Barong Brutuk : Sang Penjaga Desa Trunyan
Salah satu kabupaten di Bali mempunyai Tari Barong yang tergolong unik dan klasik yang memiliki wujud berbeda dari barong pada umumnya. Tari barong ini dikenal sebagai sebutan Barong Brutuk. Barong ini memakai daun pisang yang sudah kering dan dijulukkan sebagai Barong sang penjaga di Desa Trunyan. Barong Brutuk ini memiliki makna sakral dan tidak bisa ditemui disembarang tempat atau disembarang hari. Untuk lebih lengkapnya yuk simak artikel ini.
Desa Trunyan adalah sebuah desa yang terletak pada daerah Kintamani, Kabupaten Bangli yang sudah terkenal akan tradisi dan terdapat pemakaman yang unik. Pemakaman yang unik dimaksud ini adalah jasad orang yang telah meninggal di Desa Trunyan tidaklah dibakar maupun di kubur, melainkan jasad ini dibiarkan tergeletak diatas tanah yang dikelilingi dengan pagar-pagar yang terbuat dari bambu. Dan di dekat makam tersebut terdapat Pohon Taru Menyan yang diyakini dapat menyerap bau busuk pada jenazah.
Nah, selain terkenalnya Desa Trunyan yang memiliki tradisi pemakaman yang unik, Desa Trunyan juga menyimpan kekayaan kearifan lokal berupa kesenian sakral dan tradisional yang tak kalah menarik, yakni Tari Barong Brutuk.
Barong Brutuk merupakan sebuah tarian sakral dan tradisional yang diperkirakan sudah ada sebelum masuk pengaruh Hindu ke Bali dan diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur penduduk setempat yang disebut sebagai Sang Penjaga di Desa Trunyan. Barong Brutuk ini ada dimulai dari Patung dengan ukuran besar dan tinggi di Pura Pancering Jagat yang terletak di Desa Trunyan. Sebutan patung tersebut bernama Datonta (Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat). Menurut kepercayaan Masyarakat di Desa Trunyan ini Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat memiliki 21 orang unen-unen (Anak Buah). Dari kisah tersebut dibentuklah topeng yang dinamakan Barong Brutuk.
Barong Brutuk memiliki ciri khas dan karakternya masing-masing, ada topeng yang berwajah tegas dan kuat. Masyarakat di Desa Trunyan ini mempercayai bahwa jumlah topeng tersebut berubah-ubah setiap harinya terkadang berjumlah 21 atau 23 dan bahkan 19 topeng, jadi berapapun jumlah topeng tersebut ada di dalam penyimpanan akan di pentaskan sesuai dengan jumlahnya.
Lebih uniknya lagi Tari Barong Brutuk ini pementasannya tidak diiringin oleh gamelan seperti pementasan tari barong pada umumnya. Begitu juga pakaian yang digunakan Barong Brutuk ini adalah sekumpulan daun pisang yang sudah kering (Daun Kraras). Daun-daun pisang kering tersebut hanya diperbolehkan diambil dari Desa Pinggan, Kintamani. Daun pisang tersebut di rajut menggunakan tali dari kulit daun pisang, lalu dibentuk seperti rok digantungkan pada leher, bahu dan pinggang penari.
Pementasan Tari Barong Brutuk (Sumber Photo : Kanal Pujangga Nagari Nusantara)
Pakaian yang terbuat dari daun pisang kering tersebut tergolong tebal karena di lapisi tiga rangkaian daun kraras, serta celana dalam penari terbuat dari kelopak kering pohon pisang dan memakai topeng, serta membawa sebuah cemeti (Pecutan).
Adapun pantangan menjelang pementasan Barong Brutuk di Pura Pancering Jagat Desa Trunyan, para penari teruna (remaja pria) menjalani ritual sakral, penari disucikan selama 42 hari di sekitaran Pura Pancering Jagat dekat Patung Datonta. Selama disucikan, penari akan mempelajari tembang-tembang kuno (pupuh), membersihkan area pura, mengumpulkan daun kraras di Desa Pinggan dan penari juga tidak boleh berhubungan dengan Wanita.
Pementasan Tari Barong Brutuk dimulai dengan mengelilingi tembok pura sebanyak tiga kali sambil mencambukan cemeti (Pecutan) kepada masyarakat Desa Trunyan, lecutan dari cemeti tersebut dipercaya sebagai tanda Tamba (obat) yang bisa menyembuhkan penyakit. begitu juga dengan daun-daun yang lepas dari Barong Brutuk tersebut akan diambil yang disimbolkan sebagai pembawa berkah dan keselamatan. Bahkan Barong Brutuk melemparkan buah-buahan dari persembahan ke para penonton yang dipercaya memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Tidak hanya itu saja, Tari Barong Brutuk ini juga memiliki makna kesucian dan pengendalian diri yang terbukti dirasakan oleh penari Barong Brutuk.
Tari Barong Brutuk tersebut, ditampilkan setiap dua tahun sekali ketika Hari Odalan (Hari Raya) atau Upacara Ngusaba Kapat di Pura Ratu Pancering Jagat yang jatuh setiap Purnama Sasih Kapat atau dikenal sebagai istilah Kapat Lanang dan Kapat Wadon di Desa Trunyan. Jika bertepatan saat Ngusaba Kapat Lanang, Tari Barong Brutuk ini di pentaskan oleh para Teruna (Remaja Pria). Sedangkan untuk Ngusaba berikutnya yang dikenal dengan Kapat Wadon ini adalah sebuah kegiatan Remaja Perempuan yang mengisi kegiatan saat upacara piodalan di Pura Ratu Pancering Jagat dengan cara Menenun Kain Suci. Karena kesakralannya dan keunikkannya Tari Barong Brutuk ini tidak boleh dipentaskan sembarangan ataupun untuk dipertontonkan untuk wisatawan dan tidak bisa ditemukan di tempat lainnya, selain di Desa Trunyan.