Menelusuri Warisan Sejarah dalam Balai Keadilan Kertha Gosa Klungkung

Balai Keadilan Kertha Gosa Klungkung di Bali, Indonesia, adalah sebuah peninggalan bersejarah yang menggabungkan kekayaan budaya dan seni. Artikel ini akan membawa pembaca dalam perjalanan singkat yang memukau, mengajak mereka untuk menjelajahi keindahan seni, fresko langit-langit yang mengesankan, serta sejarah penting balai keadilan ini dalam budaya Bali. Dalam beberapa kata, pembaca akan merasakan pesona warisan yang tersembunyi di dalam bangunan yang megah ini.

Nov 16, 2023 - 13:07
Sep 25, 2023 - 13:49
Menelusuri Warisan Sejarah dalam Balai Keadilan Kertha Gosa Klungkung
Kertha Gosa Klungkung (Sumber: Koleksi Pribadi)

Indonesia adalah negara yang kaya akan warisan budaya dan sejarahnya. Sejarah bangsa ini telah mengalami perjalanan yang panjang, dari zaman prasejarah hingga masa kolonial, dan pada akhirnya menuju era Reformasi. Proses perjalanan ini tidak hanya menghasilkan cerita sejarah, tetapi juga melahirkan banyak peninggalan berharga, salah satunya adalah mahakarya arsitektur.

 

Arsitektur bersejarah di Indonesia memiliki banyak ciri khas yang mencerminkan perkembangan zaman dan keberagaman budaya daerahnya. Fasad arsitektur dari masa lalu ini memiliki daya tarik yang sangat kuat. Ini terutama terlihat pada masa Kerajaan di Indonesia. Karya-karya arsitektur dari masa Kerajaan bukan hanya sebagai saksi sejarah, tetapi juga memiliki nilai seni yang tinggi.

 

Pentingnya melestarikan karya-karya arsitektur ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, karya-karya arsitektur dari masa Kerajaan memiliki keunikan tersendiri jika mereka dapat dijaga hingga saat ini. Ketika warisan arsitektur tradisional ini dilestarikan, elemen-elemen kota akan semakin mempesona dan indah. Banyak wisatawan asing dari berbagai negara yang datang ke Indonesia untuk merasakan, memahami, dan menghargai berbagai aspek budaya, pengetahuan, dan sejarahnya.

 

Salah satu pulau di Indonesia yang terkenal hingga tingkat internasional, bahkan bagi wisatawan lokal, adalah Bali. Pulau ini telah berhasil memukau hati banyak wisatawan dari seluruh dunia dengan pesona kekayaan budaya, seni, dan sejarahnya.

 

Pulau Bali, yang sering disebut sebagai surga dunia, memiliki daya tarik yang unik, terutama bagi pecinta seni tradisional. Selain menawarkan berbagai keindahan alam, seni, dan budaya di berbagai daerahnya, Bali juga memiliki kawasan bersejarah yang memiliki peninggalan arsitektur dengan nilai estetika, sejarah, dan simbolik yang kuat, semuanya masih berakar dalam budaya yang kaya. Salah satu contohnya adalah Arsitektur Kerajaan Klungkung Bali, juga dikenal sebagai Puri Klungkung, yang merupakan salah satu pusat kekuasaan di Bali. Ini adalah bagian dari Kerajaan Bali, yang mencakup Gelgel, dan mencapai puncak kejayaannya dalam pemerintahan, adat istiadat, seni, dan budaya.

 

Keberadaan Arsitektur Kerajaan Klungkung memiliki nilai sejarah yang signifikan sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan. Saat ini, bekas bangunan istana tersebut telah direvitalisasi dan digunakan sebagai gedung pemerintahan, sekolah, museum, dan lain sebagainya. Beberapa bangunan bersejarah seperti Taman Gili, Gelung Kori, dan Kertha Gosa masih berdiri sebagai peninggalan masa lalu, meskipun mengalami perang besar atau peristiwa Klungkung yang dramatis.

