Tarian Magis Sang Hyang Dedari

Tari Sang Hyang Dedari adalah salah satu contoh yang luar biasa dari seni, budaya, dan spiritualitas yang mendalam dalam masyarakat Bali. Dengan kostum yang indah dan gerakan yang memukau, tarian ini menciptakan pengalaman yang mengesankan bagi siapa pun yang menyaksikannya. Namun, lebih dari sekadar pertunjukan seni, Tari Sang Hyang Dedari adalah ungkapan dari keimanan, kepercayaan, dan keindahan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang kaya akan warisan budayanya. Tarian ini tetap menjadi lambang keanggunan dan spiritualitas dalam budaya Bali yang patut dihormati dan dilestarikan.

Oct 7, 2023 - 18:39
Sep 25, 2023 - 21:04
Tarian Magis Sang Hyang Dedari

 Tari Sang Hyang Dedari (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Bali, sebuah pulau di Indonesia yang dikenal dengan keindahan alamnya, budaya yang kaya, dan seni yang memukau, juga menjadi rumah bagi berbagai tarian tradisional yang memikat hati para pengunjungnya. Salah satu tari yang paling sering dipertontonkan adalah tari kecak. Jauh sebelum tari kecak terkenal sebagai pertunjukan profan, ia merupakan tari pengiring tari Sang Hyang. Bedanya, tari Kecak mengambil lakon Ramayana sedangkan tari Sang Hyang hadir sebagai pertunjukan tanpa lakon tertentu. Salah satu tari Sang Hyang yang sedang ramai diperbincangkan sekarang adalah tari Sang Hyang Dedari. Tarian ini bukan hanya tentang gerakan yang indah, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual dan budaya yang dalam dalam masyarakat Bali.

 

Tari Sang Hyang Dedari adalah tarian sakral yang memiliki akar dalam kepercayaan Hindu-Bali. Kata "Sang Hyang" dalam bahasa Bali berarti "dewa" atau "roh suci," sedangkan "Dedari" berarti "peri" atau "bidadari." Jadi tarian ini merupakan wujud penghormatan terhadap para dewa dan digelar dalam berbagai upacara keagamaan atau adat di Bali. Tarian ini juga dipercaya oleh umat Hindu sebagai tarian yang bisa menjadi penolak marabahaya di Bali. Tari Sang Hyang Dedari ini sudah ada dari masa pra-Hindu dan masih ada sampai sekarang. Tarian ini mulai beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan sehingga mengalami perubahan-perubahan di dalamnya. Dalam perkembangannya tari Sang Hyang Dedari mengalami perubahan-perubahan dalam fungsi, busana, rias muka, dan iringan hingga munculnya seka sebagai organisasi tari Sang Hyang Dedari.

 

Seiring dengan berjalannya zaman, tarian ini sempat jarang ditemukan di upacara-upacara suci di Bali atau dapat dikatakan terancam punah. Namun, ternyata di Desa Adat Geriana Kauh, Selat, Karangasem tarian ini masih sering dipentaskan pada saat upacara-upacara tertentu. Salah satu hal yang paling mencolok dari Tari Sang Hyang Dedari adalah kostum yang dikenakan oleh penari. Para penari mengenakan pakaian putih bersih yang melambangkan kemurnian dan kesucian. Mereka juga memakai mahkota bunga-bungaan yang indah di kepala mereka. Kostum ini menciptakan kesan kesederhanaan dan ketenangan yang kontras dengan gerakan yang dinamis dalam tarian. Gerakan dalam tari ini sangat lembut dan anggun, menggambarkan keanggunan para bidadari dalam mitologi Hindu. Gerakan tarian juga mencerminkan perjalanan roh dari dunia manusia menuju ke alam spiritual yang lebih tinggi. Ini adalah persembahan spiritual yang dianggap sakral dalam tradisi Bali.

 

Tarian ini biasanya ditampilkan oleh sekelompok gadis muda sebanyak 3 sampai dengan 5 orang penari, yang dipilih dari masyarakat desa. Mereka dipilih berdasarkan kemurnian dan kesucian mereka, kemampuan untuk mengalami transfigurasi spiritual selama penampilan tarian, serta yang terpenting adalah para penari belum akil baligh.

  

Tari Sang Hyang Dedari biasanya dimulai pada pukul 21.00 WITA yang diawali dengan serangkaian upacara spiritual yang ketat. Salah satunya adalah para penari akan melaksanakan ritual nusdus atau di beberapa daerah disebut pula dengan ritual ngukup. Nusdus merupakan bagian awal dalam rangkaian setiap penyajian tari Sang Hyang Dedari. Pada ritual ini prinsipnya merupakan pensucian bagi para penari, pada tahap ini penari mulai kehilangan tingkat kesadarannya atau yang disebut dengan istilah kerawuhan, kesurupan (trance). Jalannya proses nusdus ini dimulai setelah penari menggunakan kain serta baju berwarna putih dan dilengkapi dengan atribut.

 

Posisi penari Sang Hyang Dedari pada saat ritual nusdus diawali dengan cara penari duduk bersimpuh menghadap ke sebuah tungku asap, di dalam bahasa bali disebut pasepan. Selanjutnya, penari masih pada posisi duduk bersimpuh, kepala agak menunduk, kedua tangan mendekat asap tungku, kemudian kedua telinga penari ditutup dengan telapak tangan oleh salah seorang dari pengemong (pendamping) kelompok pertunjukan Sang Hyang tersebut. Pada saat ritual ini akan diiringi oleh nyanyian-nyanyian suci yang dilantunkan oleh sekelompok ibu-ibu yang berjumlah kurang lebih 30 orang yang bertujuan untuk menarik kekuatan roh suci agar turun masuk ke jiwa penari.

