Jayaprana dan Layonsari : Kisah Asmara Penuh Tragedi
Tidak semua kisah cinta berakhir indah; dalam kenyataannya, sejarah telah mencatat sejumlah kisah asmara yang berakhir tragis. Di antara kisah-kisah tragis yang paling dikenang, terdapat legenda yang memikat hati banyak orang: kisah Jayaprana dan Layonsari. Kisah ini bukan hanya sekadar kisah cinta biasa; ini adalah kisah yang penuh dengan tragedi, pengorbanan, dan kesetiaan, yang telah merajut benang merahnya dalam benak dan hati banyak generasi, menempatkan kisah ini sebagai salah satu kisah asmara yang sangat dikenang dalam sejarah.
Pada zaman dahulu kala di Bali berdiri sebuah Kerajaan Bernama Kerajaan Kalianget yang sekarang menjadi desa Kalianget di Buleleng. Di sana, hiduplah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari sepasang suami istri dengan tiga anak: dua laki-laki dan satu perempuan. Kerajaan tersebut terkena suatu wabah penyakit, dan keluarga miskin tersebut pun terkena imbasnya. Empat orang anggota keluarga tersebut meninggal karena penyakit, menyisakan si bungsu, yaitu I Nyoman Jayaprana.
Setelah kehilangan seluruh anggota keluarganya, Jayaprana memberanikan diri untuk datang kepada Raja Kalianget dan meminta agar dirinya diberikan kesempatan untuk mengabdi kepada raja. Sang Raja Kerajaan Kalianget, yang sedang menderita dan berduka atas banyak warganya yang meninggal, merasa iba dan kasihan atas seorang anak yang ditinggalkan keluarganya tersebut, akhirnya menerima Jayaprana. Jayaprana yang mengabdi dan diasuh oleh Raja tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan rupawan. Sejak itu, Jayaprana mengabdi kepada Raja Kalianget, tetapi tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Ia adalah seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Setiap pagi, ia berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai abdi raja. Tidak mengherankan jika ia menjadi abdi kesayangan sang raja, yang sangat menyayangi dan mengasihi Jayaprana seperti anaknya sendiri.
Dengan wajahnya yang rupawan, Jayaprana menjadi idola dari dayang-dayang di Kerajaan Wanakeling Kalianget. Hal ini membuat sang raja memerintahkan Jayaprana untuk memilih dayang-dayang tersebut sebagai istrinya. Namun dengan penuh kerendahan hati, Jayaprana menolak untuk memperistri dayang-dayang tersebut karena ia ingin mencari istri yang benar-benar dicintainya. Ia juga merasa bahwa dirinya masih kanak-kanak dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara. Meski demikian, Raja Kalianget tetap mendesak Jayaprana untuk menemukan seorang pasangan hidup. Akhirnya, karena Jayaprana selalu mengabdi kepada sang raja, ia pun menuruti keinginan sang raja dan meminta waktu untuk memilih istrinya.
Pada suatu hari, Jayaprana berjalan-jalan ke luar istana dan pergi ke pasar, memikirkan keinginan sang raja. Namun, seperti sudah ditakdirkan, di sana ia terpukau oleh kecantikan seorang penjual bunga, anak dari Jero Bendesa Banjar Sekar. Gadis ini bernama Ni Komang Layonsari. Layonsari, yang merasa dipantau oleh seseorang, berusaha menghilang di tengah kerumunan pasar. Jayaprana yang kehilangan Layonsari pun bergegas ke istana untuk memberitahu raja mengenai gadis tersebut. Raja yang mengetahui pedagang bunga tersebut merupakan anak dari Jero Bendesa Banjar Sekar langsung memberitahu Jayaprana dan memerintahkan Jayaprana mengirimkan surat lamaran kepada Jero Bendesa Banjar Sekar. Jayaprana pun bergegas mengirimkan surat tersebut ke Jero Bendesa Banjar Sekar.
Setibanya di sana, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Isi surat tersebut ternyata merupakan surat lamaran untuk anaknya, yaitu Layonsari. Melihat Jayaprana yang gagah dan rupawan serta merupakan abdi Kerajaan yang setia dan sudah dianggap anak oleh sang raja, ayah Layonsari tidak keberatan jika anaknya dikawinkan dengan Jayaprana.
Jayaprana merasa sangat senang mendengar jawaban dari sang Jero Bendesa dan langsung bergegas kembali ke Kerajaan. Di istana, raja sedang mengadakan rapat di pendopo. Jayaprana, yang hatinya sangat gembira, langsung menyela rapat tersebut dan menginformasikan kepada sang raja bahwa lamarannya diterima oleh Jero Bendesa. Sang raja yang sudah menganggap Jayaprana seperti anaknya sendiri ikut bahagia mendengar berita tersebut. Pada saat itu juga, sang raja mengumumkan kepada segenap hadirin bahwa pernikahan Jayaprana akan dilakukan pada Selasa Legi Wuku Kuningan. Raja lalu memerintahkan seluruh perbekel untuk mulai menyiapkan segala kebutuhan Jayaprana, seperti rumah-rumah dan balai-balai selengkapnya.
