Sejarah Pura Kawitan Arya Kepakisan dan Pangeran Nyuh Aya
Fokus utama artikel ini adalah pembahasan sejarah Pura Kawitan Arya Kepakisan dan peran Arya Kepakisan dalam mengatasi pemberontakan dan perubahan yang dihasilkan dalam struktur pemerintahan Bali. Dalam perjalanan sejarah yang penuh intrik, kita akan melihat bagaimana Arya Kepakisan diangkat sebagai Gubernur Besar dan Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja Sampranga I, sambil menjelajahi dampaknya terhadap perkembangan sosial, budaya, dan politik di Bali.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang dan penuh intrik, pulau Bali telah menyaksikan peristiwa penting yang membentuk landasan untuk perubahan yang mendalam dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakatnya. Salah satu bab yang mencolok dalam kisahnya adalah penaklukan Bali oleh pasukan Majapahit pada tahun 1352 Masehi, yang diikuti oleh upaya memadamkan pemberontakan suku Aga di pulau ini. Keberhasilan misi ini mengangkat seorang tokoh bernama Arya Kepakisan ke posisi Gubernur Besar dan mengukuhkan Dalem Sri Kresna Kepakisan sebagai Raja Sampranga I. Artikel ini akan membahas lebih lanjut peristiwa ini dan implikasinya dalam perkembangan sejarah Bali selanjutnya.
Pura Kawitan Arya Kepakisan (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Setelah penaklukan Bali, terlihat jelas bahwa pemberontakan terus terjadi dimana-mana, karena penduduk suku Aga di Bali tidak puas dengan pemerintahan Arya yang diberlakukan di Bali. Berdasarkan perintah Gajah Mada, Arya Kepakisan tiba di Bali pada tahun 1352 Masehi. Raja Majapahit menemaninya ke Dalem Sri Kresna Kepakisan untuk memadamkan pemberontakan di 39 desa Bali Aga. Desa Aga Bali yang memberontak ditaklukkan satu demi satu. Setelah keberhasilannya, ia diangkat menjadi Gubernur Besar kerajaan dengan Dalem Sri Kresna Kepakisan sebagai Raja Sampranga I.
Dalem Sri Kresna Kepakisan bersthana (kediaman) di Samprangan. Pada saat yang sama, Arya Kepakisan pergi ke tenggara dan sampai di suatu tempat di mana ia menemukan kelapa besar (Nyuh Aya) sedang dipanggang. Tempat ini dipilih sebagai pemukiman yang kemudian diberi nama DESA NYUH AYA, untuk mengenang ditemukannya kelapa besar (Nyuh Aya). Tempat itu juga ditandai/cihna/dicap oleh Taru Agung atau disebut juga Taru Rangsana, yang di Jawa Timur sering dijumpai berupa pohon yang disebut pohon Angsana (Pterocarpus indicus). Sarang Agung unik karena sarinya berwarna merah darah, seperti darah manusia. Karena keunikannya, Taru dipilih menjadi tanda/cihna/identitas Agung yang dibawa oleh Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dari desa Pakis. Disini Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) mendirikan Merajan dan kemudian menjadi PURA KAWITAN setelah beliau moksa dan beristirahat di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya).
Pura Kawitan Arya Kepakisan Patung Macan Selem (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Pada masa pemerintahan Dalem Sri Semara Kepakisan, hiduplah di Blambangan (Banyuwangi) seekor harimau hitam (Macan Selem) yang sangat kejam dan sakti hingga mengganggu kehidupan masyarakat. Karena Macan Hitam (Macan Selem) sangat mengganggu kehidupan masyarakat setempat, maka Dalem mengutus Sri Semara Kepakisan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) selaku Patih Agung yang digulingkan ke Blambangan (Banyuwangi) untuk membunuh Macan Hitam (Macan Selem). Ia mengikuti Arya Kubo Tubuh yang sudah lama menjalankan misi yang sama untuk membunuh Macan Hitam (Macan Selem). Pangeran Nyuh Aya berhasil membunuh harimau tersebut dan kemudian membawa kepala harimau tersebut ke hadapan Dalem Sri Semara Kepakisan sebagai barang bukti. Tak lama kemudian, Arya tiba di Kebon Tubuh dan mengumumkan bahwa ia juga telah membunuh harimau tersebut. Untuk menghindari kesalahpahaman, Dalem Sri Semara Kepakisan memberikan hadiah yang sama kepada Pangeran Nyuh Aya dan Arya Kebon Tubuh. Pemberian tersebut berupa piagam yang mendokumentasikan hak kehormatan dan penghormatan serta tata cara upacara dan upacara hidup dan mati bagi generasi yang akan datang.
