Jejak Sejarah Pura Dalem Hyang Soka: Pura Tertua Desa Penarungan
Jejak sejarah Pura Dalem Hyang Soka, pura tertua di Desa Penarungan Bali, memperlihatkan perubahan makna kata "Pura" dan peran pentingnya sebagai tempat suci dalam menghubungkan manusia dengan Tuhan. Pura ini memiliki nilai sejarah dan diyakini membawa keberuntungan, digunakan dalam berbagai upacara, dan memiliki khasiat pengobatan. Selain itu, Pura Dalem Hyang Soka berperan sebagai benteng spiritual yang melindungi wilayah Desa Penarungan. Meskipun banyak nama yang disebutkan, nama Pura Dalem Hyang Soka tetap dipertahankan melalui catatan sejarah yang terungkap.
Sebelum menjelajah keberadaan Pura Delem Hyang Soka, sebaiknya kita terlebih dahulu memahami pengertian Pura. Kata Pura memiliki beberapa makna dan telah mengalami perubahan istilah serta makna. Di India, tempat kelahiran Agama Hindu, Pura dikenal sebagai Mandir, Dwargrha, dan sejenisnya. Di Bali sebelum kekuasaan Majapahit, istilah Pura disebut Ulon 'hulu', kemudian berubah menjadi Hyang Api, Hyang Tanda, Hyang Karimama, dan Hyang Soka. Nama-nama Hyang ini sering disebut dalam Prasasti Bali Kuna. Seiring perkembangan zaman, Hyang bertransformasi menjadi Kahyangan atau Parhyangan. Bahasa Jawa Kuno mengadopsi kata Pura dari Bahasa Sansekerta. Kata Pura memiliki beragam makna, seperti kota, kota berbenteng, istana, tempat tinggal raja, ibu kota, dan kerajaan.
Khusus untuk Pura yang dinamai Hyang Soka, terdapat beberapa Pura di Bali yang mengambil nama tersebut, seperti Pura Hyang Soka Desa Adat Banyuseri Buleleng, Pura Hyang Soka di Desa Sakah Gianyar, Pura Dalem Hyang Soka di Desa Adat Penarungan, dan Pura Hyang Soka di Desa Merita Karangasem. Untuk memberikan penegasan terhadap makna kata "Soka", di Pura Dalem Hyang Soka Penarungan, terdapat pohon bunga soka yang tumbuh di dalam area Pura tersebut. Ini membuat pemedek yang mungkin tidak mengetahui asal-usul kata "Hyang Soka" yang berarti Pura, mengaitkannya dengan nama Pura Dalem Hyang Soka, yang diambil dari pohon bunga soka besar yang tumbuh di sekitar Pura tersebut.
Utama Mandala Pura Dalem Hyang Soka (Sumber Photo: Koleksi Penulis)
Setelah kerajaan Bali kuna ditaklukkan oleh pasukan Majapahit pada tahun 1342 yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada, yang kemudian membawa Dalem Sri Krsna Kepakisan sebagai pemimpin di Bali, istilah "Pura" digunakan untuk merujuk pada istana Raja, seperti Sweca Pura, Istana Raja Gegel, Bandana Pura, Istana Raja Badung, Smara Pura Istana Raja Klungkung, Manga Pura Istana Raja Mengwi, dan lain sebagainya. Namun, setelah kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke Bali dan menjadi Bhagawanta serta Penasehat Istana Dalem Waturenggong pada abad ke-17, istilah "Pura" yang merujuk pada Istana Raja digantikan dengan "Puri". Oleh karena itu, sejak saat itu, istilah "Pura" digunakan untuk merujuk pada tempat-tempat suci, dan kata "Parhyangan" atau "Kahyangan" juga masih tetap digunakan oleh beberapa masyarakat di daerah tertentu di Bali hingga saat ini. Berdasarkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu 1-XV, Pura adalah tempat suci yang digunakan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala manifestasinya dan Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur). Selain itu, istilah "Kahyangan" atau "Parhyangan" juga digunakan untuk merujuk pada Pura oleh sebagian masyarakat di Bali hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan filosofi pembangunan Pura yang mencerminkan kesesuaian dengan lingkungan di mana Pura tersebut dibangun, seperti yang dijelaskan dalam kitab Isanasiwagurupaddhai, III.12.16 sebagai berikut.
Prasadam yacchicva aktyatmakaam
Tacchaktyantaih syadvisudhadyaistu tatvaih
Saivi murtih khalu devalayakhyetyasmad
Dhyeya prathamam cabhipujya
Sloka diatas memiliki arti bahwa pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siwa dan Sakti dan kekuatan/prinsip dasar dan segala Manifestasinya atau wujud-nya, dari element hakekat yang pokok, Prthivi sampai kepada sakti-nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Siwa merupakan Stana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memuja-nya.
Pura memiliki peran penting sebagai tempat untuk menghubungkan kehidupan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai aspek-Nya. Tindakan ini muncul karena manusia selalu mengalami penderitaan dan kesengsaraan sepanjang hidupnya, baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak. Dalam situasi ini, manusia selalu merasa rindu akan Tuhan dan mencari cara untuk menyampaikan kerinduan mereka atau mengadukan permasalahan kehidupan. Oleh karena Ida Sang Hyang Widhi Wasa dianggap Maha Suci, maka tempat suci dibangun sebagai salah satu sarana untuk menjembatani hubungan harmonis antara manusia dan Tuhan. Demikian pula Pura Dalem Hyang Soka, yang terletak di Banjar Blungbang, Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, dibangun sebagai respons terhadap penderitaan, kesengsaraan, kesuburan, dan hama yang menghantui masyarakat Desa Marita Karangasem di Pradesa Penarungan. Awalnya, konsep Kayangan Tiga mencakup Desa Puseh dan Dalem yang melambangkan Trimurti Brahma, Wisnu, dan Siwa. Namun, karena masalah penyakit yang lebih mendominasi masyarakat Pradesa Penarungan sekitar tahun Caka 1181 atau 1259 Masehi, banyaknya prasasti yang bercap Majapahit, maka kata "Dalem" ditambahkan dalam Penamaan Hyang Soka, sehingga menjadi Dalem Hyang Soka.
