Periodisasi Zaman Bali Kuno

Mengulas masa kejayaan Bali Kuno, tulisan ini menyoroti perkembangan sistem pemerintahan, sosial, ekonomi, dan keagamaan yang membentuk dasar peradaban Bali. Dari praktik musyawarah hingga sistem Catur Warna, kehidupan masyarakat kala itu mencerminkan harmoni antara budaya, spiritualitas, dan tata pemerintahan. Jejak peninggalannya menjadi cerminan kejayaan dan kearifan leluhur Bali.

Dec 18, 2025 - 06:51
Dec 17, 2025 - 19:53
Periodisasi Zaman Bali Kuno
Tiga Periode pada Periodisasi Zaman Bali Kuno (Sumber : Koleksi Pribadi)

Zaman Bali Kuno merupakan masa awal perkembangan peradaban di Pulau Bali, ketika sistem tulis-menulis mulai diperkenalkan dan digunakan dalam berbagai kegiatan pemerintahan maupun keagamaan. Secara umum, masa ini terbagi menjadi beberapa periode, yaitu Periode Singhamandawa yang merupakan masa sebelum Dinasti Warmadewa, Periode Dinasti Warmadewa itu sendiri, dan Periode Wangsa Jaya yang merupakan pecahan dari Dinasti Warmadewa.

Pada masa Singhamandawa, sekitar Saka 804–836 atau 882–995 Masehi, sejumlah prasasti penting dikeluarkan oleh lembaga Panglapuan di Singhamandawa. Di antaranya adalah Prasasti Sukawana A1 (804 Saka), Bebetin A1 (818 Saka), dan Trunyan A1 (833 Saka). Isi prasasti-prasasti tersebut menunjukkan perhatian raja terhadap pembangunan tempat suci, kesejahteraan rakyat, serta penetapan batas wilayah pertapaan di Bukit Cintamani. Raja juga memberikan pembebasan pajak dan tugas tertentu kepada para bhiksu, menetapkan aturan pembagian harta warisan bagi pasangan suami istri, serta memperhatikan kondisi Desa Bharu di pesisir utara Bali yang pernah diserang oleh perampok. Pada awal periode ini terdapat empat jabatan tertinggi kerajaan, yaitu sarbwa, dinganga, nayakan makarun, dan manuratang ajna. Seiring berjalannya waktu, jumlah jabatan-jabatan tertinggi ini kemudian bertambah menyesuaikan perkembangan pemerintahan.

Raja Singhamandawa melihat kondisi Desa Bharu (Sumber : Koleksi Pribadi)

Setelah masa Singhamandawa berakhir, muncul Wangsa Warmadewa yang didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, seorang penganut Buddha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk memerintah Bali. Dinasti ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan politik, sosial, dan budaya Bali Kuno. Dalam Prasasti Blanjong disebutkan bahwa Sri Kesari Warmadewa telah berhasil menaklukkan daerah Gurun dan Suwal yang hingga kini belum dapat dipastikan lokasinya, namun diduga berada di wilayah Lombok atau Nusa Penida. Bahasa yang digunakan pada masa ini adalah bahasa Sanskerta dan bahasa Bali Kuno, sebagaimana tercantum dalam berbagai prasasti peninggalan zaman tersebut. Pada periode ini pula, Bali telah menjadi wilayah yang berdaulat dan otonom, yang menjalankan pemerintahan sendiri tanpa terikat oleh kerajaan lain. Berdasarkan Prasasti Pejeng dan Prasasti Cempaga A (1103 Saka/1181 Masehi), disebutkan istilah Walipuram yang berarti Bali sebagai kerajaan, dan Balidwipanagara yang berarti Bali sebagai negara. Para sejarawan kemudian menyebut kerajaan pada masa ini sebagai Kerajaan Bedahulu karena pusat pemerintahannya terletak di Desa Bedahulu.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Bali tidak dijelaskan secara rinci, namun berbagai prasasti menunjukkan bahwa wilayah tersebut mencakup seluruh daratan Pulau Bali serta perairan di sekelilingnya. Struktur pemerintahan Bali Kuno tergolong sederhana, terdiri atas pemerintahan pusat atau kedatuan (prahajyan) dan pemerintahan desa yang disebut dengan istilah banua, wanua, thani, atau desa. Selain itu dikenal istilah banjar yang berarti kesatuan wilayah berikut penduduknya. Penduduk desa disebut dengan istilah anak wanua, tanayan thani, dan karaman. Dalam sistem pemerintahan, raja memiliki peran utama sebagai pelindung dan pengendali kerajaan. Seorang raja di Bali harus memiliki sifat Asta Brata karena dianggap sebagai teladan dan panutan bagi rakyatnya. Raja juga dipandang sebagai inkarnasi atau titisan dewa tertentu, yang mempertinggi kedudukannya dan menjadi legitimasi bagi kekuasaannya. Dalam hal perpajakan dan tenaga kerja, raja mempertimbangkan kesejahteraan rakyat agar sesuai dengan ajaran Niti Sastra.

