Kuburan Ari-Ari : Kearifan Lokal Desa Bayung Gede
Tersembunyi di balik keramaian dan gemerlap popularitasnya, sebuah desa dengan kekayaan budaya yang melampaui kata-kata dan pesona alam yang menakjubkan, menggenggam erat keindahan autentik Bali yang jarang sekali tersentuh oleh mata wisatawan. Perlu diketahui, kuburan ari-ari dari Desa Bayung Gede ini menghadirkan misteri dan keunikan tersendiri.
Desa Bayung Gede terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Bayung Gede, jika dilihat dari segi etimologi, memiliki makna sebagai "kekuatan yang besar." Kata "bayung" berasal dari "bayu," yang mengacu pada tenaga atau kekuatan, sementara "gede" berarti besar. Ini terkait dengan asal usul pembentukan desa ini, di mana penduduk desa menggunakan kekuatan yang besar untuk mengubah hutan lebat menjadi pemukiman, bahkan hanya dengan peralatan sederhana.
Desa Bayung Gede memiliki keunikan tersendiri yaitu Kuburan ari-ari, Kuburan ari-ari terletak di selatan desa dan dikelilingi jalan melingkar yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Luasnya sekitar 60 are. Kuburan in berupa sebuah hutan kecil yang ditumbuhi berbagai pepohonan, terutama pohon bungkak. merupakan sebuah tempat yang penuh dengan cerita dan legenda dalam budaya desa ini. Terletak di tengah hutan yang rimbun, kuburan ini menjadi saksi bisu dari generasi ke generasi. Setiap makam di sini memiliki cerita tersendiri, terkait dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka.
Kuburan ari-ari ini masih dijaga dengan sangat rapi oleh penduduk setempat. Mereka menjaga kebersihan dan keindahan kuburan ini sebagai tanda penghormatan kepada leluhur mereka. Kuburan ari-ari juga menjadi tempat persembahyangan dan ritual-ritual khusus yang diwariskan dari masa lalu. Bagi para pengunjung yang berani menjelajahi ke dalam hutan yang misterius ini, mereka akan merasakan aura keajaiban dan ketenangan yang sulit ditemui di tempat lain. Kuburan ari-ari di Desa Bayung Gede adalah perpaduan antara keindahan alam dan kekayaan budaya yang mengajak kita untuk merenung dan menghormati warisan leluhur Bali yang begitu berharga.
Sebelum dinamai setra ari-ari, dahulu tempat meletakkan ari-ari dinamakan pengutangan kau. "Pengutangan kau" dalam konteks Desa Bayung Gede mungkin mengacu pada praktik atau tradisi tertentu yang berkaitan dengan upacara pemakaman atau persembahyangan di desa tersebut. Pengutangan bisa merujuk pada tindakan atau rangkaian tindakan yang harus dilakukan dengan penuh rasa hormat dan sesuai dengan adat istiadat Bali dalam konteks persembahyangan atau pemakaman. Praktik seperti ini adalah bagian penting dari budaya dan kepercayaan Bali yang kaya dan melibatkan penghormatan kepada leluhur serta hubungan yang dalam dengan alam.
Dalam keyakinan Hindu, ari-ari bayi yang lahir bersamaan dengan bayi dianggap sebagai saudara bayi itu sendiri. Oleh karena itu, ari-ari ini tidak boleh dibuang secara sembarangan, melainkan harus diubur dengan tata cara yang sesuai dan melalui serangkaian upacara (Putra, 1988). Ini juga berlaku dalam upacara bayi yang lahir di Desa Bayung Gede, dimana ari-ari bayi yang baru lahir tidak ditempatkan di pekarangan rumah, melainkan diangkut ke suatu lokasi yang memiliki makna khusus yang disebut sebagai setra ari-ari, yang dapat dianggap sebagai kuburan plasenta. Di sana, ari-ari bayi digantung pada sebuah pohon dengan menggunakan pembungkus yang terbuat dari dua potongan tempurung kelapa yang kemudian disatukan kembali.
