Keagungan Pura Bukit Gumang: Harmoni Alam dan Spiritualitas

Menjulang di puncak bukit tandus, Pura Bukit Gumang memancarkan keagungan yang menyatu dengan alam. Dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar, pura ini menawarkan ketenangan spiritual yang mendalam. Keberadaan kawanan monyet liar di sekitarnya menambah nuansa alami, menjadikan setiap kunjungan sebagai perjalanan yang penuh makna.

Aug 17, 2025 - 08:45
Aug 17, 2025 - 11:59
Keagungan Pura Bukit Gumang: Harmoni Alam dan Spiritualitas
Pura Bukit Gumang (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Bali menyuguhkan berbagai destinasi wisata yang memikat. Selain keindahan alam Karangasem yang mempesona, pulau ini juga terkenal dengan julukan "Pulau Seribu Pura" berkat banyaknya pura yang tersebar di seluruh penjuru wilayahnya. Salah satu yang mencuri perhatian adalah Pura Bukit Gumang, yang juga dikenal dengan nama Pura Bukit Batu Kursi. Terletak di dataran tinggi dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan, pura ini menawarkan keindahan alam yang luar biasa. Pura Bukit Gumang tidak hanya merupakan tempat suci yang dihormati, namun juga menjadi tujuan wisata yang populer, di mana pengunjung datang tidak hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk menikmati pemandangan dan merasakan atmosfer adat istiadat setempat.

Pura Bukit Gumang di Karangasem, Bali, merupakan salah satu tempat suci yang menyuguhkan keindahan alam yang mempesona, serta atmosfer spiritual yang kental. Terletak di dataran tinggi dengan latar belakang pemandangan pegunungan yang menakjubkan, pura ini menawarkan kedamaian dan ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Keindahan alam sekitar, ditambah dengan udara segar dan pemandangan hijau yang luas, menjadikan Pura Bukit Gumang sebagai destinasi yang tidak hanya dihormati oleh umat Hindu, tetapi juga menarik bagi wisatawan yang ingin merasakan kedamaian sambil menikmati pesona alam Bali.

Keindahan Pura Bukit Gumang dari atas puncak bukit (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pura Bukit Gumang terletak di Desa Pekraman Bugbug, Kabupaten Karangasem. Pura ini berada di puncak Bukit Gumang atau Bukit Juru, yang merupakan bukit tandus dengan ketinggian sekitar 279 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapainya, pengunjung harus mendaki lereng bukit dari jalan raya yang berkelok di kawasan Sanghyang Ambu. Bukit ini dihuni oleh banyak kera liar yang menjadi penghuni tetap Pura Bukit Gumang. Menurut cerita warga setempat, dahulu kawasan yang dulunya berhutan lebat ini juga menjadi tempat hidup kawanan sapi liar yang disebut Sampi Gumang. Namun, kini sapi-sapi tersebut sudah tidak ada lagi, sementara kawanan kera liar yang dikenal sebagai Bojog Gumang masih bertahan. Secara turun-temurun, Pura Bukit Gumang diempon oleh lima desa pekraman, yaitu Desa Bugbug, Bebandem, Datah, Jasri, dan Ngis. Untuk mencapai Pura Bukit Gumang dari jalan raya, pengunjung harus melewati tiga punggungan bukit. Perjalanan ini dilakukan melalui jalan setapak berbatu dan sejumlah anak tangga, dengan sisi kanan dan kiri dipenuhi oleh pepohonan serta semak belukar khas tanaman di daerah tandus.

Keindahan tata ruang Pura Bukit Gumang (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Di bagian barat, terdapat pelinggih Gaduh Maprucut yang merupakan stana Betara Gede Gumang, dikenal juga sebagai pelinggih Gaduh Pakan Lanang. Selain itu, ada tiga pelinggih bebaturan capah sebagai tempat pemujaan taksu-taksu. Di bagian selatan yang sedikit lebih tinggi, terdapat Bale Agung sebagai tempat untuk menyajikan banten, serta sebuah tempat air untuk keperluan upacara.

