Menyusuri Mapepada di Pura Taman Saren Kangin: Menuntun Roh Hewan Menuju Tingkat Lebih Tinggi
Upacara Mapepada di Pura Taman Saren Kangin menjadi salah satu tahapan penting dalam persiapan Ngenteg Linggih Mapedudusan Alit Mupuk Pedaging Lan Rsi Gana Medasar Tawur Panca Rupa di Desa Adat Mengwitani. Melalui penyucian hewan caru, prosesi ini menegaskan keseimbangan antara sekala dan niskala sekaligus memperlihatkan kedalaman makna spiritual dalam tradisi Hindu Bali.
Pada rangkaian persiapan upacara Ngenteg Linggih Mapedudusan Alit Mupuk Pedaging Lan Rsi Gana Medasar Tawur Panca Rupa, ritual Mapepada dilaksanakan di Pura Taman Saren Kangin, Desa Adat Mengwitani, pada Manis Galungan dan Tilem Kelima, Wraspati Umanis Dunggulan, 20 November 2025. Prosesi ini menjadi lanjutan dari tahapan Ngingsah, Ngadegan, dan Nyuciang Bhatara Manik Galih yang dilakukan pada hari yang sama, menghadirkan rangkaian kegiatan yang tersusun rapi menuju pelaksanaan upacara puncak.
Mapepada merupakan salah satu ritual suci dalam tradisi Hindu Bali yang menegaskan makna penyucian hewan sebagai bagian dari pelaksanaan Bhuta Yadnya. Secara linguistik, istilah ini berakar dari kata “pada” dalam bahasa Bali yang berarti sama atau kaki, dan di dalam konteks ritual menggambarkan proses penyelarasan unsur kehidupan hewan agar berada dalam harmoni dengan prosesi keagamaan.
Dalam pelaksanaannya, Mapepada berfokus pada pemurnian roh hewan yang akan dipersembahkan. Melalui tahapan ini, roh hewan diangkat martabatnya agar setelah kematian tidak kembali bereinkarnasi sebagai hewan pada kehidupan berikutnya. Keyakinan ini mencerminkan pandangan bahwa setiap makhluk hidup memiliki potensi spiritual yang dapat ditingkatkan melalui upacara yang tepat.
Sebelum memasuki prosesi inti, penting dipahami bahwa Mapepada berkaitan erat dengan konsep caru, yakni persembahan suci yang dipersembahkan untuk memulihkan dan menjaga keseimbangan antara alam sekala dan niskala. Caru tidak semata persembahan fisik, melainkan sarana harmonisasi kosmis yang menghubungkan manusia dengan unsur bhuta kala. Dalam konteks Mapepada, caru menjadi dasar ritual yang memayungi penggunaan hewan-hewan persembahan sebagai simbol penyelarasan energi alam.
Dalam prosesi Mapepada ini digunakan caru panca sanak, yang meliputi hewan persembahan seperti asu bang bungkem, bebek bulu singkep, angsa, kambing, serta anak babi jantan hitam. Hewan-hewan tersebut kemudian dituntun mengelilingi area upacara sebanyak tiga kali. Tahapan ini dikenal sebagai Murwa Daksina dan dimaknai sebagai gerak menuju tingkat spiritual yang lebih luhur. Prosesi tersebut melambangkan perjalanan transendensi yang memberi kesempatan bagi roh hewan untuk mengalami peningkatan rohani sebelum akhirnya dipersembahkan dalam upacara.
Ida Pedanda Bersama Krama Pura (Sumber: Koleksi Pribadi)
Di tengah prosesi, Ida Pedanda Gede Ketut Putra Timbul dari Griya Kawi Purna Timbul, Banjar Lebah Bangkung, Desa Mengwi, memberikan penekanan mengenai esensi kesucian dalam pelaksanaan Mapepada. Beliau menyampaikan bahwa rangkaian kegiatan hari itu merupakan bagian dari persiapan menuju upacara utama yang lebih besar, dan setiap tahap harus dijalankan dengan ketulusikhlasan yang bersih.
“Itu saja sebenarnya. Jadi kegiatan hari ini, karya hari ini itu lebih kepersiapannya dari serangkaian kegiatan yang akan berjalan nanti. Tidak cukup keinginan saja, tapi harus suci. Sehingga keluar kata-kata yang betul-betul suci dari diri kita di dalam pelaksanaan ini,” ungkapnya.
Pandangan ini menegaskan bahwa kesucian batin para pelaksana menjadi landasan penting agar seluruh prosesi dapat berjalan dengan benar dan selaras dengan nilai-nilai dharma.
Dalam rangkaian pelaksanaannya, pemangku yang memimpin upacara turut memberikan penjelasan mengenai makna penyucian hewan dalam hubungan antara yadnya dan keseimbangan alam. Menurut beliau, upacara ini tidak hanya menyiapkan hewan secara ritual, tetapi juga menegaskan kewajiban spiritual masyarakat dalam menjaga keselarasan sekala dan niskala. Penjelasan tersebut menambahkan sudut pandang yang lebih dalam mengenai bagaimana Desa Adat Mengwitani memaknai hubungan manusia, hewan, dan kekuatan kosmis dalam perjalanan upacara suci Mapepada.
Upacara Mapepada sendiri dipimpin oleh Mangku Desa, Mangku Bale Agung, Mangku Kawitan Gaduh, dan Mangku Saren Kangin. Para pemangku memastikan setiap hewan persembahan menjalani proses penyucian dan penyiapan rohani sebelum memasuki rangkaian Tawur Panca Rupa. Melalui prosesi ini, masyarakat memberikan penghormatan serta pemurnian yang layak sehingga hewan-hewan tersebut benar-benar siap secara ritual, selaras dengan nilai spiritual yang dijunjung, dan mendukung terciptanya kesucian serta keharmonisan seluruh rangkaian upacara.