Pura Dalem Cedok Waru : Tapa Brata Gajah Mada di Segara
Pura Cedok Waru, yang terletak di pesisir pantai Desa Adat Kuta, Badung, Bali, adalah situs sakral dengan jejak sejarah dari era Gajah Mada yang menaklukkan Bali pada 1343 M. Dikelilingi pohon waru yang magis, pura ini bukan hanya pusat pemujaan tetapi juga simbol persatuan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan struktur kuno dan peninggalan berharga, Pura Cedok Waru menjadi tempat spiritual untuk melaksanakan berbagai upacara keagamaan umat Hindu.

Pura Cedok Waru terletak di pesisir pantai Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Bali, dan merupakan salah satu situs sakral yang menyimpan sejarah panjang serta memiliki keterkaitan erat dengan masa-masa invasi Kerajaan Majapahit ke Bali. Pada tahun 1343 Masehi, Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit berhasil menguasai Bali dalam rangka menyatukan Nusantara sesuai dengan Sumpah Palapa yang diikrarkannya. Penaklukan Bali ini menandai perluasan kekuasaan Majapahit dan menyatukan wilayah-wilayah di Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, yang juga merupakan pencapaian penting dalam sejarah Indonesia. Sebagai bentuk peringatan atas peristiwa besar ini, tempat yang kini dikenal sebagai Pura Cedok Waru pun didirikan.
Nama "Cedok Waru" sendiri berasal dari pohon waru yang tumbuh subur dan lebat di sekitar area pura. Pohon waru ini dianggap memiliki aura magis yang memberikan perlindungan dan keteduhan bagi sekitarnya. Menurut legenda lokal, saat pertama kali tiba di pantai tersebut, para prajurit Gajah Mada mengalami kehausan akibat perjalanan panjang dan melelahkan. Mereka akhirnya menemukan mata air jernih di tepi pantai, yang hingga kini masih terdapat di kawasan pura. Daun pohon waru yang lebar dan tahan air digunakan oleh para prajurit sebagai wadah untuk menampung air dari mata air tersebut. Dengan meminum air tawar itu, mereka melepas dahaga dan mendapatkan kembali kekuatan serta ketenangan batin.
Bangunan Sakral di Pura Cedok Waru ( Sumber Foto: Koleksi Pribadi )
Pura Cedok Waru memiliki makna sakral yang mendalam bagi umat Hindu Bali dan menjadi pusat berbagai upacara serta persembahyangan. Dibangun dengan konsep arsitektur Dwi Mandala, pura ini terbagi menjadi dua halaman utama, yaitu Nista Mandala (halaman luar) dan Utama Mandala (halaman dalam), di mana umat Hindu dapat mempersiapkan diri sebelum memasuki area yang lebih sakral. Dalam tata letaknya, Pura Cedok Waru mengikuti ajaran Asta Kosala-Kosali yang menjadi dasar arsitektur tradisional Bali, sehingga setiap elemen pura ditempatkan sesuai prinsip harmonisasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tempat ini sering menjadi lokasi penyelenggaraan upacara besar, seperti Tumpek Landep, di mana umat berdoa untuk ketajaman pikiran dan keselamatan, serta memberikan penghormatan pada alat-alat yang dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari. Pura Cedok Waru juga berperan sebagai ruang yang mempererat komunitas, di mana setiap individu tanpa memandang kasta atau status sosial dapat bergabung dalam persembahyangan bersama. Kesakralan pura ini diperkuat dengan adanya berbagai arca dan benda pusaka yang dirawat dengan penuh kehormatan oleh penduduk lokal, menjadikannya tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai penjaga warisan budaya dan spiritual Bali.
Jalan Menuju Pura Cedok Waru ( Sumber Foto: Koleksi Pribadi )
Jalan menuju Pura Cedok Waru mengajak setiap pengunjung untuk menikmati keindahan alam yang asri dan menakjubkan, menjadikannya perjalanan yang penuh pesona dan keajaiban. Jalur setapak ini tidak hanya berfungsi sebagai akses menuju pura, tetapi juga menjadi pengalaman tersendiri bagi siapa pun yang melaluinya. Saat melangkah di sepanjang jalan, pengunjung akan dikelilingi oleh deretan pepohonan kelapa yang menjulang tinggi, menciptakan nuansa tropis yang khas dan memancarkan energi alam yang menenangkan. Di sela-sela pohon kelapa, terdapat berbagai jenis tumbuhan tropis lainnya.
Telaga Suci didalam Pura Cedok Waru ( Sumber Foto: Koleksi Pribadi )
Di samping itu, daya tarik utama Pura Cedok Waru terletak pada sebuah sumur atau telaga yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Telaga ini unik karena, meskipun berada sangat dekat dengan garis pantai, airnya tetap tawar dan jernih. Menurut cerita setempat, sumur ini pernah digunakan oleh Gajah Mada dan prajuritnya untuk mengisi kembali tenaga setelah perjalanan jauh, menggunakan daun pohon waru sebagai wadah air. Hingga hari ini, sumur ini dianggap suci dan sering dimanfaatkan dalam berbagai upacara sebagai sumber air suci. Keberadaan sumur ini menambah daya tarik magis Pura Cedok Waru dan mengukuhkan posisinya sebagai tempat penting dalam tradisi dan spiritualitas Hindu Bali.
Pura ini menyimpan kisah penyatuan Nusantara, khususnya dalam upaya Gajah Mada menundukkan Bali. Dahulu, Gajah Mada bersama para arya dan pasukannya berlabuh di Tegal Wera atau lahan yang dipenuhi pohon waru. Gajah Mada beristirahat dan melihat pasukannya kehausan bahkan sakit akibat kelelahan. Di Tegal Waru itulah Gajah Mada melakukan tapa brata hingga menemukan telaga air tawar yang ada di tengah hutan. Gajah Mada kemudian menggunakan daun waru sebagai cedok atau gayung untuk mengambil air dari mata air. Setelah meminum air tersebut, seketika pasukannya kembali bugar dan sehat.