Gambuh Batuan: Suara Tua Induk Seni Bali yang Masih Bernapas

Gambuh Batuan adalah warisan budaya yang telah bertahan lebih dari seribu tahun, lahir dari pertemuan Jawa dan Bali, lalu tumbuh sebagai sumber lahirnya seni pertunjukan Bali. Hingga kini, Gambuh masih berdenyut di Desa Batuan, Gianyar, hidup melalui ritual, dijaga oleh generasi penerus, dan hadir sebagai pengetahuan seni sekaligus spiritualitas.

Sep 10, 2025 - 16:16
Sep 10, 2025 - 22:45
Gambuh Batuan: Suara Tua Induk Seni Bali yang Masih Bernapas
Senyum Anggun Penari Gambuh Batuan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Gambuh adalah dramatari klasik Bali yang usianya sangat tua, bahkan dianggap sebagai yang tertua di antara seni pertunjukan lainnya. Lakonnya bersumber dari kisah Panji asal Jawa Timur, yang kemudian berpadu dengan nuansa spiritual masyarakat Hindu Bali. Dalam setiap pementasannya, Gambuh hadir dengan struktur dramatik yang kaya: tokoh Condong yang membuka cerita, dialog dalam bahasa Kawi dan Bali halus, hingga gamelan pagambuhan dengan suling besar yang bergetar seakan membawa kita ke masa lalu. Di Desa Batuan, Gambuh bukan hanya tontonan, melainkan bagian dari upacara, persembahan, serta jembatan sakral antara manusia dengan leluhur.

Pengiring Gamelan Gambuh Batuan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Kelangsungan Gambuh di Batuan dijaga oleh masyarakat desa, para maestro seni, serta sekaa (kelompok seni). Nama sekaa seperti Maya Sari, Tri Wangsa, Kakul Mas, hingga Satriya Lelana menjadi garda depan dalam menjaga seni ini. Para seniman sepuh yang telah puluhan tahun mengabdi menurunkan ilmunya pada generasi muda. Bagi mereka, Gambuh bukan sekadar pertunjukan, melainkan wujud bhakti dan warisan taksu yang harus dipelihara

Adegan Dramatari Gambuh Batuan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Gambuh biasanya dipentaskan pada upacara penting di pura, seperti odalan di pura desa dan puseh yang berlangsung setiap enam bulan sekali, serta pada perayaan Hari Saraswati. Ada pula pertunjukan rutin di pura ulun banjar Pekandelan setiap Buda Cemeng Merakih. Karena sifatnya sakral, Gambuh tidak tampil setiap hari, melainkan hanya pada momen khusus. Kini, Gambuh juga hadir di festival budaya dan bahkan telah menembus panggung internasional, menjadi duta budaya Bali di berbagai negara.

Wibawa Penari Pria Berpadu dengan Pesona Penari Wanita Gambuh Batuan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Desa Batuan, Gianyar, adalah pusat pelestarian Gambuh. Desa ini sejak lama dikenal sebagai desa seni, rumah bagi pelukis, pematung, hingga penabuh gamelan. Keberadaan bale pagambuhan di beberapa pura menjadi bukti pentingnya Gambuh dalam kehidupan ritual. Dari desa inilah Gambuh tumbuh, lalu menyebarkan pengaruhnya hingga ke Jepang, Prancis, Swiss, dan Jerman, memperkenalkan wajah klasik Bali ke dunia.

Keberlangsungan Gambuh tidak lepas dari semangat ngayah Masyarakat dan pengabdian tulus dalam setiap upacara adat. Regenerasi dilakukan melalui sanggar-sanggar seni, tempat anak-anak dan remaja belajar menari, memainkan gamelan, serta menguasai dialog Kawi. Mereka juga diajarkan Dharma Pagambuhan, tuntunan spiritual yang menjaga agar pertunjukan memiliki taksu. Meski modernisasi menghadirkan tantangan, Gambuh tetap bertahan karena disadari sebagai identitas budaya, bukan sekadar warisan masa lalu.