Ngadegan Sang Hyang Tapini: Manifestasi Dewi Uma untuk Menghadirkan Taksu Surgawi dalam Pembuatan Wewantenan

Di tengah persiapan Karya Agung di Pura Kahyangan Saren Kangin, Desa Adat Mengwitani, krama desa melaksanakan ritual Ngadegan. Ritual ini bertujuan untuk menstanakan kekuatan utama: Sang Hyang Tapini. Berlandaskan Lontar Yadnya Prakerti, kehadiran beliau menjadi syarat mutlak untuk menghadirkan taksu surgawi dalam proses pembuatan wewantenan (sarana upacara).

Dec 1, 2025 - 06:50
Dec 1, 2025 - 17:15
Ngadegan Sang Hyang Tapini: Manifestasi Dewi Uma untuk Menghadirkan Taksu Surgawi dalam Pembuatan Wewantenan
Wawancara Bersama Ida Pedanda Gede Ketut Putra Timbul(Sumber: Koleksi Pribadi)

Suasana khidmat menyelimuti Pura Kahyangan Saren Kangin, Desa Adat Mengwitani, Kabupaten Badung. Krama desa tumpah ruah mempersiapkan rangkaian awal Karya Agung. Di antara berbagai aktivitas tersebut, ritual Ngadegan Tapini memegang peranan sentral sebagai pembuka. Secara teologis, sebelum aktivitas fisik pembuatan sarana upacara dilakukan, persiapan spiritual melalui penstanaan Sang Hyang Tapini harus dituntaskan terlebih dahulu.

Pentingnya ritual ini dipertegas melalui hasil wawancara dengan Ida Pedanda Gede Ketut Putra Timbul. Beliau menjelaskan bahwa makna Ngadegan Tapini memiliki dimensi yang sangat dalam bagi para pelaksana upacara. Sang Hyang Tapini sejatinya adalah "Serati yang ada di Surga" atau Dewanya para tukang banten. Tujuan utama dilinggihkannya beliau adalah agar para Serati (pembuat banten) di dunia nyata mendapat tuntunan langsung. Setiap kali para Serati hendak memulai pekerjaan, mereka wajib nunas (memohon izin dan inspirasi) agar wewantenan yang dihasilkan memiliki taksu surgawi.

Iring-iringan Serati Mengusung Daksina Tapini Menuju Bale Payadnyan

(Sumber: Koleksi Pribadi)

Sebagai wujud bakti dan permohonan tuntunan tersebut, para Serati di Desa Mengwitani melakukan prosesi iring-iringan yang khidmat. Mereka mengusung (nyuun) Daksina Tapini menuju Bale Payadnyan. Prosesi arak-arakan ini bukan sekadar seremonial, melainkan simbolisasi bahwa "Sang Penuntun" (Tapini) sedang diantar menuju singgasana utamanya untuk mulai mengawasi dan memberkati pekerjaan tangan para Serati dalam menata janur dan bunga menjadi persembahan suci.

Ida Pedanda Memimpin Puja Mantra (Sumber: Koleksi Pribadi)

Legitimasi spiritual prosesi ini diperkuat oleh peran Ida Pedanda yang memuput langsung jalannya upacara. Merujuk pada Lontar Yadnya Prakerti, puja mantra beliau bertujuan secara khusus memohon kehadiran manifestasi suci Sang Hyang Tapini ke lokasi upacara. Kehadiran Ida Pedanda di sini sangat vital, karena beliau hadir sebagai jembatan niskala yang menghubungkan permohonan umat dengan kekuatan dewata, memastikan bahwa Tapini yang dihadirkan adalah manifestasi suci yang benar-benar akan menaungi karya.

Sinergi antara doa suci Ida Pedanda dan kesungguhan hati para Serati inilah yang diyakini mampu melebur segala mala (kekotoran) pada sarana upacara. Hal ini menegaskan sebuah prinsip penting dalam yadnya, bahwa seluruh sarana yang disiapkan bukan lagi benda profan atau material biasa, melainkan telah disucikan menjadi sarana suci yang siap dipersembahkan. Tanpa prosesi penyucian ini, tumpukan janur dan bunga dianggap belum memiliki "jiwa" atau taksu yang diperlukan.

Daksina Linggih dengan Hiasan Cili, Simbol Visual Kehadiran Sang Hyang Tapini

(Sumber: Koleksi Pribadi)

Kehadiran Sang Hyang Tapini dalam ritual ini tidak hanya bersifat abstrak, tetapi disimbolkan secara visual melalui sarana Daksina Linggih yang unik. Jika diperhatikan dengan saksama, pada bagian atas daksina tersebut terdapat hiasan janur yang dibentuk menyerupai Cili. Cili adalah sebuah stilasi wujud perempuan dengan hiasan kepala yang lebar dan pinggang ramping, yang secara spesifik merepresentasikan Sang Hyang Tapini sebagai manifestasi dari Dewi Uma.

Simbolisasi ini mengandung makna filosofis yang dalam terkait aspek pradana atau kewanitaan. Sebagai Dewi yang menaungi keindahan, Sang Hyang Tapini bertanggung jawab penuh atas kehalusan, kerapian, dan estetika wewantenan. Penyatuan simbol Cili dalam Daksina Linggih ini dipercaya akan memancarkan energi spiritual yang kuat, menuntun tangan para Serati agar mampu menciptakan sarana upacara yang tidak hanya lengkap secara aturan, tetapi juga indah dan metaksu.

Prosesi Nglinggihang Daksina Linggih (Sumber: Koleksi Pribadi)

Puncak ritual ditandai dengan prosesi Nglinggihang (penstanaan). Setelah Sang Hyang Tapini resmi berstana (melinggih), barulah tahapan pekerjaan fisik pembuatan banten diperbolehkan dengan perasaan tenang. "Restu" dari Sang Hyang Tapini kini telah didapatkan, dan sarana upacara diyakini telah bertransformasi menjadi benda sakral. Rangkaian sistematis di Desa Mengwitani ini menunjukkan betapa pentingnya persiapan batiniah sebagai landasan bagi kesuksesan aktivitas lahiriah dalam sebuah Karya Agung.