Karena masyarakat Marita tidak melanjutkan kehidupan di Pra Desa Penarungan, maka pemerintahan di Pra Desa Penarungan dilanjutkan oleh Trah Gusti Kamasan. Sebagai respons terhadap situasi ini, masyarakat Merita Karangasem juga membangun sebuah Pura yang memiliki nama yang sama dengan Pura yang ada di Pra Desa Penarungan. Pura yang berada di Desa Merita digunakan sebagai sarana pengingat atau pengeling-eling. Pembangunan Pura sebagai pengeling-eling ini menunjukkan pemahaman masyarakat Merita akan pentingnya memahami dan menghargai sejarah (JASMERAH) yang pernah diupayakan untuk mencapai harmoni antara kehidupan manusia, alam, dan Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pura Dalem Hyang Soka yang berlokasi di Desa Merita Karangasem dianggap sebagai bentuk perpanjangan dari Pura Dalem Hyang Soka Penarungan. Selain Pura tersebut, ada juga Pura lain yang berfungsi sebagai Pelelintihan Pura Dalem Hyang Soka Penarungan, yaitu Pura Gunung Agung Banjar Guming Penarungan.
Pura Dalem Hyang Soka, sebagai pura tertua di Desa Penarungan, memiliki kedudukan yang sangat sakral dalam hati masyarakat setempat. Pangemponnya sebagian besar berasal dari keluarga Arya Kenceng, dan saat ini jumlah mereka mencapai 120 keluarga, datang dari berbagai daerah di Bali, bukan hanya dari Penarungan. Selain mengandung nilai sejarah yang berharga, Pura ini juga diyakini membawa keberuntungan, sehingga digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat dalam berbagai rangkaian upacara, mulai dari upacara penyembuhan, permohonan kesuburan lahan pertanian, peningkatan taksu dalam seni, hingga pertimbangan tentang kepemimpinan.
Pura Luhur (Sumber Photo: Koleksi Penulis)
Kehidupan masyarakat Penarungan dan sekitarnya yang berlandaskan pada pertanian dan peternakan mengakibatkan banyaknya permohonan yang berkaitan dengan sektor tersebut di tempat ini. Misalnya, ketika ternak hilang, masyarakat memohon di tempat ini dan ternak mereka kembali. Mereka juga memohon kesuburan tanaman dan perlindungan dari hama. Pura Dalem Hyang Soka juga memiliki khasiat pengobatan, di mana tirtha aswannya digunakan sebagai obat, bersamaan dengan tirta pemuspan yang digunakan untuk upacara pembersihan. Pada awalnya, orang datang ke Pura ini untuk meminta obat melalui tirtha "sakti" tersebut, dan beberapa di antara mereka sembuh dan menjadi pengempon. Ada pula yang datang untuk memohon restu dalam urusan pemerintahan, dan melalui tirtha yang diberikan kepada pemedek, berbagai penyakit bisa sembuh, bahkan yang parah seperti stroke. Hal ini telah terbukti dengan kesembuhan pemohon obat di sini. Begitu juga bagi mereka yang memohon restu dalam mencari pekerjaan dan jabatan. Pura Dalem Hyang Soka dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai salah satu benteng spiritual yang melindungi wilayah selatan Desa Penarungan. Selain Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem Jati, terdapat pula perlindungan dari arah barat yang diwujudkan melalui Pura Manik Mayun, dari arah utara oleh Pura Wrespati, dan dari arah timur oleh Pura Gunung Agung.
Dipura Dalem Hyang Soka terdapat empat odalan, Pertama odalan di palinggih Luhur yang jatuh pada Buddha Cemeng Merakih, yakni odalan di Pura Dalem Hyang Soka Gede (pelinggih utama). Pada Budha Kliwon Pegatwakan, odalan Petapakan Ratu Mas, selajutnya Purnama Jyesta odalan di Ratu Ayu, sedangkan pada Tumpek Klurut piodalan di Ratu Ngurah Bolong. Dilihat dari strukturnya, palinggih pada Pura sudah kuno. Bahkan dari hasil pengamatan dan wawancara dengan Pemangku, halamannya masih ditutupi menggunakan batu kali. Hal itu diakui Jro Mangku Ari yang juga merupakan kelihan di pemaksan Ratu Mas. Bangunan, khususnya bataran masih kuno, hanya ada beberapa rehabilitasi, terutama kayu-kayunya yang lapuk. Pura tersebut juga berkaitan dengan sebuah Beji yang disebut dengan Bebengan, karena terdapat danau kecil yang tak pernah surut airnya. Danau kecil ini dahulu sampai sekarang memiliki taksu angker dan selalu diupacarai setiap enam bulan.
Sebelum penelusuran sejarah, banyak orang telah berpendapat beragam tentang penamaan Pura ini. Beberapa menyebutnya dengan berbagai nama seperti Pura Kentel Gumi, Pemutaran Jagat, dan sebagainya. Namun, melalui catatan sejarah yang telah terungkap, nama Pura Dalem Hyang Soka tetap dipertahankan.