Galungan: Kemenangan Suci Cahaya atas Kegelapan, Saat Para Dewa dan Leluhur Turun ke Dunia
Galungan adalah perayaan yang melampaui sekadar ritual, melainkan sebuah ajakan spiritual untuk merenungkan kemenangan batin antara cahaya dan kegelapan. Saat para dewa dan leluhur turun ke dunia, umat manusia diingatkan untuk menanggalkan sifat adharma dalam diri dan menghidupkan nilai-nilai Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam makna filosofis, ritual, dan dampak spiritual dari Galungan sebagai jalan menuju kebangkitan rohani sejati.

Hari Raya Galungan bukan sekadar perayaan yang berlangsung setiap 210 hari di Bali, melainkan sebuah momen sakral dengan makna filosofi yang mendalam. Galungan melambangkan kemenangan Dharma (kebenaran, cahaya, kesadaran) atas Adharma (kebatilan, kegelapan, ketidaksadaran). Namun, lebih dari sekadar simbol kemenangan, Galungan merupakan ruang suci yang menghubungkan manusia, alam, dan dunia niskala dalam harmoni kosmik yang sejati. Makna ini tercermin kuat dalam lontar-lontar suci seperti Lontar Sundarigama dan ajaran Tattwa Hindu Bali.
Pertempuran Abadi dalam Diri
Dharma dan Adharma, menurut ajaran leluhur Bali, bukan hanya kekuatan kosmis yang bertempur di luar sana—mereka adalah dua sisi yang terus berperang dalam batin manusia. Setiap keputusan dan lintasan pikiran menjadi medan pertempuran antara terang dan gelap, antara kesucian dan keegoisan.
Dalam Lontar Sundarigama, Galungan digambarkan sebagai saat di mana "Ida Sang Hyang Widhi Wasa memuliakan umat-Nya yang telah mampu mengalahkan kekuatan Bhutakala dalam diri." Bhutakala tidak sekadar merujuk pada roh jahat eksternal, tetapi juga simbol dari nafsu angkara murka—Rajoguna dan Tamoguna, sifat gelap yang penuh keinginan.
Kekuatan adharma yang selalu berusaha menggoda manusia, baik di luar maupun dalam diri mereka, dikenal sebagai Bhuta Kala Tiga. Bhuta Amangkurat, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Galungan adalah simbol dari kekuatan-kekuatan yang terus berusaha mengaburkan cahaya Dharma.
Galungan hadir sebagai pengingat bahwa kemenangan sejati bukanlah penaklukan dunia luar, tetapi penaklukan diri sendiri. Kemenangan di Hari Galungan adalah kemenangan atas keraguan, hawa nafsu, kesombongan, dan segala bentuk adharma yang mengaburkan cahaya kesadaran kita.
Galungan Bukan Sekadar Tradisi
Serangkaian upacara yang dilakukan menjelang Galungan, seperti Sugian, Penyekeban, Penyajahan, hingga puncaknya di hari Galungan, bukanlah rutinitas belaka. Setiap hari dalam rangkaian ini memiliki makna filosofis yang mendalam: pembersihan lahir dan batin, penyucian lingkungan, hingga kesiapan untuk menerima kehadiran kekuatan suci.
- Penyekeban: Menahan hawa nafsu.
- Penampahan: Mengorbankan sifat hewani dalam diri.
- Galungan: Kebangkitan rohani.
- Umanis Galungan: Refleksi dan ketenangan pasca-kemenangan.
- Kuningan: Kembalinya leluhur ke alam suci, membawa restu.
Upacara-upacara ini berfungsi sebagai cara simbolik untuk mengharmoniskan Bhuwana Alit (diri manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Dalam harmoni itulah, jalan menuju kemenangan Dharma menjadi terang.
Perayaan Hari Raya Galungan di Pura Desa dan Puseh Desa Adat Mengwitani
Saat Para Dewa dan Leluhur Turun ke Dunia
Galungan juga merupakan saat ketika para Dewa dan roh leluhur diyakini turun ke dunia untuk mengunjungi keluarga mereka yang masih hidup. Mereka tidak hanya hadir sebagai tamu spiritual, tetapi sebagai saksi atas kemenangan Dharma dalam diri umat. Kehadiran mereka disambut dengan persembahan upacara, harum dupa, dan hati yang bening.
Inilah momen ketika dunia nyata dan niskala bersentuhan—ketika doa-doa yang dipanjatkan manusia menjadi simbol perjumpaan suci antara dunia manusia dan asal rohani kita. Galungan bukan hanya soal kemenangan, tetapi juga tentang penyatuan antara dimensi dunia dan dimensi spiritual, serta pengingat bahwa kehidupan manusia adalah lanjutan dari garis karma dan dharma leluhur mereka.
Penjor, yang berdiri megah di setiap sudut rumah Bali, menjadi lambang Gunung Agung, tempat para Dewa dan Pitara bersemayam. Lengkung penjor yang menjulang tinggi merepresentasikan naga basuki, simbol kesuburan dan pelindung alam. Penjor bukan sekadar dekorasi, tetapi juga doa masyarakat Bali yang terwujud dalam bentuk fisik.
Galungan Sebagai Ajaran Kosmik
Secara makrokosmos, Galungan adalah momentum di mana alam semesta bergetar dalam irama Dharma. Galungan jatuh pada Buda Kliwon Dungulan, hari ketika kekuatan spiritual langit terbuka dan akses ke dimensi adikodrati menjadi lebih dekat. Oleh karena itu, umat Hindu dihimbau untuk melakukan upacara dengan tulus, bukan sekadar rutinitas, merenung dan mengintrospeksi diri, serta menjaga kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Menjadi Cahaya Itu Sendiri
Galungan mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi pancaran cahaya Dharma, tidak hanya dalam ritual, tetapi juga dalam tindakan sehari-hari: kejujuran, kesabaran, welas asih, dan ketulusan. Ketika manusia hidup dalam nilai-nilai tersebut, ia tidak hanya merayakan Galungan, tetapi mewujudkannya dalam setiap langkah hidup.
Galungan bukan sekadar ritual berulang 6 bulan kalender Bali. Ia adalah pengingat abadi bahwa setiap individu memiliki medan perang batin yang harus dimenangkan. Kemenangan sejati bukanlah ketika musuh dikalahkan, tetapi ketika diri sendiri menjadi cahaya—ketika kegelapan dalam hati digantikan oleh sinar kebajikan.
Galungan adalah ajakan dari alam semesta untuk kebangkitan rohani yang lebih dalam, menuju pemahaman yang lebih tinggi, dan menuju kedamaian sejati dalam diri.