Kearifan Hutan Bambu Sakral di Desa Penglipuran
Hutan bambu terkenal di Bali berada di Kabupaten Bangli, khususnya di Desa Penglipuran. Tempat ini sangat menarik sebagai destinasi wisata. Selain menawarkan pemandangan yang memukau, hutan bambu di Bangli ini juga memiliki nilai sakral dan sangat berguna bagi penduduk lokal dan dipelihara dengan sungguh-sungguh untuk kelestariannya.
Di Bali, terdapat berbagai jenis hutan, salah satunya adalah hutan bambu. Hutan bambu terluas terletak di Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli. Pohon bambu adalah jenis tanaman yang memiliki signifikansi penting dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat Bali. Dikutip dari buku "Jenis-Jenis Bambu di Bali dan Potensinya" oleh Ida Bagus Ketut Arinasa dan I Nyoman Peneng, kebutuhan akan bambu di Bali mencapai 6,5 juta batang setiap tahun. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan untuk sarana dan prasarana dalam upacara agama, kegiatan pertanian, usaha peternakan, serta keperluan lainnya yang memerlukan sekitar 28.804.682 batang bambu per tahun.
Di Pulau Bali, juga terdapat jenis bambu endemik yang merupakan asli dari Pulau Bali. Beberapa di antaranya adalah bambu Jajang Taluh (Gigantochloa Taluh) dan Jajang Aya (Gigantochloa Aya), yang dapat ditemui di Desa Adat Penglipuran, Bangli, dan sekitarnya. Bambu Buluh Kedampal (Schizostachyum Castaneum) dapat ditemukan di daerah Tabanan dan sekitarnya, sementara bambu ooh (Bambusa ooh) hanya ditemui di daerah Pempatan Kabupaten Karangasem dan sekitarnya. Selain itu, ada bambu Tali (Gigantochloa Baliana) yang dapat ditemui di daerah daratan tinggi Buleleng, seperti di daerah Sidatapa, Pedawa, dan Tigawasa. Informasi ini juga tercatat dalam buku "Jenis-Jenis Bambu di Bali dan Potensinya."
Pintu Masuk Hutan Bambu Penglipuran (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Hutan bambu di Desa Adat Penglipuran sangat diperhatikan dalam menjaga kelestariannya. Ini bukan hanya untuk melestarikan warisan alam yang telah berlangsung turun-temurun, tetapi juga karena masyarakat Desa Adat Penglipuran mengandalkan bambu dari hutan tersebut sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, usaha pelestarian hutan bambu di Desa Adat Penglipuran terus berlanjut hingga saat ini.
Dalam sejarahnya, dikutip dari detikBali. Tanaman bambu memang menjadi ciri khas dan karakteristik yang unik dari Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, terutama di Desa Penglipuran dan desa-desa sekitarnya. Berdasarkan informasi yang disajikan dalam Prosiding Semnas Sastra dan Budaya II Universitas Udayana Bali, keberadaan bambu ini memiliki hubungan yang erat dengan sejarah kerajaan-kerajaan kuno di Bali.
Kisahnya mencatat bahwa Raja Buleleng, Panji Sakti, pernah menyerang Keraton Bangli. Rakyat Panji Sakti membawa bebanan atau pikulan dari bambu, yang kemudian tersebar di berbagai tempat. Masyarakat setempat kemudian menanam bambu-bambu tersebut, dan seiring berjalannya waktu, bambu-bambu tersebut tumbuh menjadi hutan bambu yang luas.
Desa Penglipuran, sebagai salah satu desa kuno yang dihuni oleh suku Bali Aga, memiliki hubungan yang sangat erat dengan Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Bangli. Awalnya, penduduk Desa Penglipuran adalah pendatang dari masyarakat Bayung Gede. Dalam masa lalu, Raja Bangli yang bergelar I Dewa Ayu Den Bencingah meminta sejumlah warga Bayung Gede untuk mengawal dan menjaga keratonnya. Setelah kondisi di keraton aman, warga-warga tersebut diberikan tempat perkebunan yang kemudian dikenal dengan nama Kubu Bayung. Tempat ini menjadi cikal bakal Desa Penglipuran seperti yang kita kenal saat ini.
Hutan bambu memiliki makna simbolik yang mendalam bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran, yang tercermin dalam pemahaman mereka tentang konsep Tri Mandala dan konsep Tri Hita Karana. Dalam kerangka konsep Tri Mandala, hutan bambu dianggap sebagai lambang tempat suci yang dihormati dan dirawat dengan penuh rasa sakral oleh penduduk Desa Adat Penglipuran. Sementara dalam konteks konsep Tri Hita Karana, hutan bambu menjadi simbol kehidupan yang penting dengan menjaga hubungan dengan alam, manusia dan tuhan.
