Mreteka Merana: Ritual Pembersihan Aspek Niskala Desa Adat Bedha
Mreteka Merana, tradisi unik di Desa Adat Bedha, Tabanan, Bali, adalah ritual yang menyerupai upacara ngaben, namun ditujukan untuk tikus. Lebih dari sekadar pembasmian hama, ritual ini mencerminkan filosofi keseimbangan alam dan harmoni dengan kekuatan tak terlihat. Masyarakat Bali percaya bahwa tikus, sebagai bagian dari ekosistem, harus dihormati agar hasil panen tetap terjaga. Mengapa tikus dianggap begitu penting dalam ritual ini.
Ngaben dikenal sebagai upacara kremasi yang khusus bagi manusia, bertujuan untuk melepaskan roh seseorang ke alam baka agar dapat mencapai reinkarnasi yang lebih baik. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa ada tradisi unik yang menyerupai prosesi ngaben ini tetapi diperuntukkan bagi hewan, khususnya tikus, yang disebut sebagai Mreteka Merana atau ngaben tikus. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan upaya masyarakat dalam mengendalikan hama yang merusak sawah dan ladang, tetapi juga sarat akan makna filosofis yang mendalam. Dilaksanakan terutama di Desa Adat Bedha, Tabanan, Bali, Mreteka Merana merupakan bentuk ritual yang melibatkan konsep harmoni antara manusia, alam, dan makhluk gaib, dengan tujuan menjaga keberlangsungan hidup dan kesuburan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat setempat.
Mreteka Merana (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Di Bali, tikus-tikus yang merusak sawah dipandang sebagai simbol gangguan alam atau ketidakseimbangan yang mengancam harmoni kehidupan. Bagi masyarakat agraris di Desa Adat Bedha, tikus adalah salah satu musuh alami dalam dunia pertanian. Sebagai bentuk kearifan lokal, Mreteka Merana dianggap sebagai ritual Bhuta Yadnya, yaitu persembahan kepada Bhuta Kala atau kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap memiliki pengaruh besar terhadap keseimbangan ekosistem dan pertanian. Selain itu, Mreteka Merana dilakukan dalam rangkaian Nangluk Merana sebuah ritual tolak bala yang secara spesifik bertujuan untuk menyingkirkan gangguan pada tanaman padi, baik yang tampak maupun yang tidak terlihat oleh mata. Nama merana dalam bahasa Bali sendiri memiliki arti kesengsaraan atau musibah yang membawa penyakit atau ancaman pada hasil bumi.
Ritual ini berawal sekitar tahun 1965, ketika masyarakat Desa Adat Bedha mulai mengalami masalah peningkatan jumlah tikus yang menyerang sawah-sawah mereka. Berbeda dengan metode pembasmian hama secara konvensional, dalam Mreteka Merana, tikus-tikus yang tertangkap akan diperlakukan secara khusus dalam upacara yang disimbolkan dengan nganyud atau pembebasan agar roh mereka kembali dengan damai ke alam dan tidak mengganggu hasil panen di masa mendatang. Dalam kepercayaan masyarakat, dengan cara ini diharapkan tikus-tikus tersebut akan reinkarnasi dalam bentuk yang lebih baik atau berguna dalam ekosistem. Prosesi ini mengandung kepercayaan bahwa siklus kehidupan harus dijaga keseimbangannya dan bahwa setiap makhluk hidup, termasuk tikus, memiliki tempat dan peran dalam jagat raya.
Mreteka Merana termasuk dalam upacara Bhuta Yadnya, yang berarti pengorbanan untuk Bhuta Kala, yaitu kekuatan-kekuatan gaib atau roh-roh yang diyakini sebagai pelindung maupun pembawa kehancuran bagi kehidupan manusia jika mereka tidak diperlakukan dengan hormat. Dalam ritual ini, krama subak atau kelompok petani sawah bersama-sama menangkap tikus yang menjadi ancaman bagi hasil panen mereka. Tikus yang tertangkap kemudian diperlakukan dengan penuh hormat, dibawa ke suatu tempat yang disimbolkan seperti bade, yaitu replika tempat ngaben pada manusia, yang menjadi lambang penghormatan terhadap keberadaan mereka sebagai bagian dari alam.
