Stri Parwa: Tangis Pilu di Balik Kemenangan Bharatayudha

Stri Parwa menggambarkan duka mendalam para wanita setelah perang Bharatayudha. Meski Pandawa menang, mereka diselimuti rasa bersalah dan kehilangan. Kisah ini menekankan bahwa perang hanya membawa penderitaan, tanpa pemenang sejati.

Jul 27, 2025 - 04:03
Nov 13, 2024 - 18:45
Stri Parwa: Tangis Pilu di Balik Kemenangan Bharatayudha
Tangis kaum wanita setelah perang Bharatayudha (Sumber: Koleksi Pribadi)

Setelah perang dashyat yang mengguncang dunia, para pandawa akhirnya kembali ke kerajaan mereka membawa kemenangan sekaligus kedukaan mendalam atas kematian ribuan prajurit, dan 100 kurawa beserta pemimpinnya Duryodhana yang merupakan sepupu mereka sendiri. Kemenangan itu terasa pahit karena setiap langkah menuju istana diiringi oleh kenangan akan nyawa nyawa yang telah terkorbankan. Di sepanjang perjalanan pemandangan pandawa adalah para wanita dari keluarga Kurawa dan sekutu-sekutunya yang menangisi kehilangan mendalam atas kematian Suami, ayah, anak-anak, dan saudara-saudara mereka yang dulu berangkat dengan penuh semangat kini tak lagi kembali, meninggalkan hanya kenangan dan kesedihan di medan perang yang kejam.

Setelah tiba di istana, Yudhistira bersama Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berjalan dengan hati-hati menuju kearah Dhristarashtra, paman mereka yang buta dan ayah dari para Kurawa. Mereka membawa beban berat di hati, berharap dapat mencari berkat dan memohon pengampunan atas apa yang telah terjadi. Namun, begitu mereka berada di hadapannya, Dhristarashtra tidak mampu menahan amarah dan kesedihan yang membara dalam hatinya. Kekalahan anak-anaknya di medan perang telah menghancurkan jiwanya. Dengan suara yang bergetar, ia meminta Bhima untuk mendekat dan memeluknya. Meski kata-katanya terdengar lembut, ada kemarahan yang tersembunyi di baliknya. Saat Bhima hendak melangkah, Basudewa Krishna segera membisikkan peringatan kepadanya. “Jangan dekati dia,” katanya pelan namun tegas. Krishna lalu menciptakan sebuah patung di hadapan Dhristarashtra, menggantikan Bhima.

Dhristarashtra menghancurkan patung yang ia kira Bhima (Sumber : Koleksi Pribadi)

Dengan tangan yang gemetar dan penuh dendam, Dhristarashtra meraih bahu patung itu, mengira Bhima berada di hadapannya. Dalam sekejap, ia melepaskan ajian Gumbala Geni, kekuatan mematikan yang ia simpan hanya untuk Bhima. Suara keras terdengar saat patung itu hancur menjadi abu, lenyap dalam hitungan detik. Prabu Dhristarashtra seketika tersadar. Dadanya terasa sesak, dan air mata mulai menggenang di matanya. Penyesalan mendalam menghantam dirinya saat ia menyadari dendam yang membara telah membutakannya. Dengan suara terisak, ia memohon maaf, yakin bahwa Bhima telah tewas di tangannya. Namun, Basudewa Krishna, dengan kelembutan bijaksananya, meletakkan tangan di bahu Dhristarashtra dan berkata, “Tenanglah, Prabu. Bhima masih hidup. Apa yang kau hancurkan hanyalah sebuah patung”. Mendengar hal itu, Dhristarashtra seakan terlahir kembali. Hatinya yang dipenuhi rasa dendam mulai mencair, dan ia bergegas menghampiri Bhima. Dengan penuh keikhlasan, ia memeluk Bhima erat, air mata masih mengalir di wajahnya. “Aku mengampunimu, Bhima,” katanya dengan suara bergetar, “dan aku berharap kau juga bisa memaafkanku.”

Sosok Gandhari ibu para Kurawa (Sumber : Koleksi Pribadi)

Setelah mendengar kepulangan pandawa Gandihari, ibu dari seratus Kurawa, menghampiri mereka dengan langkah berat. Wajahnya dipenuhi kesedihan yang tak tertahankan, dan di matanya, amarah membara. rasa sakit yang ia rasakan atas kematian anak-anaknya, terutama Duryodhana, tak dapat lagi ia sembunyikan. Hatinya hancur, seakan tertusuk ribuan belati yang tak pernah hilang. Dengan suara yang bergetar, penuh luka dan kemarahan, Gandhari berdiri di hadapan Krishna, sang Basudewa. “Kau… kau adalah dewa yang agung, penguasa dari segala yang terjadi di dunia ini!” teriaknya, air matanya mengalir tanpa henti. “Mengapa, Krishna? Mengapa kau membiarkan perang ini terjadi? Dengan kekuatan yang kau miliki, kau bisa menghentikan semuanya. Kau bisa menyelamatkan seratus anakku! Tapi kau memilih diam, memilih menonton kehancuran ini!”