 

Keindahan dan karakteristik arsitektur tradisional dalam Kertha Gosa dan sejenisnya masih tetap terjaga hingga saat ini, dan upaya konservasi terhadap gedung-gedung ini menjadi solusi untuk meningkatkan nilai estetika, nilai budaya, dan nilai sejarah sebagai bagian dari aset bangsa Indonesia. Ini bukan hanya untuk kepentingan umum, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan, wawasan, dan bahkan inspirasi bagi para pelaku seni, arsitektur, interior, sejarawan, dan mereka yang ingin mengunjungi tempat tersebut.

 

Sayangnya, banyak peninggalan dan arsitektur bersejarah yang telah hilang karena dampak usia dan kurangnya kesadaran masyarakat serta pihak berwenang dalam menjaga dan memelihara keasliannya. Oleh karena itu, pentingnya upaya konservasi dan pelestarian warisan ini tidak bisa diremehkan. Kawasan atau bangunan bersejarah seperti ini dapat digunakan sebagai tempat untuk berbagai jenis kegiatan konservasi yang dapat memberikan manfaat di berbagai aspek, termasuk pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, pariwisata, dan banyak lagi.

 

Bale Kambang Tampak Depan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Kerajaan Klungkung dianggap sebagai kerajaan tertinggi dan terpenting dari sembilan kerajaan di Bali dari akhir abad ke-17 hingga 1908. Kerajaan ini merupakan pewaris kerajaan Gelgel lama, yang telah mendominasi pulau tersebut sejak lama namun kemudian pecah pada akhir abad ke-17. abad ke-17. Pada tahun 1686 (atau, dalam versi lain, 1710), I Dewa Agung Jambe, seorang pangeran keturunan Rajas Gelgel lama, pindah ke Klungkung (juga dikenal sebagai Semarapura) dan membangun istana atau puri baru. Meskipun ia tidak memiliki hak prerogratif seperti leluhur Gelgelnya, istana baru ini tetap mempertahankan prestise dan prestise di pulau yang terfragmentasi secara politik itu. Istana ini dibangun berbentuk persegi, berukuran kira-kira 150 meter di setiap sisinya dengan gerbang utama di utara. Itu dibagi menjadi beberapa blok dengan berbagai fungsi ritual dan praktis. Kompleks tersebut menampilkan simbolisme yang mendalam menurut pola struktural yang tetap.

 

Kertha Gosa Klungkung adalah salah satu situs bersejarah yang sangat penting untuk dilestarikan di Pulau Bali. Desain arsitekturnya yang khas Bali dan ukiran-ukiran yang menggambarkan sejarah membuatnya menjadi tempat yang cocok untuk liburan sambil mempelajari sejarah. Tak heran jika tempat ini sering dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin menikmati keunikan dan pesonanya. Kertha Gosa juga merupakan contoh nyata arsitektur Bali yang kental dengan unsur tradisional. Terdiri dari dua bangunan, yaitu Bale Kertagosa dan Bale Kambang. Salah satu hal yang sangat menarik dari Kertha Gosa adalah langit-langit Bale yang dihiasi dengan lukisan wayang. Lukisan-lukisan ini menggambarkan kasus-kasus yang disidangkan dan hukuman yang diberikan atas pelanggaran tersebut.

 

Kerta Gosa adalah bagian dari kompleks bangunan dan pengadilan warisan Keraton Semarapura, yang berdiri dari tahun 1686 hingga 1908 dan tetap berfungsi selama masa kekuasaan kolonial Belanda dari 1908 hingga 1942. Di kompleks ini, kita dapat menemukan tiga objek peninggalan penting dari Keraton Semarapura, yaitu Bale Kerta Gosa, Bale Kambang dengan kolam Taman Gili, serta Gapura Keraton. Di sisi barat kompleks ini, terdapat bangunan Museum Semarapura yang mengikuti gaya arsitektur Eropa, yang sebelumnya merupakan bekas sekolah Belanda.

