Eksplorasi Keindahan dan Sejarah Keagungan Pura Payogan Agung Ketewel
Bali adalah sebuah pulau di mana alam dan agama berpadu secara harmonis. Pulau ini merupakan rumah bagi lebih dari seribu pura suci, yang tersebar di seluruh wilayahnya. Maka dari itu, Bali memiliki julukan sebagai “Pulau Seribu Pura”. Pura-pura di Bali bukan hanya bangunan bersejarah melainkan sebagai tempat pusat kehidupan rohani dan budaya untuk menciptakan keharmonisan antara umat Hindu dan alam. Salah satu permata diantara ribuan pura di bali adalah Pura Payogan Agung.
Pura Payogan Agung merupakan Pura Kahyangan Jagat yang terletak di Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Pura ini memiliki keindahan arsitektur ornamen tradisional yang menjadi saksi bisu dari sejarah panjang Bali. Berdasarkan Usana Bali dan Raja Purana Payogan Agung, Pura Payogan Agung dahulu memiliki beberapa nama seperti Kahyangan Jogan Agung, Kahyangan Puseh Jogan Agung, dan Kahyangan Payogan Siwa Agung. Sebutan “kahyangan” pada zaman dahulu merupakan sebagai pertanda bahwa Pura Payogan Agung termasuk salah satu pura kuno yang ada di Bali. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya situs purbakala seperti lingga yoni, patung Siwa Maha Dewa, dan berbagai situs lainnya.
Seperti pura pada umumnya, Pura Payogan Agung menerapkan konsep “Tri Mandala”, yaitu Nista Mandala (Jaba Sisi), Madya Mandala (Jaba Tengah), dan Utamaning Mandala (Jeroan). Pada bagian paling luar dari Pura Payogan Agung terdapat pengeling-ngeling atau peringatan dari karya agung yang ada di Desa Ketewel. Selain itu, juga terdapat wantilan asti budaya yang digunakan sebagai tempat pergelaran pentas seni ataupun berbagai kegiatan lainnya. Di samping itu, terdapat Pelinggih Marga Tiga sebagai stana dari Sang Bhuta Amangkurat, Sang Bhuta Rudira, dan Sang Bhuta Mangsa.
Pangeling-eling (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pada bagian Madya Mandala atau jaba tengah terdapat Bale Gong yang sering digunakan untuk pementasan gamelan, Bale Pemaksan, dan Bale Pecanangan. Ketika memasuki areal Utamaning Mandala atau jeroan, beberapa bangunan atau pelinggih yang dapat ditemui adalah Piyasan Tiang Sanga, Pemedan, Piyasan Paselang, Paingkupan, Gedong Agung, Padmasana, Gedong Loji, Bale Bedil, dan Pelinggih Ratu Mas Alit. Pada bagian belakang padmasana, terdapat beberapa pelinggih salah satunya adalah pelinggih petirtan yang sering digunakan oleh masyarakat untuk “nunas tirta”. Gedong Agung merupakan stana dari Ida Hyang Pasupati atau Ida Bhatara Hyang Murtining Jagat.
Pelinggih Padmasana (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Payogan Agung merupakan perwujuduan gemilang dari sejarah dan budaya bali yang kaya. Lebih dari sekedar bangunan suci, tempat ini adalah peringatan akan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam. Pura Payogan Agung memiliki kisah sejarah yang panjang. Dikisahkan bahwa ketika Jagat Bali belum stabil keberadaannya, Ida Hyang Pasupati yang berstana di Gunung Semeru membawa puncak Gunung Semeru ke Jagat Bali. Pecahan puncak Gunung Semeru yang dibawa di tangan kanan Beliau menjadi Gunung Agung. Sedangkan pecahan puncak yang dibawa di tangan kiri Beliau menjadi Gunung Batur. Kemudian, Ida Hyang Pasupati mengutus putra Beliau “Hyang Putra Jaya” berstana di Gunung Agung dan “Bhatari Dewi Danu” berstana di Gunung Batur yang selanjutnya menjadi sungsungan Jagat Bali.
Setelah lama berstana di Bali, pulau ini mengalami kehancuran yang disebabkan oleh I Kala Sunya. Melihat kehancuran Jagat Bali, Ida Hyang Putra Jaya bersama Bhatari Dewi Danu menghadap memohon kepada Ida Hyang Pasupati berstana di Gunung Semeru agar Beliau memikirkan upaya untuk menyelamatkan Jagat Bali dari kerusakan parah akibat ulah I Kala Sunya. Dalam upaya dalam menyelamatkan Jagat Bali, Ida Hyang Pasupati turun ke Alas Jerem yang sekarang menjadi Desa Ketewel. Pada hari Budha Kliwon Shinta, Ida Hyang Pasupati mengadakan paruman bersama para dewata untuk memerangi I Kala Sunya. Setelah berbagai usaha gagal, Ida Hyang Pasupati mengeluarkan pemurtian besar yang mengubah batu karang menjadi kayu bakar dan air laut menjadi minyak yang menyemburkan api dahsyat. Akibatnya, I Kala Sunya mengalami kepanasan yang luar biasa dan memohon ampun dihadapan Ida Hyang Pasupati dan berjanji tidak akan mengganggu dan akan menjaga Jagat Bali asalkan setiap sasih kesanga kepada I Kala Sunya dipersembahkan Tawur Amanca Wali Krama.
Candi Bentar (Sumber: Koleksi Pribadi)
Karena pemurtian itulah Ida Hyang Pasupati diberi gelar “Ida Hyang Murtining Jagat” oleh para dewata. Di Alas Jerem tempat Ida Hyang Pasupati mengadakan paruman bersama para dewata dibangun Parahyangan yang dinamakan sebagai “Kahyangan Puseh Payogan Agung”. Cerita ini diperlihatkan melalui pratima yang ada di Gedong Agung Pura Payogan Agung.
Kisah luar biasa di balik pura ini mengajarkan kita tentang keyakinan, pengorbanan, dan kekuatan spiritual yang mendalam. Dalam gemerlapnya Bali, Pura Payogan Agung mengilhami kita untuk merawat kelestarian alam, meneruskan warisan budaya, dan menjaga keseimbangan dalam hidup.