Raja Anak Wungsu sebagai Inkarnasi Dewa Wisnu (Sumber: Koleksi Pribadi)

Menariknya, sistem pemerintahan di Bali Kuno tidak bersifat otoriter. Dalam berbagai prasasti disebutkan bahwa raja selalu berkonsultasi dengan lembaga tertinggi kerajaan atau badan penasihat pusat, serta mengambil keputusan berdasarkan musyawarah antara raja, pejabat kerajaan, dan perwakilan rakyat desa yang berkepentingan. Dengan demikian, sistem musyawarah mufakat telah diterapkan di Bali sejak masa itu. Dalam struktur birokrasi pemerintahan, terdapat beberapa kelompok penting, seperti kelompok Senapati yang dapat disetarakan dengan Punggawa pada masa Kerajaan Gelgel, kelompok Samgat yang memiliki kewenangan dalam memutuskan perkara, kelompok pendeta Siwa dan Buddha, serta kelompok Dhikara yang berperan seperti hakim, di samping jabatan-jabatan penting lainnya.

Pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, masyarakat Bali terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan Catur Warna dan golongan Kahula atau Kaula yang terdiri atas para budak dan berada di luar sistem warna. Golongan Catur Warna terdiri atas Brahmana, yaitu kaum yang menyejahterakan masyarakat melalui ilmu pengetahuan dan memimpin upacara keagamaan; Ksatriya, yaitu kaum yang memimpin pemerintahan dan membela tanah air; Waisya, yaitu kaum yang memakmurkan masyarakat melalui kegiatan perdagangan; serta Sudra, yaitu kaum yang melaksanakan tugas-tugas dari ketiga warna di atas. Sistem perkawinan antar golongan diatur secara ketat. Perempuan dari golongan tinggi tidak boleh direndahkan derajatnya atau dalam istilah Bali disebut nyerot. Jika kedua pihak tetap melangsungkan pernikahan, maka mereka akan dikenai denda pamucuk karena dianggap menyalahi aturan.

Masyarakat Bali dengan Sistem Catur Warna (Sumber: Koleksi Pribadi)

Dalam kehidupan sosial ekonomi, masyarakat Bali Kuno telah memiliki berbagai organisasi profesi atau kelompok kerja yang disebut swagina. Di antaranya adalah kasuwakan yang dapat diartikan sebagai subak, yaitu organisasi pertanian tradisional yang bertugas mengatur sistem pengairan sawah. Selain itu terdapat kelompok undahagi atau pertukangan yang terdiri atas undahagi watu (tukang batu), undahagi kayu (tukang kayu), dan undahagi rumah (arsitek rumah). Ada pula kelompok pande yang mengerjakan logam untuk membuat senjata dan perhiasan, kelompok bhandagina yang terdiri dari para seniman musik dan wayang yang bertugas menghibur baik di lingkungan istana maupun di tengah masyarakat, serta kelompok pengerajin tekstil seperti juru mangjahit kajang, yang membuat kain kajang untuk keperluan upacara seperti pengabenan. Menariknya, seniman yang bekerja di lingkungan istana memperoleh upah lebih tinggi dibandingkan seniman rakyat.

Dalam bidang ekonomi, Bali Kuno merupakan negara agraris yang menghasilkan berbagai komoditas seperti beras, kelapa, kemiri, jeruk, kapulaga, dan talas. Kegiatan perdagangan juga telah berkembang pesat. Keberadaan pasar atau peken menjadi bukti adanya aktivitas ekonomi Masyarakat pada masa Bali Kuno. Pasar biasanya terletak di tempat strategis seperti persimpangan jalan dan di bawah pohon beringin. Sistem mata uang pun telah dikenal, yaitu uang kepeng dengan satuan suwarna (su), masaka (ma), dan kupang (ku) yang digunakan sebagai alat tukar dan ukuran nilai.

Ilustrasi Pasar/Peken pada masa Bali Kuno (Sumber: Koleksi Pribadi)

Dalam aspek religi, masyarakat Bali Kuno mayoritas menganut dua agama besar, yakni agama Siwa dan Buddha. Para pemimpin dari kedua agama ini disebut Mpungku Sewasogata dan memiliki peran penting dalam urusan keagamaan serta pemerintahan. Dewa-dewa utama dalam ajaran Tri Murti telah dikenal sejak masa ini. Dalam prasasti disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu dianggap sebagai inkarnasi Dewa Wisnu, sedangkan Dewa Brahma dipuja melalui berbagai arca catur muka. Selain itu, dalam Prasasti Gobleg disebutkan adanya sekte Waisnawa yang merupakan pemuja Dewa Wisnu di Desa Tamblingan.

Beberapa peninggalan arkeologis dari masa Bali Kuno yang masih dapat ditemukan hingga kini antara lain Pura Pegulingan, Pura Tirta Empul, Candi Gunung Kawi, dan Goa Gajah. Seluruh peninggalan ini menjadi bukti kemajuan spiritual, budaya, dan arsitektur pada masa itu.

Periode terakhir dari zaman Bali Kuno adalah masa Wangsa Jaya, yang merupakan pecahan dari Dinasti Warmadewa. Raja yang terkenal pada masa ini adalah Raja Jayapangus. Pada masa pemerintahannya terjadi asimilasi antara kebudayaan Bali dan Tionghoa yang dapat dilihat dari peninggalan di Pura Dalem Balingkang. Kekuasaan Wangsa Jaya berakhir setelah Bali ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit. Pada saat itu, Bali diperintah oleh Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada tahun saka 1256 atau 1343 M , dan peristiwa penaklukan tersebut menandai berakhirnya periodisasi Zaman Kerajaan Bali Kuno.