Contoh Penerapan Tri Hita Karana di Hutan Bambu (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Pelestarian hutan bambu di Desa Adat Penglipuran memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga ekosistem alam dan mencegah dampak negatif seperti banjir dan tanah longsor. Hutan bambu juga berperan sebagai penjaga konservasi air dalam tanah dengan akar-akarnya, yang membantu mencegah wilayah tersebut mengalami kekeringan. Lebih jauh lagi, konservasi hutan bambu dianggap dapat berkontribusi dalam menciptakan sumber mata air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya.
Hubungan antara masyarakat Desa Adat Penglipuran dan lingkungan alam, terutama hutan bambu, tercermin dengan jelas dalam pelaksanaan upacara persembahan kepada pohon bambu saat mereka merayakan Hari Tumpek Wariga. Warga Desa Adat Penglipuran dengan penuh tekun menjaga kelestarian hutan bambu yang mereka pandang sebagai warisan berharga dari leluhur mereka. Praktik pelestarian ini mencerminkan pola perilaku yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam menjaga ekosistem sekitar mereka, serta mengikuti ajaran dan nilai-nilai yang telah ada di desa mereka untuk memastikan pelestarian hutan bambu tetap berlangsung.
Selain manfaat ekologi, hutan bambu juga memiliki nilai budaya yang mendalam bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran. Mereka meyakini bahwa hutan bambu adalah akar sejarah mereka dan memiliki peran penting dalam kehidupan mereka. Dengan keyakinan ini, mereka memperhatikan waktu-waktu yang dianggap tepat untuk melakukan penebangan bambu, serta berusaha menghindari tindakan tersebut pada waktu yang dianggap kurang beruntung. Masyarakat juga memiliki pemahaman tentang musim-musim yang memengaruhi pertumbuhan bambu, seperti tidak mengumpulkan bambu selama musim hujan ketika rebungnya melimpah. Semua langkah ini mencerminkan kesadaran mendalam akan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Warga Membawa Hasil Potongan Bambu (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Dalam menjaga kelestarian hutan bambu, masyarakat Desa Adat Penglipuran menjalankan berbagai peraturan dan praktik yang ketat. Mereka menerapkan konsep "hutan duwe" (hutan milik), yang mengatur larangan menebang bambu secara berlebihan atau pada hari yang dianggap kurang baik. Upacara ritual Tumpek Wariga juga memiliki peran penting dalam praktik pelestarian ini, di mana setiap pemilik hutan bambu membawa persembahan sebagai tanda penghormatan kepada pohon bambu dan sebagai upaya menjaga keberkahannya. Lalu, masyarakat secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong yang diadakan setiap dua minggu sekali untuk menjaga kebersihan hutan bambu. Pemerintah desa juga mendukung upaya ini dengan mempekerjakan tukang sapu yang bertugas membersihkan sampah daun-daun bambu, yang kemudian diolah menjadi pupuk organik. Semua tindakan ini merupakan bukti komitmen mendalam masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam menjaga kelestarian hutan bambu serta menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Hutan bambu tetap menjadi tempat yang dianggap sangat suci oleh masyarakat setempat, dan dalam pandangan mereka, hutan ini mengandung akar sejarah keberadaan mereka di wilayah tersebut. Kepercayaan ini menjadikan penentuan waktu yang tepat untuk menebang pohon bambu sangat penting. Menurut keyakinan mereka, tindakan menebang pada waktu yang kurang baik dapat membawa dampak buruk.
Tukang Sapu Membersihkan Sampah Daun-Daun Bambu (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Masyarakat setempat juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang siklus alam, seperti tidak mengumpulkan bambu selama musim hujan karena pada saat itu rebung bambu cenderung lebih berlimpah. Mereka juga memiliki pengetahuan tentang bagian rumpun bambu yang sebaiknya ditebang. Hal-hal seperti ini mencerminkan upaya mereka untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana, di mana tindakan mereka terhadap bambu tidak dilakukan sembarangan.
Kesimpulannya, hutan bambu di Desa Adat Penglipuran, Bali, tidak hanya memiliki nilai ekologi yang signifikan dalam menjaga ekosistem alam dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga memiliki makna budaya yang mendalam bagi masyarakat setempat. Hutan bambu adalah lambang kehidupan, keberlanjutan warisan leluhur, dan simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Upaya pelestarian yang ketat, seperti konsep "hutan duwe," ritual Tumpek Wariga, dan kegiatan gotong-royong, merupakan bukti komitmen masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam menjaga kelestarian hutan bambu. Untuk itu, mari kita semua bersama-sama merenungkan pentingnya menjaga hutan bambu ini sebagai aset berharga dan tempat yang sangat suci, sehingga warisan alam dan budaya ini dapat terus dilestarikan bagi generasi-generasi mendatang.