Tiba hari pernikahan Jayaprana dan Layonsari yang diiringi oleh rakyat desa setempat, pergi ke rumah Jero Bendesa hendak meminang Layonsari dengan alat selengkapnya. Raja masih menunggu di istana. Rombongan Jayaprana dan Layonsari turun dari kereta kuda, menundukkan kepala, dan menyembah sang raja yang turut merestui hubungan mereka. Namun, dalam hati sang raja, ia terkejut melihat betapa cantiknya Layonsari, sehingga raja tidak mampu berkata-kata.
Setelah sekian lama menduda, tumbuhlah benih-benih cinta di hati sang raja karena melihat kecantikan Layonsari. Raja Kalianget yang sebelumnya terkenal bijaksana mulai terbutakan oleh cinta dan ingin merebut istri Jayaprana, yang sudah lama dianggap layaknya anaknya sendiri. Setelah pesta perkawinan itu usai, Jayaprana bersama istr inya memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Setelah keduanya pergi, Raja Kalianget segera menyusun strategi untuk membunuh Jayaprana. Terbersit rencana untuk mengirim Jayaprana ke Teluk Terima. Raja memanggil seluruh patihnya untuk memberikan pertimbangan mengenai rencana membunuh Jayaprana secara diam-diam.
Keesokan harinya, Raja Kalianget memerintahkan Jayaprana untuk menghadap. Setibanya Jayaprana di balai penghadapan, Raja Kalianget memberikannya tugas untuk melakukan perjalanan ke Celuk Terima untuk menginvestigasi masalah yang terjadi di sana. Jayaprana, yang selalu setia kepada sang raja, menerima tugas tersebut dan pulang ke rumah untuk menceritakan kepergiannya.
Layonsari, mendengar kabar tersebut, langsung merasa khawatir dan sedih. Bahkan, semalam Layonsari bermimpi buruk bahwa rumahnya dihanyutkan oleh banjir besar. Ia meminta kepada suaminya untuk membatalkan niatnya menjalankan tugas sang raja dan menceritakan firasat dan mimpi buruknya. Namun, Jayaprana tetap teguh pada kesetiannya kepada sang raja dan tidak takut akan apa yang akan dihadapinya. Baginya, hidup dan mati berada di tangan Sang Hyang Widhi Wasa.
Keesokan harinya, Jayaprana pergi dengan Patih Saung Guling dan beberapa pasukan, meninggalkan istrinya yang khawatir dan bersedih. Selama perjalanan, Jayaprana merasa ada yang tidak beres dan memiliki firasat bahwa seseorang akan membunuhnya. Namun, karena perintah raja, ia mengacuhkannya. Tiba-tiba, Patih Saung Guling menyerang Jayaprana, tetapi tidak berhasil karena Jayaprana lebih tangguh dan sakti. Jayaprana bertanya mengapa Patih Saung Guling melakukan hal tersebut, lalu Patih Saung Guling memberikan sepucuk surat yang ditulis oleh sang raja.
Jayaprana dan Patih Saung Guling (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Surat tersebut berisi bahwa raja menyalahkan Jayaprana karena memiliki istri yang sangat cantik. Raja ingin membunuh Jayaprana agar bisa memperistri Layonsari. Jayaprana, yang membaca surat itu, menangis sesenggukan karena merasa dikhianati oleh sang raja. Meskipun begitu, kesetiaan Jayaprana tidak pernah luntur kepada sang raja, mengingat segala hal yang telah dilakukan sang raja mulai dari masa kecil hingga tumbuh dewasa. Sambil menangis, Jayaprana meminta Patih Saung Guling untuk membunuhnya jika itu adalah keinginan sang raja. Ia pun memberikan keris sakti miliknya, karena hanya keris itu yang cukup sakti untuk membunuh Jayaprana. Tanpa ragu, Patih Saung Guling menusuk Jayaprana menggunakan keris tersebut. Darah menyembur ke mana-mana, namun tidak tercium bau amis; malah sangat harum dan wangi. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, seketika terjadi gempa bumi, dan macan putih tiba-tiba menyerang Patih Saung Guling, yang akhirnya tewas.
Kabar kematian Jayaprana akhirnya didengar oleh sang raja. Dengan penuh nafsu, sang raja pergi menemui Layonsari dan menceritakan kesedihannya sambil merayu Layonsari agar mau menjadi permaisurinya. Layonsari menolak keinginan sang raja, tetapi karena sudah dibutakan oleh cinta dan nafsu, sang raja menarik paksa Layonsari ke istana. Saat itulah Layonsari mengambil keris di pinggang sang raja dan menusuk dirinya sendiri. Darah Layonsari juga beraroma harum dan wangi seperti saat Jayaprana terbunuh.
Melihat hal tersebut, sang raja, yang sudah terbutakan oleh cinta, mulai menggila dan tidak bisa mengendalikan dirinya. Ia membunuh orang-orang yang mendekatinya dan akhirnya membunuh dirinya sendiri.
Rakyat sekitar membawa jasad Layonsari dan menempatkannya di samping jasad Jayaprana. Untuk menghormati kisah cinta ini, didirikan Pura Jayaprana. Banyak umat Hindu datang kesana untuk meminta momongan, petunjuk mengenai kisah percintaan mereka, restu atas hubungan yang sedang dijalani, bahkan untuk menghormati, mengenang, dan mendoakan Jayaprana dan Layonsari.