Menelusuri Tradisi Unik Desa Adat Piling : Harmoni Lintas Agama melalui Adat Ngejot dan Gotong Royong

Toleransi merupakan sikap dan perilaku saling menghormati serta menerima perbedaan, baik dalam hal suku, agama, budaya. Desa Adat Piling di Bali menjadi cermin sikap toleransi dengan dua komunitas yang berbeda, desa ini sukses merawat warisan budaya, dengan sebagian warga yang menganut agama Kristen dan Katolik. Gereja Katolik Stasi Santo Mikael dan Gereja Kristen Protestan di Bali Immanuel di Banjar Piling Tengah menunjukkan harmoni dan koeksistensi agama, memperkuat Desa Adat Piling sebagai contoh kerukunan dalam keberagaman budaya.

May 2, 2025 - 06:22
May 2, 2025 - 08:44
Menelusuri Tradisi Unik Desa Adat Piling : Harmoni Lintas Agama melalui Adat Ngejot dan Gotong Royong
Gereja Immanuel dengan Penjor Bali (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)

Indonesia, sebagai negara yang membanggakan keberagaman suku dan agama, menciptakan lanskap sosial yang unik dan membutuhkan pondasi toleransi untuk menghidupi harmoni di tengah masyarakatnya. Desa Adat Piling, yang menjadi contoh keberhasilan dalam merawat dan memelihara keragaman ini, menonjol sebagai tempat di mana toleransi dan semangat gotong royong berkembang subur di tengah perbedaan.

Desa Adat Piling merupakan salah satu desa adat yang ada di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Desa ini terdiri dari tiga banjar adat yakni Banjar Piling Kawan, Piling Tengahan, dan Piling Kanginan. Desa Adat Piling ini menjadi gambaran hidup betapa keberagaman ini tidak hanya diakui, melainkan juga dihargai dan dijaga sebagai warisan bersama.

Desa Piling, semula dikenal sebagai Desa Tagel Sepit, merupakan desa kuno di Penebel. Asal-usulnya terkait dengan migrasi penduduk dari Desa Sarin Buana di daerah Bajra ke utara. Diabadikan oleh tugas dari Jro Subamia, dari Puri Tabanan. Mereka merelokasi desa untuk lebih dekat dengan Pura Pucak Kedaton dan pura-pura lainnya, seperti Pura Manik Selaka, Linggar Sari, dan Pura Jero Tengah.

Pada abad ke-15 sampai 16 Masehi, para tetua desa menginisiatifkan pemindahan lokasi, merabas hutan dan menggunakan alat yang kini dijaga di pura sebagai barang sakral. Awalnya, desa berada di sebelah utara dan disebut Tagel Sepit karena wilayahnya sempit dan memanjang. Di sana, Pura Khayangan Tiga dibangun dengan Agung, Puseh, dan Dalem, serta artefak kuno seperti sarkofagus dan Linggayoni yang dilestarikan.

Dalam perjalanan sejarahnya, desa pindah ke selatan dan utara karena kendala seperti makanan yang dicuri semut. Wilayah utara diambil alih oleh Jatiluwih, sementara wilayah selatan yang penuh dengan pohon piling menjadi lokasi pemukiman baru. Desa ini kemudian dikenal sebagai Desa Piling sejak perpindahan pada abad ke-19 sampai 20, tahun 1901.

Sejarah lain yang lebih menarik dari desa adat piling adalah bagaimana mereka terbiasa hidup berdampingan dengan komunitas yang memiliki kepercayaan yang berbeda namun tetap bisa hidup rukun berdampingan. Awalnya, umat Kristen Protestan hadir pada tahun 1928, dengan pembentukan komunitas pada tahun 1936 di Piling Kanginan. Perkembangannya meluas ke keluarga narasumber dan menyebar ke anak cucu.

Pada tahun 1955, ajaran Kristen Katolik masuk ke Abianbase melalui keluarga narasumber yang berasal dari daerah selatan. Persebaran ini didukung oleh Pastor Jerman bernama Pastor Suberger, yang memberikan bantuan kemanusiaan, seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan, saat Desa Piling mengalami kesulitan ekonomi setelah letusan Gunung Agung. Bantuan ini membantu perkembangan umat Katolik di desa. Jumlah warga Kristen di Desa Piling saat ini mencapai 80 kepala keluarga, terdiri dari umat Katolik dan Protestan. Keterikatan batin dan kasih sayang tetap erat antar keluarga Kristen, karena semuanya berasal dari Desa Piling sendiri dan masih dianggap sebagai saudara, menjadikan hubungan ini tetap kuat hingga saat ini.