Gandhari, yang hatinya patah oleh kesedihan mendalam, mengangkat tangannya yang gemetar dan mengutuk Krishna. “Atas kelambananmu, Krishna, aku mengutukmu! Seperti aku kehilangan seluruh anak-anakku, suatu hari nanti kau juga akan kehilangan semua keluargamu. Kau akan menyaksikan keruntuhan dinasti Yadawa, dan di saat itu, kau akan merasakan rasa sakit yang sama seperti yang aku rasakan Krishna, yang telah mengetahui semua ini akan terjadi, hanya menundukkan kepala. “Kutukanmu, Gandhari, telah tertulis dalam takdir. Aku menerimanya, seperti yang seharusnya.” Suaranya lembut namun penuh makna, tak ada amarah atau pembelaan, hanya penerimaan atas karma yang akan datang. sekarang.”

Setelah kata-kata kutukan itu terucap, Gandhari menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Dalam sekejap, rasa penyesalan menyelimuti hatinya. Ia telah dikuasai oleh dendam dan kesedihan yang begitu mendalam, hingga melupakan kebijaksanaan dan belas kasih yang selama ini menjadi bagian dari dirinya. Tangisnya semakin pecah, air matanya tak lagi bisa dibendung. Dengan suara terisak, ia berkata kepada Krishna, “Basudewa, maafkan aku… Aku telah termakan oleh rasa sakit dan dendamku. Hatiku hancur oleh kehilangan ini, dan dalam kemarahan, aku mengutukmu. Aku tak seharusnya melakukan itu. Kau tak layak menanggung dendamku. Maafkan aku, Krishna.” Krishna, yang selama ini memahami betul rasa sakit dan penderitaan manusia, menatap Gandhari dengan penuh kelembutan. “Ibu yang terhormat aku mengerti perasaanmu, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Kehilangan seratus anakmu adalah luka yang tak bisa diukur dengan kata-kata. Hatimu terluka, dan dalam luka itu, kata-kata penuh dendam mungkin tak bisa terhindarkan.” Gandhari terisak semakin keras, ia paham bahwa meski rasa sakitnya tak akan pernah hilang, dia tidak lagi sendirian dalam penderitaan itu.

Rakyat Hastinapura mengenang tragedi perang di kurukshetra (Sumber : Koleksi Pribadi)

Keluarga kerajaan Hastinapura, bersama ribuan rakyat, berangkat menuju medan perang Kurukshetra. Perjalanan itu tak hanya bertujuan untuk penyucian arwah para pahlawan yang telah gugur, tetapi juga sebagai perjalanan terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka yang terbaring di medan perang. Di antara yang berjalan, ada istri-istri yang kehilangan suami, ibu-ibu yang kehilangan anak, dan saudara-saudara yang meratapi kepergian saudara mereka setiap langkah mereka diiringi oleh rasa duka. Saat mereka tiba di Kurukshetra, tanah yang pernah menjadi saksi peperangan dahsyat, pemandangan yang mereka hadapi begitu memilukan. Mayat-mayat para pejuang masih berserakan, membawa kenangan akan pertempuran sengit yang terjadi di sana. Suara tangis dan ratapan mulai terdengar, memecah keheningan medan perang yang telah lama sunyi. Di antara mayat-mayat yang berserakan, para wanita meratap dengan suara yang menyayat hati. Mereka menangisi masa lalu yang tak mungkin bisa mereka kembalikan

Drupadi, meski berada di pihak yang menang sebagai istri para Pandawa, tak merasakan kebahagiaan. Perang telah merenggut terlalu banyak darinya. saudara, anak-anak, dan sekutu-sekutunya gugur di medan Kurukshetra. Air matanya mengalir, bukan hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk setiap pahlawan yang gugur, tak peduli di pihak mana mereka berada. “Perang ini,” bisik Drupadi, “telah memusnahkan segalanya. Tak ada pemenang dalam kehancuran sebesar ini.” Menyadari betapa besar kerugian bagi seluruh keluarga, bahkan kematian Duryodhana meninggalkan duka di hatinya. Dengan suara bergetar, Drupadi memohon kepada suaminya, “Lakukanlah penghormatan terakhir, bukan hanya bagi pihak kita, tapi juga bagi semua prajurit yang gugur. Mereka semua layak dihormati.” Para Pandawa, tergerak oleh permintaan Drupadi, menyadari bahwa perang ini tidak hanya menghancurkan lawan mereka, tetapi juga menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.