Ritual ini adalah bagian dari Tri Hita Karana falsafah hidup yang mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan hubungan dengan Tuhan Parhyangan, dengan sesama manusia Pawongan, dan dengan alam Palemahan. Dengan menjaga keseimbangan ini, masyarakat percaya bahwa harmoni kosmologis akan tercapai, dan hasil panen mereka akan berlimpah tanpa gangguan yang merugikan. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Bali, tikus-tikus ini diasosiasikan dengan Dewa Ganesa, dewa yang dipercaya sebagai penghalau rintangan sekaligus pelindung umat manusia. Oleh karena itu, ritual ini juga dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk yang dianggap sebagai manifestasi dewa.
Prosesi Mreteka Merana juga menjadi kesempatan bagi masyarakat setempat untuk berkumpul, bergotong-royong, dan memperkuat tali persaudaraan. Bersama-sama, mereka menyiapkan segala keperluan upacara, mulai dari menangkap tikus di sawah hingga membuat perlengkapan sederhana yang digunakan dalam upacara ini. Ini bukan hanya cara untuk membersihkan lahan dari hama, tetapi juga sebagai sarana mempererat kebersamaan dan solidaritas antarwarga. Krama subak, atau perkumpulan petani setempat, turut berperan aktif dalam ritual ini dengan bekerja sama untuk menjaga lahan pertanian tetap produktif dan aman dari gangguan tikus tanpa merusak ekosistem.
Selain membawa manfaat sosial, Mreteka Merana juga memberikan dampak positif dari segi ekologis. Dibandingkan dengan penggunaan pestisida yang dapat membahayakan lingkungan, pendekatan spiritual melalui upacara ini memberikan cara yang lebih ramah lingkungan. Masyarakat Bali percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki fungsi dalam rantai ekosistem, sehingga membunuh tikus secara berlebihan hanya akan mengganggu keseimbangan alam. Dengan cara ini, mereka menghargai kehidupan tikus sebagai bagian dari alam, sambil tetap menjaga keseimbangan agar hasil panen tidak terganggu.
Mreteka Merana (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Di tengah modernisasi dan praktik pertanian yang mengandalkan solusi kimiawi, Mreteka Merana menjadi contoh kearifan lokal yang memperlihatkan bahwa manusia dan alam dapat hidup dalam harmoni melalui pendekatan tradisional yang penuh makna. Tradisi ini memberi teladan bagi kita untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dengan cara yang alami, bukan hanya untuk mendapatkan hasil yang baik tetapi juga untuk menjaga kelestarian alam bagi generasi mendatang.
Keunikan dari Mreteka Merana bahkan menarik perhatian para pejabat daerah dan akademisi. Bupati Tabanan, Dr. I Komang Gede Sanjaya, SE, MM, pernah menghadiri upacara ini sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian tradisi dan kearifan lokal yang menjadi identitas Tabanan sebagai lumbung padi Bali. Menurut beliau, Mreteka Merana bukan hanya tradisi lokal, melainkan juga simbol penghormatan terhadap petani sebagai penjaga bumi yang menghasilkan pangan bagi masyarakat luas. Dengan tetap menjalankan tradisi ini, masyarakat Tabanan menunjukkan dedikasi mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan keberlanjutan pertanian tanpa merusak lingkungan.
Mreteka Merana adalah bukti nyata bahwa kearifan lokal yang telah berusia puluhan tahun masih relevan hingga kini. Tradisi ini mencerminkan bagaimana masyarakat Bali tidak hanya melihat tikus sebagai hama, tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki peran penting dalam ekosistem. Dengan pendekatan yang penuh hormat, mereka mengajarkan bahwa keseimbangan alam dapat tercapai melalui sikap menghormati setiap makhluk hidup, besar maupun kecil. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai, tetapi juga memberikan solusi ekologis yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan modernisasi.
Melalui Mreteka Merana, masyarakat Bali mengingatkan kita bahwa dalam setiap hubungan antara manusia dan alam, terdapat tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bumi tempat kita berpijak. Tradisi ini adalah manifestasi dari filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung tinggi harmonisasi kosmologis, sekaligus menjadi pesan untuk menjaga keseimbangan alam demi keberlangsungan kehidupan di masa depan.