 

 

 Penari  tidak sadarkan diri (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

 

Setelah melantunkan nyanyian-nyanyian spiritual, para penari akan semakin tidak sadarkan diri dan mulai berjatuhan. Penari yang sudah kerawuhan selanjutnya dibawa ke perempatan jalan desa untuk siap mesolah. Mesolah merupakan salah satu istilah yang mengartikan penari akan menari secara tidak sadarkan diri.  Dalam keadaan kesurupan penari bergerak mengelilingi arena pura/pementasan yang juga akan diiringi dengan syair nyanyian spiritual oleh sekelompok ibu-ibu. Untuk pementasan yang berkaitan dengan pengusiran wabah penyakit atau menghalau marabahaya, penari akan diarak keliling desa yang juga akan ditandu oleh satu atau dua orang pria.

 

 

 Menari di atas Batang Bambu (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

 

Untuk tarian yang tidak ditujukan untuk menolak marabahaya, maka pernari tidak akan menari mengelilingi desa melainkan akan memanjat 2 buah tiang bambu yang sudah disediakan di tengah area. Penari akan memanjat batang bambu dalam keadaan tidak sadarkan diri dan akan kembali menari dengan mata terpejam. Sebelum mengakhiri tariannya para penari memercikan air suci dan membagikan bunga kepada warga yang ada di sekitar arena pementasan. Bunga dan air suci tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat melindungi warga dari berbagai marabahaya. Bagi warga setempat ini merupakan saat yang ditunggu-tunggu untuk mendapatkan berkah dari penari Sang Hyang Dedari.

 

Setelah tarian selesai terdapat pula sebuah ritual atau upacara yang harus dilakukan. Ritual ini disebut dengan ngaluhur, merupakan tahap ketiga atau terakhir yang bertujuan untuk mengembalikan kesadaran penari dan roh-roh suci yang selama ini bersemayam pada penari dan dikembalikan ke asalnya. Proses ini dilakukan dengan melagukan nyanyian oleh sekelompok ibu-ibu. Setelah penari sadar, dilanjutkan dengan melepaskan atribut yang digunakan penari, dengan demikian penari hanya menggunakan pakaian putih semula yang terdiri atas kain dan kebaya berwarna putih.

  

Seiring dengan berjalannya zaman, tari Sang Hyang Dedari yang seharusnya memiliki nilai spiritual yang tinggi justru dijadikan pertunjukan profan. Fenomena ini terjadi di sebuah puri yang berada di Ubud. Seperti yang diketahui Ubud merupakan sebuah desa wisata yang sangat ramai dikunjungi wisatawan mancanegara, tempat para pelukis dunia mencari inspirasi. Keindahan alam dan tradisi kehidupan masyarakat Ubud banyak dilirik wisatawan sejak tahun 1900-an. Di Ubud juga banyak terdapat objek wisata puri. Beberapa puri yang dikembangkan menjadi objek wisata budaya antara lain Puri Saren Agung, Puri Kantor, Puri Lotus dan lain sebagainya. Pada siang hari ramai wisatawan berkunjung untuk melihat arsitektur puri sedangkan pada malam hari puri ramai dikunjungi wisatawan untuk menonton seni pertunjukan. Tetapi di antara seni-seni pertunjukan yang disajikan dalam konteks pariwisata di Ubud terdapat pertunjukan tari Sang Hyang Dedari yang terletak di Puri Saren Agung, Ubud.

 

Pesatnya perkembangan industri pariwisata di Ubud mendorong pihak Puri Saren Agung Ubud untuk mengembangkan purinya sebagai objek wisata.  Namun terdapat beberapa perbedaan antara pertunjukan Tari Sang Hyang Dedari dalam konteks pariwisata ini. Perbedaannya terdapat pada struktur pertunjukannya yang terdiri dari pengawit, pengawak, pengecet, dan pekaad.

  

Puri Saren Agung Ubud menyajikan Tari Sang Hyang Dedari dalam konteks pariwisata karena dilatari adanya peluang pasar yakni berkembangnya industri pariwisata di Ubud serta adanya potensi kesenian masyarakat setempat yang memadai untuk menampilkan seni pertunjukan pariwisata. Puri Saren Agung Ubud memaknai pertunjukan Tari Sang Hyang Dedari dalam konteks pariwisata tersebut sebagai sebuah kreativitas seni, produk pariwisata bernilai ekonomi, sebagai pengikat relasi sosial masyarakat yang berimplikasi pada pelestarian seni pertunjukan tradisional di daerah tersebut pada era global.

  

Melalui pertunjukan Tari Sang Hyang Dedari dalam konteks pariwisata di Puri Saren Agung Ubud dapat dipahami nilai-nilai tentang hakekat hidup masyarakat setempat. Artinya, melalui pertunjukan tari tersebut penonton dapat memperoleh gambaran identitas budaya lokal yang khas dalam rangkaian sebuah pertunjukan pariwisata. Unsur-unsur kearifan lokal yang terintegrasi dalam estetika pertunjukan tari kreasi baru palegongan itu dapat memberikan citra harmoni kehidupan masyarakat setempat kepada penonton.