelang ataupun kalung merah ini hanya digunakan oleh masyarakat Desa Adat Saba saja, mengingat beberapa wilayah di Bali lainnya biasanya menggunakan benang Tridatu.
Dengan kekayaan sejarah yang begitu mendalam dan keunikan yang membedakannya dengan desa adat lain, Desa Adat Saba merupakan salah satu warisan budaya yang bernyawa dan bukan hanya suatu kumpulan rumah ataupun pemukiman. Perjuangan I Gusti Gede Padang dalam merebut kembali wilayah Alas Rengked, serta budaya yang diwariskan secara turun-temurun membuat Desa Adat Saba menjadi salah satu jendela yang membuka wawasan tentang kehidupan masyarakat adat Bali.