Jagahyang: Memelihara Keseimbangan dan Kesucian Spiritual di Desa Adat Tohjiwa
Desa Adat Tohjiwa di Bali menunjukkan kekayaan sejarah dan keagamaan melalui tradisi Jagahyang pada Upacara Tawur Kesanga. Ritual ini, yang melibatkan sembelihan sapi dan mecaru, bertujuan menciptakan harmoni menjelang Hari Raya Nyepi dengan menetralisir unsur negatif. Desa ini menolak tradisi ogoh-ogoh, menggantinya dengan upacara meHyang-Hyang yang dianggap lebih utama. "Jagahyang" bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol identitas, warisan budaya, dan kearifan lokal, mencerminkan hubungan dalam antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.

Pulau Bali, yang dikenal dengan keindahan alamnya dan kekayaan budayanya, menyimpan banyak warisan sejarah yang menarik. Salah satu tempat yang menggambarkan kekayaan sejarah dan keagamaan Bali adalah Desa Adat Tohjiwa, yang memiliki tradisi Jagahyang. Jagahyang adalah tradisi dari masyarakat desa adat tohjiwa yang dilakukan pada hari Upacara Tawur Kesanga. Tradisi ini digunakan untuk menetralisir hal hal negatif dan menghadirkan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widi agar selalu diberikan perlindungan dan keselamatan bagi seluruh umatnya dan alam ciptaanNya. Upacara Tawur Kesanga yang bertepatan dengan tilem pada sasih kesanga merupakan ritual dan persembahyangan sehari sebelum Nyepi. Adapun tujuan upacara Tawur Kesanga untuk menetralkan unsur negatif Bhuta sehingga alam semesta menjadi harmoni menjelang Hari Raya Nyepi.
Proses tawur kesanga yang diawali dengan melakukan proses mengupacarai seekor sapi jantan di depan Pura Puseh, dengan percikan tirta dari Pura Puseh yang dilakukan oleh Jro Mangku Pura Puseh, sapi kemudian di giring oleh krama desa dari mulai wilayah utara masuk Desa Adat Tohjiwa sambil menebas bagian paha sapi, dengan parang atau blakas sehingga darah dari luka tebasan ini jatuh berceceran sepanjang jalan desa dari mulai masuk wilayah desa ke selatan, sampai di perempatan agung (bencingah) sapi digiring mengitari Pohon beringin di bencingah sebanyak 3 putaran, selanjut sapi digiring ke selatan sampai di tulak tanggul atau Tanggun Desa, disini sapi selanjutnya di sembelih. Ceceran darah sapi tadi di percaya berpetuah melindungi desa dari hal hal negatif. Hasil daging sapi yang disembelih dan dipilah untuk kebutuhan bahan mecaru atau tawur dan sisa daging yang tidak digunakan untuk mecaru dibagikan kepada krama Desa Adat Tohjiwa.
Pelaksanaan upacara tawur pun dilakukan oleh seluruh Krama Desa Adat Tohjiwa di Tanggun Desa dengan Upacara Mecaru dari kulit, kepala, kaki dan olahan dading sapi tersebut lengkap dengan upakara lainnya yang di puput oleh Pandita. Selesai upacara tawur di Tanggung desa, krama desa adat kembali ke rumah masing-masing melanjutkan upacara mesegeh dirumah masing- masing dengan sarana olahan dari daging sapi desa, serta nasi tawur dari Upcara Tawur di Tanggun desa, sementara Prajuru Desa Adat dan Jro Mangku Kahyangan Tiga, IroMangku Pura Desa, dan Jro Mangku Catur Lawa mempersiapakan dan melanjutkan mecaru 1 ekor ayam Berumbun di sembilan tempat di wewidangan desa adat. Proses Mecaru dilaksanakan secara bersamaan oleh Jro Mangku sesuai dengan pembagian tugasnya dibantu oleh prajuru desa adat, Klian tempek dan Klian Banjar adat masing-masing.
Tradisi Jagahyang (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Setelah Upcara mecaru dilakukan di tempat-tempat tersebut, selanjutnya tiba acara yang terakhir adalah Nedunang Ida Bahtara untuk Upacara Mehyang-Hyang, tepat waktu Sandikala atau antara Pukul 18.00-19.00 Upacara mellyang-Hyang sudah dimulai. Seluruh krama desa mengikuti upacara tersebut. Adapun rangkaian Upacara meHyang-Hyang di mulai dari nedunang Pralingga atau Pertima Ida Bhatara Ratu Gede, Ida Bhatara Ratu Ayu dan Ida Bhatara Durga dari Penyimpen Ida, dengan menghaturkan Banten Penuur dan Pemendak. Selanjutnya Pralingga atau Pertima Ida dipunduk krama desa ngiring meHyag-Hyang, Upacara meHyang-Hyang ini berlangsung hening dan sepi, tanpa diiringi tambur, gamelan atau gong dan suara genta, sampai dengan malam hari, seluruh penerangan atau lampu baik dijalan maupun dirumah warga tidak boleh dinyalakan atau dipadamkan.
Krama Desa mengikuti perjalanan atau Ngiring meHyang-Hyang dimulai dari Penyipanan Ida menuju ke Penepi Kelod Wewidangan desa atau Gelar, selanjutnya menuju Penepi Kauh Wewidangan Desa atau Pura Penataran Temaga, dilanjutkan menuju Penepi Kaja atau Lebuh pintu masuk wewidangan Desa Adat Tohjiwa, kembali menuju ke arah selatan melintasi penepi kangin Desa Adat Tohjiwa menuju ke Setra untuk sejenak berhenti atau mesandekan yaitu Upacara Napak Pertiwi Ida Bhatara di atas Pemuun Setra, terakhir iring- iringan meHyang-Hyang kembali ke Penyimpenan Ida Bhatara Dalem dan dilaksanakan Upacara Nyineb. Setiap tempat yang disebutkan diatas iringan-iringan berhenti untuk menghaturkan Banten Pemendak. Prosesi Upacara meHyang-Hyang ini berakhir sekitar Pukul 23.00
Di desa Adat Tohjiwa juga tidak mengadakan tradisi ogoh-ogoh dikarenakan karena sudah melaksanankan Upacara meHyang-Hyang yang menggantikan tradisi ogoh-ogoh. Dan upacara meHyang-Hyang ini sudah dilakukan krama desa sudah sejak lama sebelum adanya tradisi ogoh-ogoh. Disamping itu, juga tradisi ogoh-ogoh tidak boleh dilaksanakan karena ida bhatara tidak boleh disamakan dan apabila didapati hal tersebut konon katanya masyarakat desa adat tohjiwa akan dilanda oleh musibah dan tak jarang mengakibatkan kematian. "Jagahyang" di Desa Adat Tohjiwa bukan hanya sebuah ritual keagamaan, tetapi juga pencerminan dari identitas, warisan budaya, dan kearifan lokal yang dipersembahkan dalam rangkaian upacara. Masyarakat Tohjiwa dengan teguh memegang tradisi ini, meyakini bahwa "Jagahyang" adalah suatu persembahan spiritual yang mendatangkan keberkahan, keseimbangan, dan kesucian bagi seluruh komunitas mereka. Sebuah warisan yang menjelaskan hubungan yang dalam antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.