Sebagai rasa syukur atas jasa Pangeran Nyuh Aya dan Arya Kebon Jenazah, Raja Bali memberikan tugas antara lain: Arya Kebon Tubuh, Dalem Sri Smara Kepakisan menyerahkan Pura Kahyangan “Dalem Tugu” dan Pangeran Nyuh Aya. terpaksa menyimpan "Aji Purana" dengan catatan bahwa setiap piodal upacara Pura Dalem Tugu harus diangkut ke Dalem Tugu untuk upacara tersebut. Setelah upacara selesai, Pangeran Nyuh Aya mempertahankan “Aji Purana”. Namun karena sesuatu hal, kini Aji Purana tersebut tidak lagi “katuran” ke Pura Dalem Tugu. Dan Ida Bhatara berupa “Aji Purana” tersebut tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), di Banjar Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Selain itu, keturunan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dan Arya Kubon Tubuh bila meninggal dunia, diaben, boleh menggunakan bade tumpang pitu, berhiaskan kapas 9 warna, balai silunglung, kajang kawitan, balai lunjuk tiga undag, petulangan berbentuk harimau hitam (Macan Selem). Benda pusaka yang dihadiahkan kepada beliau berupa sumpitan (tulup) yang digunakan membunuh harimau di Blambangan itu. Sumpitan itu bernama Ki Macan Guguh. Pura Kawitanis salvestatud Pamencangahis kõlab Arya Kepakisa (Arya Nyuh Aya) esimene lause "Mulaning Carma Balilla Sri Arya Kepakisa, Arya Kediri de Jayasabha, Ari Aji de Jayabhaya, Erlanggia, Putu Kameswara saking Dharma Wangsa Loang Dantawikrama".
Pada bait yang terakhir dari Pamencangah yang tersimpan di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) tertulis “Asak aoka Pangeran Nginte, Pangeran Nginte ngeanis Sira Jaya Keta. Telas brasta wayang paperangan. Arya Kediri Putrane Jayasabha aputra Arya Kepakisan, iki ngembatang maring Bali, tekep ira pada. Sane kasentane kemajelangu, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Arya Kedutan, malih sira Wang Bang, Tan Kober, Tan Kabur, Tan Mundur, kameokas Arya Kutawaringin sama angiringang Arya Kepakisan. Malih Arya Kepakisan asentane Pangeran Nyuh Aya, masentane pepitu, pinih werde Petandakan, Satra, Pelangan, Akah, Kloping, Cacaran, Anggan. Iki rerajahan Kajang maring Pemerajan Arya Nyuh Aya”.
Pamencangah sangat jelas dan tersirat bahwa pemerajannya berada di desa Nyuh Aya, sehingga disebut Pemerajan Arya Nyuh Aya, tak lain adalah Pemerajan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) dan mengenang desa Nyuh Aya. Putranya juga diberi nama Pangeran Nyuh Aya karena lahir di desa Nyuh Aya.
Jika melihat uraian di atas, terlihat jelas saat pertama kali datang ke Bali, Arya Kepakisan menempati sebuah tempat bernama Desa Nyuh Aya. Itu sebabnya dia dipanggil Arya Nyuh Aya. Arya Kepakisan atau Arya Nyuh Aya mempunyai dua orang putra yaitu
1. Pangeran Nyuh Aya (lahir di desa Nyuh Aya)
2. Pangeran Made Asak (lahir di Gelgel). Dan seterusnya
Keturunan Arya Kepakisan di Bali cukup banyak. Untuk menghormati leluhurnya sebagai mantan Raja Kedir, maka keturunannya di Bali sepakat untuk memberinya gelar Sri Nararya Kresna Kepakisan. Menurut konsep Hindu, setiap keluarga yang ingin membangun pekarangan atau rumah harus membangun Parahyangan Pemerajan atau Sanggah. Sebagai Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya), setelah tinggal di desa Nyuh Aya, ia pun membangun Pemerajan yang sekarang menjadi Pura Kawitan setelah moksa dan bershtana di Pura Kawitan Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya). Desa Nyuhaya diyakini kuat sama dengan Banjar Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Administratif Klungkung, karena Taru Agung atau Taru Rangsana yang dijadikan tanda masih berdiri dan tumbuh subur di Kawitani Arya Kepakisan. (Arya Nyuh Aya) Pura. Inilah “pikiran” atau asal muasal seluruh Prati Sentana Arya Kepakisan (Arya Nyuh Aya) yang ada di Bali.