 

Awalnya, Kertha Gosa Klungkung digunakan sebagai tempat untuk diskusi tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Klungkung. Nama "Kerta Gosa" sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, terdiri dari dua kata, yaitu "Kerta" atau "Kertha" yang berarti baik, luhur, aman, tentram, bahagia, dan sejahtera, dan "Gosa" yang berasal dari kata "Gosita" yang berarti dipanggil, diumumkan, dan disiarkan. Jadi, Kerta Gosa merupakan tempat di mana hal-hal baik diumumkan atau tempat untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan. Kerta Gosa juga digunakan sebagai tempat raja untuk mengadakan musyawarah yang berkaitan dengan ketentraman dan kesejahteraan kerajaan, termasuk dalam hal keamanan dan peradilan.

 

Bangunan Kertha Gosa Klungkung ini awalnya dibangun pada tahun 1686 oleh pemimpin pertama, Ida I Dewa Agung Jambe, dan merupakan bagian dari kompleks kerajaan Klungkung. Namun, selama masa penjajahan Belanda, Kertha Gosa berfungsi sebagai tempat peradilan. Bangunan Kerta Gosa telah berdiri sejak tahun 1700 Masehi, yang dapat kita ketahui dari angka tahun Çandra Çangkala yang terpampang di pintu masuk kompleks tersebut. Angka tahun ini sesuai dengan masa pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe, yang konon memberikan nama "Kerta Gosa" untuk bangunan ini.

 

Paviliun Kertha Gosa Atau Aula Pengadilan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Setiap bulan, pada hari Rabu khusus yang dikenal sebagai "Buda Kliwon," para petinggi kerajaan Klungkung mengadakan rapat di Kertha Gosa. Rapat ini dihadiri oleh para pembantu raja, yang disebut "Manca," dari Kabupaten Klungkung. Selain itu, Kertha Gosa juga digunakan sebagai tempat menerima Pendeta dan Pendeta Raja (Bagawanta) untuk makan siang, serta untuk menerima kunjungan orang asing yang ingin bertemu dengan Raja.

 

Pada masa Kerajaan Bali, setiap tahun, pada perayaan "Purnamaning Kapat" yang terjadi pada bulan purnama bulan keempat dalam penanggalan Bali, diadakan pertemuan di Kertha Gosa. Pertemuan ini dihadiri oleh raja-raja dari berbagai daerah di Bali, di mana Raja tinggi Klungkung memberikan arahan dan keputusan mengenai masalah yang relevan dengan kebutuhan dan situasi di Kerajaan Bali.

 

Namun, pada tanggal 28 April 1908, tentara Belanda datang ke Klungkung untuk menaklukkan Raja Klungkung. Raja dan rakyatnya memberikan perlawanan sengit terhadap tentara Belanda, dan pertumpahan darah tak terhindarkan. Rakyat Klungkung dan raja mereka akhirnya melakukan perlawanan terakhir, yang dikenal sebagai "Puputan," terhadap tentara Belanda. Akibatnya, Klungkung akhirnya jatuh ke tangan Belanda.

 

Setelah peristiwa itu, Kertha Gosa berfungsi sebagai pengadilan yang menangani masalah adat dan juga melakukan tindakan melawan praktik keagamaan tertentu. Pengadilan ini dilengkapi dengan satu meja dan enam kursi. Kursi dengan lambang singa diperuntukkan bagi Raja sebagai ketua pengadilan, kursi dengan lambang sapi untuk pendeta sebagai pengacara dan penasehat Raja dalam pengambilan keputusan, dan kursi dengan lambang naga untuk sekretaris. Orang-orang yang diadili duduk bersila di lantai dengan sopan. Terkadang, "Kontrolir" (perwira Belanda yang menguasai wilayah) juga hadir di pengadilan pada sidang-sidang yang sangat istimewa.

 

Salah Satu Lukisan Wayang di Kertha Gosa Klungkung (Sumber: Koleksi Pribadi)

Kertha Gosa memiliki serangkaian lukisan yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan dan keyakinan Bali:

Bagian pertama, "TANTRI KANDAKA," menjelaskan tentang berbagai bentuk kecurangan dalam masyarakat.

Bagian kedua dan ketiga, "ATMA PRESANGSA," menjelaskan tentang hukuman dan penderitaan jiwa yang telah meninggal. Kisah Bima Sena yang mencari arwah orang tuanya mengilustrasikan konsep hukum karma.