Gandhari, dengan mata tertutup kain, meraba tanah yang dulu diinjak oleh anak-anaknya yang kini telah tiada. Setiap langkahnya dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Selama ini, ia menutup matanya sebagai tanda solidaritas dengan suaminya yang buta, namun kini ia membuka mata batinnya, menyaksikan kehancuran besar yang telah terjadi. Dengan hati yang hancur, Gandhari meratap sebagai seorang ibu yang kehilangan seluruh keturunannya. Dalam tangisnya, ia mengungkapkan kesedihan yang mendalam meski menyadari kesalahan anak-anaknya, ia tetap tak mampu menerima kenyataan bahwa mereka semua telah tiada. Ratapannya mencerminkan penderitaan seorang ibu yang terperangkap antara cinta dan duka yang tak terhingga.

Kunti, ibu dari para Pandawa, merasakan kesedihan yang tak terhingga meski anak-anaknya memenangkan perang. Hatinya hancur, bukan hanya karena kehilangan anggota keluarga, tetapi terutama karena kematian Karna, putra sulungnya yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. Karna, yang dibesarkan di pihak Kurawa, musuh bebuyutan Pandawa, tak pernah tahu bahwa ia adalah saudara kandung dari mereka yang kini menjadi lawannya di medan perang. Yudhishthira, yang selalu menjunjung tinggi keadilan, kini tenggelam dalam rasa bersalah yang mendalam atas kematian Karna. Rasa sakit itu menyebar ke seluruh keluarga, dan Kunti, dengan penyesalan mendalam, merasakan beban dari penderitaan anak-anaknya. Meski Pandawa menang, Kunti merasa kehancuran yang ditinggalkan perang ini tak bisa diperbaiki. Seluruh keluarganya terpecah, dipenuhi kehilangan dan penyesalan. Baginya, kemenangan di medan perang tak berarti apa-apa jika yang tersisa hanyalah kehancuran yang merenggut jiwa-jiwa yang ia cintai.

suara ratapan para wanita memenuhi udara. Tidak hanya wanita dari pihak Pandawa yang berduka, tetapi juga para wanita Kaurawa. Mereka semua bersatu dalam kesedihan, tanpa memandang pihak mana yang menang atau kalah. Tangisan mereka bukan hanya tentang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, tetapi juga tentang kehancuran yang dibawa oleh perang. “Betapa kejamnya perang ini,” keluh seorang wanita, suaranya dipenuhi kesakitan. “Ambisi dan dendam telah merenggut segalanya, menghancurkan nyawa tak terhitung banyaknya.” Dalam suasana yang penuh ratapan dan penderitaan mendalam, semua wanita dari pihak Pandawa dan Kaurawa menyadari satu hal: perang tidak membawa kemenangan sejati. Semua pihak kehilangan orang-orang yang mereka cintai, dan tak ada yang luput dari kehancuran. Ratapan mereka bergema di medan Kurukshetra, sebagai saksi bisu dari tragedi besar yang telah merobek kehidupan mereka.

Upacara Shraddha (Sumber: Koleksi Pribadi)

Setelah ratapan dan duka mendalam yang menggetarkan hati, Pandawa memutuskan untuk mengadakan ritual keagamaan demi menenangkan jiwa para prajurit yang telah gugur di medan perang. Yudhishthira, sebagai pemimpin Pandawa, dipenuhi rasa bersalah. Meskipun mereka memenangkan perang, di hatinya Yudhishthira tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu maha lebih banyak kesengsaraan daripada kebahagiaan sejati yang mereka dapatkan. Krishna, Bhisma, dan para rishi, dengan kebijaksanaan mereka, membimbing Yudhishthira untuk melakukan upacara Shraddha, sebuah ritual pemujaan untuk menenangkan arwah para pahlawan yang telah meninggal. Dalam suasana yang khusyuk, seluruh Pandawa berkumpul, memanjatkan doa-doa suci, memberikan penghormatan terakhir kepada saudara-saudara mereka dan prajurit-prajurit yang telah gugur. Upacara itu menjadi simbol pengingat bagi mereka semua bahwa di balik kemenangan, ada luka yang tak akan pernah sembuh.

Files