Monumen Puputan Klungkung: Kisah Raja Klungkung, Memilih Gugur Daripada Dijajah
Monumen Puputan Klungkung adalah bukti sejarah keberanian Raja Klungkung serta pasukannya dalam peristiwa Puputan Klungkung. Salah satu babak penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia di Pulau Bali. Bukti keberanian rakyat Klungkung yang mengakhiri masa kerajaan terakhir di Pulau Bali

Pulau Bali, sebagai salah satu permata Indonesia, mengagumkan dengan keindahan alam yang memukau dan kekayaan budayanya yang unik. Adat kebudayaan Bali memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakatnya, dengan tradisi-tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tak hanya itu, pulau ini juga menyimpan sejarah panjang yang menarik, dan salah satu titik fokusnya terletak di Kabupaten Klungkung. Daerah ini bukan hanya tempat berbagai peristiwa sejarah penting, tetapi juga mencerminkan keberlanjutan warisan budaya yang tak ternilai. Sebagai pusat kearifan lokal dan identitas unik, Bali dan khususnya Klungkung memberikan pengalaman yang mendalam dalam menjelajahi kekayaan warisan dan kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Seiring berjalannya waktu, kekayaan budaya dan sejarah Pulau Bali menjadi cerminan nilai-nilai yang masih hidup hingga saat ini. Dalam konteks ini, Monumen Puputan Klungkung mencuat sebagai lambang kuat dari sejarah yang memikat. Monumen ini menjadi saksi bisu dari peristiwa dramatis Puputan Klungkung pada tahun 1908, ketika raja dan rakyat Klungkung memilih pengorbanan daripada menyerah kepada penjajah. Sejarah tragis ini menciptakan jejak mendalam dalam kolektif ingatan masyarakat Bali. Oleh karena itu, menjelajahi sejarah Monumen Puputan Klungkung bukan sekadar melihat masa lalu, tetapi juga memahami ketahanan, keberanian, dan semangat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Pulau Dewata.
Monumen Puputan Klungkung atau dikenal juga dengan Monumen Ida I Dewa Agung Jambe terletak di pusat Kabupaten Klungkung, sebelah utara Perempatan Agung Catur Muka, serta berjarak dekat di timur laut dari Balai Budaya Ida I Dewa Agung Istri Kania. Pada awalnya, Kerajaan Klungkung didirikan oleh Ida I Dewa Agung Jambe I, pada 1686 yang merupakan putra dari Dalem di Made. Pusat kerajaan lantas dipindah dari Gelgel ke Semarapura yang menandai berdirinya Kerajaan Klungkung.
Patung Keluarga Raja (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Sejak abad ke-16, Belanda sudah menginjakkan kaki di Pulau Bali, namun kala itu Belanda belum memunculkan ancamannya. Baru lah setelah abad ke-18 Belanda mulai menunjukkan kekuatannya. Akibatnya, terjadi beberapa perlawanan di Pulau Bali, salah satunya Perang Kusamba. Dibawah pimpinan Ida I Dewa Agung Istri Kania, dengan keris saktinya berhasil menewaskan pimpinan tinggi Belanda, Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels.
Hubungan Belanda dan Kerajaan Klungkung semakin tegang, karena Belanda kerap kali dianggap ikut campur dalam keputusan yang diambil kerajaan. Hingga Pada 1908, Klungkung dibawah kekuasaan Ida I Dewa Agung Jambe II, yang merupakan keturunan Dinasti Ida I Dewa Agung Jambe I, menjadi raja ke-11 dari Kerajaan Klungkung. Pada masa ini lah puncak perselisihan Belanda dengan Kerajaan Klungkung terjadi.
Sejak 13 April 1908, Belanda memulai patroli untuk mengamankan monopoli Candu. Hingga pada tanggal 14 April, dibawah pimpinan Letnan Haremaker, Belanda berusaha menemui Raja I Dewa Agung Jambe, meminta agar Belanda diijinkan mendirikan benteng di Gelgel, namun hal ini tentu ditolak tegas oleh sang raja. Patroli kembali dilakukan hingga 16 April, menyasar daerah kerajaan yang lebih dalam, seperti Banjarangkan dan Jumpai tanpa seijin Raja. Hal ini membuat Cokorda Gelgel yang sejak 1906 tegas menolak belanda murka. Ketika patroli bergerak menuju Banjarangkan, Serentak kulkul dibunyikan secara bulus yang mengakibatkan patroli Belanda diserang oleh laskar Klungkung dari segala penjuru. Mengakibatkan Letnan Haremaker gugur akibat luka berat yang dialaminya.
Mendengar kabar ini, Belanda murka dan memutuskan untuk menyerang Gelgel serta Kerajaan Klungkung. Bersenjatakan Meriam Kaliber 13 cm dan 15 cm, Belanda berusaha menyerbu puri. Ultimatum untuk menyerah juga dikirimkan kepada Raja Ida I Dewa Agung Jambe, namun tentu ditolak mentah mentah sembari mengulur waktu. Sejak 21 April Belanda membombardir Istana Semarapura, Gelgel, dan juga Satria selama 6 hari berturut turut. Namun sekitar 3000 laskar Klungkung tak kunjung menyerah.
Peperangan di Puri Klungkung (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)
Hingga celakanya tanggal 27 April pasukan bantuan Belanda dari Batavia tiba di Kusamba dan Jumpai, mempersiapkan serangan pamungkas di keesokan harinya. Pada 28 April puncak peperangan terjadi, pada akhirnya Laskar Klungkung tak sanggup lagi menahan gempuran Belanda. Dan Dari gempuran tersebut, Cokorda Gelgel, Dewa Agung Gde Semarabawa, Dewa Agung Muter, dan sang putra mahkota, Dewa Agung Gde Agung gugur di medan perang. Hingga pada akhirnya sang Raja Ida I Dewa Agung Jambe turut gugur, serta menandai berakhirnya peperangan dengan tekad Dharmaning Ksatrya Mahottama, yaitu kewajiban tertinggi seorang kesatria sejati, tewas di medan pertempuran.
Jasad Sang Raja beserta pengikutnya kemudian dibakar, lalu abunya diarungkan ke laut melalui sungai Kali Unda. Sementara keturunan raja yang masih hidup seperti Cokorda Raka dan Cokorda Oka Geg ditangkap dan dibuang ke pulau Lombok.
Dibawah kekuasaan Belanda, bekas Kerajaan Klungkung kemudian dibagi menjadi 12 distrik yang masing-masing distriknya dikepalai oleh seorang Punggawa. Runtuhnya kerjaan klungkung menjadi akhir perjalanan kerajaan terakhir di bali, tetapi peristiwa ini juga menjadi babak baru dari perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda