Jejak Perjalanan Ki Mantri Tutuan: Melahirkan Sejarah Tutuan dan Pura Bukit Buluh
Pura Bukit Buluh adalah pusat keagamaan bagi warga Tutuan di Indonesia, yang berlokasi di Desa Gunaksa, Bali. Setiap enam bulan, mereka merayakan ritual piodalan dengan penuh kekhusyukan. Prasasti Tutuan di Pura Bukit Buluh mencatat sejarah epik Maha Rsi Segening (Empu Siwa Gandhu) yang mengarah pada kelahiran Dalem Mangori. Kisah tragis Dalem Mangori dan Ni Brit Kuning, yang menghasilkan Satryawangsa (Rare Angon), mencerminkan ketulusan hati dan menghadirkan keajaiban di Bale Pegat dan pohon Timbul. Perjalanan Satryawangsa, yang kemudian menjadi Ki Mantri Tutuan, adalah kunci dalam sejarah Tutuan dan Pura Bukit Buluh.
Pura Bukit Buluh adalah salah satu pura yang menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi warga Tutuan di Indonesia. Lokasinya terletak di atas sebuah bukit di bagian timur Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung, Bali. Pura ini memiliki peran penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Tutuan, dengan piodalan atau upacara keagamaan yang diadakan setiap anggarkasih prangbakat setiap enam bulan. Upacara ini biasanya diselenggarakan dengan penuh kekhusyukan, diiringi oleh penyembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Hyang Acintya selama tiga hari berturut-turut. Banyaknya warga Tutuan yang datang dari seluruh pelosok Bali, bahkan dari luar Bali, untuk mengikuti upacara ini, menjadikan Pura Bukit Buluh sebagai pusat spiritual bagi warga Tutuan yang sangat penting.
Ritual piodalan yang diadakan di Pura Bukit Buluh berlangsung setiap Anggar Kasih Prangbakat setiap enam bulan. Upacara ini menggabungkan penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Acintya dengan penuh tulus ikhlas. Acara berlangsung selama tiga hari berturut-turut, dan berhasil menarik ribuan warga Tutuan dari berbagai penjuru Bali, bahkan dari luar Bali, yang datang untuk aktif dalam ibadah dan menyelenggarakan persembahyangan. Keberadaan Pura Bukit Buluh sebagai pusat spiritual yang sangat penting bagi masyarakat Tutuan semakin terasa nyata.
Sejarah Tutuan, sebagaimana terdokumentasi dalam Prasasti Tutuan yang terpatri di Pura Bukit Buluh Desa Gunaksa Klungkung, mengisahkan perjalanan yang epik. Kisah ini merinci langkah-langkah hidup seorang Maha Rsi yang dikenal sebagai Maha Rsi Segening atau yang lebih dikenal sebagai Empu Siwa Gandhu. Perjalanannya mencapai puncak spiritual, Moksah, terjadi di Gunung Tohlangkir, yang kemudian dikenal sebagai Gunung Agung. Empu Siwa Gandhu adalah putra sulung dari Empu Beradah, dan dalam perjalanannya, ia melahirkan Dalem Mangori.
Dalam perjalanan hidup Dalem Mangori, ia mengemban peran sebagai Penguasa Wilayah Keling di Jawa Dwipa. Di Jawa Dwipa, Dalem Mangori menikahi Ratu Kalingga yang bernama Dyah Mpu Wati. Perkawinan ini menghasilkan Ratu Mangori, yang kemudian melahirkan Arya Kanuruhan yang menjadi sekretaris Raja Gelgel. Arya Kanuruhan sendiri memiliki tiga putra, yakni Pangeran Tangkas, Arya Brang Singa, dan Arya Pegatepan, seperti yang disebutkan dalam babad Arya Kresna Kepakisan. Menariknya, dalam catatan sejarah, Arya Kanuruhan juga diidentifikasi sebagai putra Sira Kebo Anabrang.
Dalem Mangori adalah sosok yang dikenal sebagai pemimpin yang gemar berburu di tengah hutan Keling. Salah satu perburuannya membawanya ke sebuah pertemuan yang mengubah takdirnya. Di bawah pohon pisang yang rimbun, ia menemukan seorang gadis kecil yang memesona. Gadis itu kemudian diadopsi dan diberi nama Ni Brit Kuning. Belakangan, terungkap bahwa Ni Brit Kuning adalah putri dari Raja Airlangga.
Saat Ni Brit Kuning mencapai usia dewasa, ia dinikahi oleh Dalem Mangori dan mereka memiliki seorang putra bernama Mantri Anom. Anehnya, dalam perjalanan waktu, Ni Brit Kuning melahirkan anak keduanya. Namun, karena salah paham yang tragis, Ni Brit Kuning secara tragis membunuh putranya yang masih bayi. Kejadian ini memicu kemarahan Dalem Mangori yang mendalam, yang mengusir Ni Brit Kuning dari kerajaan dan mengasingkannya ke tengah hutan Keling.