Kuburan Ari-Ari (Sumber foto : Koleksi Penulis)
Secara historis, masyarakat Bayung Gede merupakan keturunan dari tued kayu (pangkal pohon) yang dihidupkan dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu. Masyarakat Bayung Gede Meyakini, bahwa asal mula mereka adalah kayu yang mendapatkan restu dari Bhatara Bayu untuk menjelma menjadi manusia. Oleh karena asal mereka dari kayu, maka ketika bayi baru lahir dari rahim ibunya dia harus dikembalikan kepada asalnya, yaitu kepada kayu. Dalam pelaksanaannya, prosesi sistem gantung ini disimboliskan dengan menggantung ari-ari bayi atau saudara sang bayi dipohon bukak.
Masyarakat Hindu Bali pada umumnya mengubur ari-ari bayi di tempat tinggal ayahnya. Namun, berbeda halnya pada masyarakat Bayung Gede, yang menggantung ari-ari di pohon bukak (kayu buka) bukan di dalam tanah, berlokasi di areal kuburan ari-ari di hilir desa.
Salah satu aspek yang istimewa di kuburan ari-ari adalah keberadaan pohon bukak. Pohon bungkak itu diduga memiliki fungi yang sama dengan pohon taru menyan di Desa Trunyan, yakni menyerap bau. Itu sebabnya, meskipun di kuburan ini ada banyak ari-ari yang digantung dan sudah berusia lama, sama sekali tak tercium bau tidak sedap.
Proses penggantungan ari-ari bayi di Desa Bayung Gede seringkali dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti sebelum fajar menyingsing atau hanya di pagi hari. Pemilihan waktu ini seringkali memiliki signifikansi khusus dalam tradisi dan keyakinan masyarakat lokal di desa tersebut, yang mungkin terkait dengan unsur spiritual atau norma-norma adat yang mereka junjung tinggi dalam budaya mereka. Dalam budaya Bali, banyak upacara dan praktik yang diatur berdasarkan kalender upacara Bali (pawukon), yang memperhitungkan hari-hari yang dianggap paling cocok untuk menjalankan upacara tertentu. Oleh karena itu, waktu pelaksanaan penggantungan ari-ari bayi di Desa Bayung Gede juga mungkin mengikuti kalender upacara Bali atau aturan tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Peralatan yang digunakan dalam upacara ini adalah wadah yang terbuat dari tempurung kelapa yang telah dikosongkan dari airnya. Pada bagian atas tempurung, terdapat tulisan menggunakan aksara Ongkara (aksara suci agama Hindu). Tempurung yang berisi ari-ari juga diisi dengan duri terung, merica, mawar, kunit, dan bahan-bahan lainnya. Kemudian, tempurung tersebut ditutup kembali. Pada bagian sisi yang terbelah dari tempurung, diberi lapisan pamor dan diikat dengan tali bambu. Wadah dari kelapa ini berfungsi untuk melindungi ari-ari dari pengaruh matahari, hujan, serangan binatang, dan sejenisnya.
Ketika berada di kuburan, keluarga akan mencari ranting yang kokoh untuk menggantung ari-ari. Ayah yang membawa ari-ari berupaya untuk menjaga agar tidak berbicara dengan orang lain yang berjalan searah dengannya di jalan. Selanjutnya, ari-ari diikatkan pada dahan pohon bukak. Orang tua kemudian akan mencari kayu bakar jika ari-ari yang mereka bawa adalah dari anak laki-laki, dan sayuran jika ari-ari tersebut milik anak perempuan. Terakhir, mereka kembali ke rumah sambil menyebutkan apa yang mereka bawa kepada bayi.
Penguburan ari-ari (placenta) di Desa Bayung Gede, Bali, mencerminkan makna simbolis yang dalam dalam budaya setempat. Praktik ini memperkuat hubungan manusia dengan alam, menandakan perlindungan dan keselamatan bagi bayi yang baru lahir, serta merupakan cara untuk mempertahankan budaya dan menghormati leluhur. Selain itu, penguburan ari-ari adalah bagian dari warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjaga akar budaya yang kaya. Melanjutkan praktik ini adalah bentuk menjaga identitas budaya yang unik.
Ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang memiliki peran penting dalam budaya Bali. Penguburan ari-ari juga melibatkan upacara keagamaan dengan doa-doa dan persembahan kepada entitas spiritual, memohon berkat, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi bayi yang baru lahir. Jadi, praktik penguburan ari-ari di Desa Bayung Gede bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga memiliki banyak lapisan makna simbolis yang berkaitan dengan kehidupan, alam, budaya, dan spiritualitas. Praktik ini adalah cara yang penuh makna untuk merayakan kelahiran dan menghormati proses alamiah kehidupan manusia.