Eksplorasi Keberadaan Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman di Bali

Pura Dalem Mutering Jagat adalah pura yang dibangun oleh Arya Wang Bang Pinatih, seorang utusan dari Majapahit, di tempat peninggalan Ida Dalem Batu Ireng, seorang raja Bali yang moksa di tepi Sungai Ayung. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Agung Petilan, yang terkenal dengan upacara Ngerebong. Pura ini juga menyimpan cerita tentang Brahmana Keling, seorang pendeta yang mengutuk Bali karena dihina oleh raja. Pura ini memiliki arsitektur yang megah dan luas, dengan menggunakan konsep Tri Mandala.

Oct 18, 2024 - 09:21
Oct 18, 2024 - 17:38
Eksplorasi Keberadaan Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman di Bali
Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman (Sumber: Koleksi Penulis)

Pura Dalem Mutering Jagat adalah salah satu pura yang terletak di Desa Kesiman Kertalangu, Kota Denpasar, Bali. Pura ini memiliki sejarah yang panjang dan erat kaitannya dengan Pura Agung Petilan atau Pura Ngerebong, yang terkenal dengan upacara Ngerebong yang dilakukan setiap 210 hari sekali. Pura Dalem Mutering Jagat dibangun oleh Arya Wang Bang Penatih, seorang utusan dari Kerajaan Majapahit yang datang ke Bali untuk melanjutkan Simakrama, yaitu sistem pemerintahan yang mengatur hubungan antara raja dan rakyat. Arya Wang Bang Penatih mendirikan pura ini di tempat yang disebut Kusima, yaitu tempat peninggalan Ida Dalem Batu Ireng, seorang raja Bali yang mencapai moksa atau kesempurnaan di tepi Sungai Ayung. 

Sungai Ayung memang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Bali. Selain dianggap sebagai tempat yang menyimpan berkah dan kedamaian, sungai ini juga dihormati sebagai sumber kehidupan dan spiritualitas. Batu Sima yang terletak di tepi sungai menjadi simbol penting dalam memperingati upacara yadnya moksa yang dilakukan oleh Ida Dalem Batu Ireng dan keturunannya.

Sungai Ayung (Sumber: Koleksi Penulis)

Dalam konteks budaya Bali, upacara yadnya moksa merupakan suatu bentuk pengorbanan yang dilakukan dengan tujuan mencapai keadaan yang suci dan sempurna. Ini mencerminkan keyakinan dalam siklus kehidupan, reinkarnasi, dan pencarian pencerahan spiritual. Sungai Ayung, atau disebut juga We Ayu, yang berarti air yang indah, menciptakan suasana yang tenang dan mempesona di sekitarnya. Keindahan alamnya juga menambah nilai spiritual bagi masyarakat setempat. Semoga warisan budaya dan spiritualitas yang terkandung dalam Sungai Ayung terus dijaga dan dihormati oleh generasi-generasi mendatang.

Pura Dalem Mutering Jagat memiliki arsitektur yang megah dan luas, dengan menggunakan konsep Tri Mandala, yaitu pembagian tiga halaman yang mewakili tiga tingkatan dunia, yaitu nista mandala (dunia bawah), madya mandala (dunia tengah), dan utama mandala (dunia atas). Halaman utama adalah tempat yang paling suci, di mana terdapat beberapa bangunan penting, seperti padmasana, meru, bale pesandekan, dan bale panggungan. Padmasana adalah bangunan yang berbentuk segi empat yang berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu. Meru adalah bangunan yang berbentuk menara dengan atap yang bertingkat-tingkat, yang melambangkan gunung suci tempat tinggal para dewa. Bale pesandekan adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peralatan upacara, seperti pedupaan, kendi, dan sebagainya. Bale panggungan adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan pertunjukan seni, seperti tari, wayang, dan sebagainya. Halaman tengah menjadi tempat untuk melaksanakan aktivitas keagamaan, seperti sembahyang dan persembahan. Di sini, umat Hindu dapat mengungkapkan penghormatan dan ketaatan spiritual mereka. Sementara itu, halaman luar diperuntukkan untuk aktivitas sosial seperti berkumpul dan beristirahat, menciptakan ruang untuk komunitas.

Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman (Sumber: Koleksi Penulis)

Piodalan Pura Dalem Mutering Jagat pada hari Wraspati wuku Sungsang, yang bersamaan dengan piodalan Sugihan Jawa, menciptakan momen sakral bagi umat Hindu di Bali. Sugihan Jawa sendiri merupakan upacara penghormatan terhadap leluhur dan nenek moyang, sebuah bentuk pengakuan terhadap akar budaya dari Jawa yang telah memengaruhi Bali selama bertahun-tahun.

Hari piodalan diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti persembahyangan, sesajen, dan tirta yatra, yaitu ziarah ke tempat-tempat suci. Aktivitas ini memperkuat ikatan spiritual umat Hindu dengan Tuhan dan leluhur mereka. Upacara ini juga menjadi wujud penghormatan terhadap warisan budaya dan kepercayaan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Pentingnya peringatan piodalan tidak hanya dalam konteks spiritual, tetapi juga sebagai momentum untuk merayakan dan memelihara keberlanjutan hubungan antara Bali dan Jawa. Sejarah panjang dan saling mempengaruhi antara kedua pulau ini tercermin dalam upacara Sugihan Jawa yang turut dipersembahkan di Pura Dalem Mutering Jagat.

Momen piodalan ini tidak hanya menjadi momen keagamaan, tetapi juga kesempatan untuk merajut kembali benang-benang sejarah dan kebersamaan antara Bali dan Jawa. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat Bali tidak hanya merayakan identitas keagamaan mereka tetapi juga memperkuat hubungan budaya dan sejarah dengan pulau seberang.

Pura Dalem Mutering Jagat Kesiman (Sumber: Koleksi Penulis)

Pura Dalem Mutering Jagat bukan hanya merupakan tempat ibadah, tetapi juga penjaga sejarah dan kebudayaan tinggi masyarakat Bali. Pura ini menjadi saksi perkembangan masyarakat Bali dari masa ke masa, mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu cerita menarik yang terkait dengan Pura Dalem Mutering Jagat adalah kisah Brahmana Keling. Kisah ini menggambarkan perjalanan seorang pendeta dari Jawa Timur, Brahmana Keling, yang datang ke Bali untuk membantu saudaranya, Raja Dalem Waturenggong, dalam melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Meskipun tujuannya mulia, Brahmana Keling mengalami penghinaan karena penampilannya yang lusuh, tidak dikenali oleh raja dan dihina oleh pejabat kerajaan. Ketika marah, Brahmana Keling mengutuk Bali agar menjadi gersang dan menderita. Kutukan ini hanya berhenti setelah raja meminta maaf dan memberikan gelar Dalem Sidakarya kepada Brahmana Keling. Gelar ini memiliki arti "orang yang menyelesaikan masalah," menggambarkan perubahan sikap dan penghormatan yang diberikan kepada Brahmana Keling.

Cerita ini menjadi asal-usul dari nama Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya, yang memiliki hubungan erat dengan Pura Dalem Mutering Jagat. Sebagai bagian dari warisan budaya Bali, cerita ini memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya penghormatan, permintaan maaf, dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat Bali.

Pura Dalem Mutering Jagat memang merupakan destinasi wisata yang patut dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun wisatawan. Keunikan pura ini tidak hanya terletak pada keindahan arsitektur yang megah, tetapi juga pada atmosfer kedamaian yang bisa dirasakan di sekitar sungai yang mengalir di sebelahnya. Selain itu, Pura Dalem Mutering Jagat menyajikan pelajaran berharga tentang sejarah dan kebudayaan Bali.

Melihat keindahan arsitektur pura akan membawa pengunjung pada pengalaman yang mendalam, menggali rasa kekaguman terhadap keahlian pembangunan tradisional Bali. Kehadiran sungai di sekitar pura menambahkan sentuhan alam yang menenangkan, menciptakan lingkungan yang cocok untuk refleksi spiritual dan keheningan. Selain itu, Pura Dalem Mutering Jagat juga menawarkan berbagai atraksi seni dan budaya, seperti pertunjukan tari wayang. Seni tradisional Bali seperti ini tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan wawasan tentang nilai-nilai budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Bali.

Sebagai warisan budaya, menjaga dan melestarikan Pura Dalem Mutering Jagat menjadi tanggung jawab bersama. Pengunjung, baik dari dalam maupun luar Bali, diharapkan dapat menghormati nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, Pura Dalem Mutering Jagat dapat terus menjadi tempat yang sakral dan berharga bagi masyarakat Bali serta menjadi daya tarik wisata yang memperkaya pengalaman para wisatawan.