Dalam saat-saat kemarahan dan haru yang mendalam, Dalem Mangori merenungkan nasib putranya dan berucap, "Wahai Anakku, semoga engkau segera mencapai pembebasan dan menjelma sebagai manusia yang tak terlihat, lahir sebagai seorang gembala dengan nama 'Rare Angon'. Waktu berlalu, dan Satryawangsa, yang telah dewasa, mulai mencari ibu kandungnya. Dalem Mangori tidak mampu lagi menyembunyikan kenyataan, dan ia mengungkapkan bahwa ibu kandung Satryawangsa telah diusir dan diasingkan ke hutan Keling karena telah membunuh adik kandung Satryawangsa saat masih bayi.
Satryawangsa merasa begitu mendalam ingin bertemu ibunya, dan dengan izin dari Dalem Mangori, ia memutuskan untuk menemui Ni Brit Kuning. Namun, Dalem memberikan satu pesan tegas, yaitu Satryawangsa dilarang untuk menyembah ibunya, mengingat bahwa status ibunya telah dicabut dari kerajaan akibat perbuatannya yang mengerikan.
Meru Tumpang Solas Pura Bukit Buluh (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Satryawangsa melangkah dengan mantap menuju hutan Keling, didampingi oleh pasukan kerajaan yang gagah serta pengawal setianya. Saat melangkah lebih dalam ke hutan dan akhirnya bertemu dengan ibunya, Satryawangsa diliputi perasaan tak tega untuk menahan diri dari memberikan penghormatan kepada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya. Meskipun ayahnya telah memberikan peringatan yang tegas, Satryawangsa tidak dapat menahan diri. Namun, perempuan yang dulu pernah dianggap sebagai ratu itu menolak penyembahan itu dengan tegas, menyadari bahwa posisinya dan status anaknya sebagai putra Dalem telah dicabut.
Dalam situasi yang begitu genting, Ni Brit Kuning - begitu nama ibunya - berlari secepat mungkin dan bersembunyi di balik tembok biliknya. Namun, ketegasan Satryawangsa untuk memberikan penghormatan kepada ibunya tetap tak tergoyahkan. Akibatnya, terjadilah sebuah keajaiban yang begitu mengagumkan. Bangunan bilik itu terbelah menjadi dua, menciptakan cerita tentang Bale Pegat yang kemudian menjadi terkenal di Bali. Meskipun Ni Brit Kuning terus berupaya menghindari penyembahan putranya, ia akhirnya terperosok ke dalam sumur yang terletak di belakang rumahnya, jatuh dalamnya dengan tubuhnya yang lemah.
Ketika Satryawangsa menyadari apa yang terjadi, ia segera berlari menuju sumur dengan niat tulus untuk menolong ibunya. Namun, ia segera menghadapi sebuah keajaiban yang tak terduga. Dari dalam sumur, tumbuhlah pohon Timbul yang perkasa, dan di puncaknya mendarat seekor burung tuu-tuu yang anggun. Dalam momen tersebut, Satryawangsa dengan rendah hati bersumpah untuk tidak memakan buah dari pohon Timbul dan tidak akan menyakiti burung tut-tuu beserta keturunannya. Bahkan, ia pun bersedia untuk tidak meminum air dari sumur tersebut. Semua ini mencerminkan ketulusan hati Satryawangsa dalam menghadapi ujian yang luar biasa dan keajaiban yang tak terduga selama perjalanannya.
Setelah peristiwa tersebut berakhir, Satryawangsa melanjutkan perjalanan menuju istana untuk menghadap ayahandanya, Dalem Mangori. Dia dengan jujur menceritakan seluruh kejadian yang terjadi di tengah hutan kepada ayahnya. Namun, mendengar cerita Satryawangsa, Dalem Mangori marah dan segera mengusir Satryawangsa dari istana Kalingga. Selain itu, gelar yang sebelumnya disandangnya sebagai seorang putra kerajaan dicopot karena Satryawangsa telah melanggar larangan Dalem.
Satryawangsa pun meninggalkan istana dan melanjutkan perjalanannya ke kerajaan Airlangga untuk bertemu kakeknya, Prabu Airlangga. Di kerajaan tersebut, Satryawangsa menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Sang Prabu Airlangga. Akhirnya, Satryawangsa mendapatkan saran untuk datang ke Bali guna bertemu dengan Dalem Tegal Belesung. Namun, untuk melakukan pertemuan tersebut, Satryawangsa harus menyandang gelar baru, yaitu "Mantri Tutuan”.
Ki Mantri Tutuan diterima dengan baik oleh Dalem Tegal Belesung ketika akhirnya ia tiba di Bukit Buluh Gunaksa, Klungkung, Bali. Tempat ini kemudian menjadi pusat dari keturunan Ki Manti Tutuan, menggambarkan perjalanan panjang Satryawangsa dan perannya dalam memperjuangkan keturunan dan ketulusan hati yang memengaruhi sejarah Tutuan.