Leretan bagian tengah, yang memanjang dari utara ke selatan, terdapat bangunan bertumpang tiga sebagai stana Betara Tri Purusa. Di selatannya, ada tonggak-tonggak sesaka yang menjadi tempat Bale Panggungan, digunakan sebagai stana Ida Betara dari Desa Bugbug, Bebandem, Jasri, Datah, dan Ngis saat odalan berlangsung. Di bagian selatan dari area ini, terdapat pelinggih Gaduh Rong Kalih sebagai stana Bhatara Ayu Lulut, Betara Ayu Mandasar, dan Betara Ayu Mas, yang dikenal dengan nama pelinggih Gaduh Pakan Istri. Pelinggih ini dikelilingi oleh tiga bebaturan capah sebagai tempat taksu-taksu.

Di leretan bagian timur, dari utara ke selatan, terdapat pelinggih Sanggar Agung yang merupakan stana Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Manik Anrawang atau Sanghyang Mahesora. Di sebelah selatannya, terdapat Bale Lantang dan Bale Pawaregan, sedangkan lebih ke selatan lagi terdapat Bale Lantang sebagai tempat paebatan.

Di bagian luar, di sepanjang punggung Bukit Gumang di luar Candi Bentar, terdapat pelinggih bebaturan capah yang menjadi tempat stana taksu-taksu, seperti Pelinggih Pengayatan Sanghyang Ambu, Pelinggih Taksu di Canggleg, Pelinggih Taksu di Canggleg Asah, Pelinggih Taksu di Kacu, dan Pelinggih Taksu di Pemapagan.

Pada lereng tenggara (kelod kangin), terdapat Pelinggih Padma Sari sebagai stana Jero Gede Jurang atau Jero Gede Pedasar, yang merupakan Betara di Bukit atau Gili Byaha. Sementara di barat daya (kelod kauh), terdapat dua pelinggih bebaturan capah yang berfungsi sebagai stana Taksu Lanang dan Taksu Istri.

Gapura Sang Hyang Ambu dari Pura Bukit Gumang (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Piodalan di Pura Bukit Gumang dilaksanakan pada hari Purnama Kapat dengan dua jenis upacara. Pertama, Piodalan Alit atau Aci Kedulu Cenik/Usaba Kedulu Cenik, yang diadakan setiap tahun ganjil. Upacara ini cukup dilaksanakan oleh penyungsung dari Desa Pekraman Bugbug. Kedua, Piodalan Ageng atau dikenal juga sebagai Aci Kedulu Gede, Usaba Kedulu Gede, Aci Gumang Ageng, atau Usaba Gumang Ageng, yang dilaksanakan setiap tahun genap. Dalam upacara ini, para Dewa atau Betara-Betari dari desa-desa pekraman manca desa, yaitu Bugbug, Bebandem, Jasri, Ngis, dan Datah, dihadirkan.

Piodalan Ageng diawali dengan Mabiyasa, yaitu rangkaian upacara penuh sukacita untuk menyambut kedatangan para Dewa atau Betara dari desa-desa tersebut setelah sekian lama tidak bertemu. Dalam upacara ini, pengiring atau pemundut dari masing-masing desa menarikan dan mengadu jempana atau joli yang mereka bawa. Ritual ini melambangkan permohonan untuk kesuburan dan kemakmuran agar hasil bumi melimpah. Puncak upacara ditandai dengan penyatuan jempana Bhatara Ukir Gumang dengan jempana Ida Betara Gede Manik Sakti, yang berstana di Pura Puseh Desa Bebandem. Jempana dari desa-desa lainnya juga ditempatkan di Bale Panggungan sebelum dilanjutkan dengan rangkaian upacara berikutnya.

Pada hari piodalan, baik alit maupun ageng, Pura Bukit Gumang selalu dipadati oleh pemedek. Namun, di hari-hari biasa, ada juga pemedek yang datang untuk melakukan persembahyangan khusus atau sekadar melakukan tirthayatra. Ketika berkunjung pada hari biasa, pemedek dianjurkan membawa sedikit gagapan untuk para monyet yang menghuni kawasan perbukitan tersebut, karena mereka sering berkeliaran di sekitar pura.

Jumlah monyet di sekitar pura cukup banyak, dan karena rasa lapar, kawanan tersebut kadang mengganggu konsentrasi pemedek yang sedang bersembahyang. Oleh karena itu, disarankan agar saat melakukan persembahyangan di hari biasa, ada seseorang yang berjaga untuk mengawasi monyet-monyet tersebut. Hal ini penting untuk mencegah mereka mengambil atau merusak banten sebelum waktunya.