Bagian keempat, "SANG GARUDA AMERTA," menggambarkan burung mitos Garuda dalam pencarian air kehidupan abadi, diambil dari Adiparwa.

Bagian kelima, "PELELINDON," berkaitan dengan gempa bumi dan kemampuannya untuk meramalkan peristiwa di dunia.

Bagian keenam dan ketujuh mengisahkan perjalanan Bima Sena dalam upayanya untuk menyelamatkan jiwa orang tuanya dari hukuman.

Bagian kedelapan, "SORGA ROH," menggambarkan tempat khusus di surga bagi jiwa yang setia dalam menjalankan ajaran agama dan melakukan banyak perbuatan baik.

Bagian kesembilan mengisahkan tentang Tuhan yang menjaga keseimbangan dunia.

Semua elemen ini menjadikan Kertha Gosa sebagai situs bersejarah yang penting dalam budaya Bali, yang mencerminkan sejarah dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali.

 

Taman Gili Atau Bale Kambang Tampak Samping (Sumber: Koleksi Pribadi)

Taman Gili terletak di sisi kiri Kertha Gosa. “Gili” adalah sebidang tanah di tengah kolam. Taman Gili adalah sebuah taman di tengah kolam. Dikenal juga dengan nama Bale Kambang yang berarti rumah terapung dan usianya setua Kertha Gosa. Tema lukisan menunjukkan bahwa bale ini digunakan untuk upacara-upacara tradisional keluarga kerajaan seperti pernikahan dan upacara potong gigi. Bangunan Kerta Gosa dan Taman Gili terdiri dari bagian dasar dan atap. Dasar bangunan berbentuk segi empat panjang dengan dua lantai, di mana lantai pertama lebih lebar daripada lantai kedua. Atap bangunan terbuat dari ijuk, sedangkan dasarnya menggunakan batu padas dan batu bata dengan undak (tangga naik). Bagian atap dihiasi dengan patung dan relief mengelilingi bangunan. Langit-langit di dalam bangunan dihiasi dengan lukisan tradisional bergaya wayang Kamasan. Lukisan-lukisan ini mengisahkan kisah-kisah seperti Sutasoma, Pan Brayut, dan Palalintangan di Taman Gili, serta Ni Dyah Tantri, Biwa Swarga, Adi Parwa, dan Pelelindon di Kerta Gosa. Kisah-kisah ini mencakup ajaran moral dan etika selain estetika seni lukis tradisional.

 

Sutasoma mengisahkan perjalanan Sutasoma yang menghadapi berbagai rintangan dalam mencapai ketenangan batin. Pan Brayut menggambarkan kehidupan seorang wanita dengan 18 anak dan keterbatasan waktunya. Palalintangan berhubungan dengan keyakinan tentang pengaruh bintang-bintang terhadap karakter manusia. Ni Dyah Tantri menceritakan tentang kebijaksanaan seorang putri dalam menghadapi keinginan raja. Bima Swarga menggambarkan perjalanan Bhima mencari orangtuanya di alam baka. Pelelindon menggambarkan 35 jenis karakter manusia berdasarkan pengaruh bintang. Situs Kerta Gosa telah mendapatkan perawatan konservasi dari masyarakat dan pemerintah. Pada tahun 1930, lukisan wayang di Kerta Gosa dan Taman Gili direstorasi oleh seniman lukis dari Kamasan, dengan menggantikan kain dan "parba" yang sudah usang dengan lukisan baru yang mengikuti gaya aslinya. Restorasi terakhir dilakukan pada tahun 1960. Kerta Gosa diakui sebagai Cagar Budaya yang penting.

 

Selain itu, lukisan wayang juga memvisualisasikan konsep hukum Karma Pahala, yaitu akibat baik dan buruk dari perbuatan manusia selama hidupnya, serta reinkarnasi untuk menebus dosa-dosa tersebut. Lukisan-lukisan di langit-langit bale ini adalah karya seni tradisional bergaya Kamasan, yang berasal dari desa Kamasan di kecamatan Klungkung. Biasanya, lukisan Kamasan mengambil tema-tema seperti Ramayana atau Mahabarata dalam karyanya.