Di Desa Adat Piling, mengakui bahwa toleransi bukanlah hanya sekadar konsep, tetapi telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Meskipun terdapat dua komunitas dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda, masyarakatnya terus menjaga kedamaian dan menghormati satu sama lain. Masyarakat memahami bahwa keragaman adalah kekuatan yang memperkaya, bukan ancaman.

Tradisi gotong royong ini menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Desa Adat Piling. Konsep "ngejot" semangat saling membantu antar-komunitas yang berbeda, menjadi perekat yang kuat. Saat perayaan Galungan atau Nyepi, komunitas Kristen turut serta dalam merayakan dengan membangun penjor atau menyajikan hidangan tradisional. Sebaliknya, dalam perayaan Natal atau Paskah, komunitas Hindu ikut serta dalam persiapan acara.

Photo Pendeta Membacakan Doa (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)

Sebagaimana dalam perayaan Natal, selalu menggunakan sejumlah ornamen bali yang tak hanya mempercantik, tetapi juga menjadi sarana penting dalam kelancaran acara. Ornamen Bali ini bukan sekadar hiasan, melainkan simbol keberagaman dan keharmonisan hidup berdampingan. Melalui ornamen-ornamen khas Bali ini, tampak jelas bagaimana masyarakatnya memberikan nilai pada keberagaman dan toleransi. Setiap ornamen memiliki cerita tersendiri, membingkai perayaan dengan nuansa yang kaya akan makna. Keberagaman ini menciptakan sebuah pemandangan yang memukau dan harmonis, menggambarkan betapa pentingnya saling menghargai dalam menyatukan perbedaan.

Pemahaman tentang simbol-simbol keagamaan di Desa Adat Piling mencerminkan tingkat kedalaman pengetahuan masyarakat. Penjor dan tedung yang digunakan dalam upacara di gereja tidak dianggap sebagai pelecehan, tetapi dihargai sebagai simbol-simbol keagamaan yang memiliki makna mendalam. Penjor Hindu dengan simbol Ong-kara, Arda Candra, bintang, matahari, dan lambang ananta bogha, dihargai sebagai hiasan yang tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga nilai keagamaan.

Gereja Immanuel dan Penjor Bali (Sumber Photo : Koleksi Pribadi)

Hal-hal seperti pengetahuan mengenai penjor yang digunakan di depan gereja, kelengkapannya, tedung, dan upacara penyucian bukanlah pengetahuan semata, tetapi warisan yang diwarisi turun temurun. Generasi Desa Adat Piling mewarisi pemahaman ini dari orang tua dan kakek mereka, menciptakan kesadaran yang kuat mengenai perbedaan dan pentingnya menghormatinya.

Di gereja Desa Adat Piling, mayoritas warga memilih mengenakan pakaian adat Bali ketika menghadiri ibadah. Ini menunjukkan bahwa agama tidak mengatur cara berpakaian, dan pakaian adat Bali dianggap sebagai hak yang dimiliki oleh orang Bali, tidak terbatas oleh agama. Prioritasnya adalah kenyamanan, kebersihan, dan kesenangan saat beribadah.

Dalam suasana yang santai, banyak pujaan dan injil diterjemahkan ke dalam bahasa Bali di gereja Desa Adat Piling. Ini merupakan bentuk akulturasi yang diterima dengan baik, menunjukkan bahwa perbedaan bahasa tidak menjadi penghalang dalam memahami ajaran agama.

Desa Adat Piling memberikan contoh nyata bahwa bantuan saling membantu melampaui batas agama. Dalam pernikahan Hindu, komunitas Kristen ahli dalam membuat janur turut serta membantu, dan sebaliknya, dalam perayaan Sidhi/Ulang Tahun dewasa di gereja, komunitas Hindu turut membantu dalam hal konsumsi dan lainnya.