Beji Pura Taman Langse: Mata Air Desa Gerih yang Tidak Lekang Oleh Waktu
Beji Pura Taman Langse, sebuah mata air suci di Desa Gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, mengandung sejarah panjang, yang konon katanya telah didirikan jauh sebelum pura-pura lainnya. Masyarakat setempat melakukan persembahyangan kepada Ida Bhatari Gangga di pura ini. Beji Pura Taman Langse juga terkait dengan Pura Taman Ayun dan menjadi tempat penting dalam memohon keturunan, perayaan Melasti, dan piodalan tahunan, menggambarkan keberlanjutan budaya dan spiritualitas masyarakat Desa Adat Gerih yang tak terputus oleh waktu di Beji Pura Taman Langse.

Beji Pura Taman Langse merupakan salah satu sumber mata air yang terletak di Desa Gerih, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Beji Pura Taman Langse telah ada di Desa Gerih sejak sangat lama dan telah membantu kehidupan masyarakat selama bertahun-tahun lamanya. Namun, dikarenakan telah dibangun pada masa yang sangat lampau, tidak ada dokumen maupun arsip yang mencatat mengenai sejarah dari Beji Pura Taman Langse, sehingga sejarah pembangunan dari Beji Pura Taman Langse ini tidak banyak yang mengetahui. Konon Beji Pura Taman Langse merupakan pura yang didirikan jauh sebelum pembangunan Pura Kahyangan Tiga dari Desa Gerih sebagai sumber mata air sucinya, akan tetapi hal ini tidak dapat dipastikan. Ada pun sumber lain yang menerangkan bahwa pembangunan Beji Pura Taman Langse diketahui dilaksanakan berbarengan dengan Pura Kahyangan Tiga yang digunakan untuk tempat pensucian pralingga atau petapakan.
Asal nama dari Beji Pura Taman Langse adalah jumlah dari pancoran yang ada di Beji Pura Taman Langse, yakni sembilan. Angka sembilan sendiri bila diterjemahkan ke bahasa Bali adalah Sia, sehingga berangsur-angsur dipanggil sebagai Beji Pura Taman Lansia. Dalam perkembangannya, penggunaan nama Beji Pura Taman Lansia mulai berubah sejalan dengan pergeseran linguistik dan kecenderungan sehari-hari. Masyarakat mulai memanggilnya dengan sebutan Beji Pura Taman Langse, yang mencerminkan perubahan seiring waktu dan tata bahasa yang berlangsung secara alamiah.
Pelinggih Lanang Wadu (Sumber: Koleksi Pribadi)
Masyarakat di Desa Adat Gerih melakukan persembahyangan kepada Ida Bhatari Gangga yang berstana di Beji Pura Taman Langse. Beji Pura Taman Langse ini dibangun menghadap ke selatan. Adapun beberapa pelinggih di Pura Beji Taman Langse yakni Pelinggih Lanang Wadu, yang biasanya digunakan untuk berdoa oleh pasangan suami istri untuk memohon keturunan. Selain itu, terdapat Candi Petak yang umum ditemukan di beji atau sumber mata air yang ada di Bali. Penegen yang ditempatkan di kedua sisi bernama Widiadara dan Widiadari. Ada dua lembu yang ditempatkan di sisi kolam, masing-masing bernama Lembu Lanang dan Lembu Istri, namun tidak diketahui Bhatara apa yang berstana di lembu tersebut. Pada Gedong Sari berstana Bhatara Dewi Danu. Macan-macan yang ditempatkan di luar pura bernama Macan Lanang di selatan dan Macan Istri di utara.
Pelinggih Macan-Macan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Mereka yang meminta air di Beji Pura Taman Langse biasanya menggunakan air tersebut sebagai sumber tirta di merajan dan pura-pura yang tidak memiliki sumber mata airnya sendiri. Penting untuk dicatat bahwa tidak semua pura di sekitar Desa Gerih meminta air di Beji Pura Taman Langse. Beberapa pura yang telah memiliki taman sumber mata air sendiri biasanya tidak menggunakan air dari tempat suci ini. Hal ini menunjukkan adanya pemahaman dan penghargaan terhadap sumber daya alam yang tersedia di sekitar pura masing-masing. Selain menjadi tempat sumber mata air suci, Beji Pura Taman Langse juga memiliki peran penting dalam penyelenggaraan upacara keagamaan. Masyarakat Desa Gerih melaksanakan piodalan di Beji Pura Taman Langse setiap tahunnya, tepat pada Purnama Kapat. Piodalan adalah sebuah upacara keagamaan yang dilaksanakan untuk menghormati dan memuja roh atau dewa yang dipercayai bernaung di dalam pura tersebut. Pada momen ini, masyarakat berkumpul untuk beribadah, berdoa, dan memberikan persembahan sebagai wujud rasa syukur dan bhakti kepada Ida Bhatari Gangga yang bersemayam di Beji Pura Taman Langse tersebut.
Perayaan Melasti oleh masyarakat Desa Adat Gerih pun cukup menarik, di mana mereka juga melakukan upacara Melasti di Beji Pura Taman Langse setiap setahun sekali pada Tawur Kesanga atau pada saat menjelang Nyepi. Masyarakat Desa Adat Gerih sendiri akan melaksanakan upacara Melasti ke pantai setiap tiga tahun sekali, sedangkan untuk setahun sekali akan dilaksanakan di Beji Pura Taman Langse. Sejatinya, tidak ada yang membedakannya, dan tidak mengurangi makna dari Melasti tersebut. Hal ini dikarenakan inti dari pelaksanaan Melasti sendiri adalah untuk mensucikan diri dan umumnya pelaksanaannya harus dilaksanakan di sumber mata air, maka pelaksanaannya di pantai ataupun di Beji Pura Taman Langse ini tidak ada bedanya.
Di tenggara Beji Pura Taman Langse, terdapat Pelinggih Bhatara Wisnu dan Pancor Pemanahan. Pelinggih Bhatara Wisnu masih berada pada satu Beji Pura Taman Langse, namun khusus untuk Pancor Pemanahan dikelola oleh Mangku yang berbeda. Pada hari raya Melasti, masyarakat akan berdoa dan meminta air suci di Pelinggih Bhatara Wisnu. Pancoran pemanahan sendiri digunakan untuk nunas tirta pemanahan yang biasanya digunakan saat upacara ngaben. Ngaben sendiri merupakan upacara pembakaran jenazah yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk mengembalikan leluhur ke tempat asalnya, dan tirta pemanahan yakni air hening yang digunakan oleh Ida Pedanda Sang Muput pada saat pelaksanaan ngaben tersebut.
Pancoran Pelinggih Bhatara Wisnu (Kiri) dan Pancoran Pemanahan (Kanan) (Sumber: Koleksi Pribadi)
Beji Pura Taman Langse pun ada kaitannya dengan Pura Taman Ayun. Menurut sumber dari Ida Bagus Oma yang berasal dari Desa Gulingan Mengwi, dikatakan bahwa Telaga di Pura Taman Ayun merupakan hasil jiplakan atau tiruan dari Beji Pura Taman Langse. Dapat disimak bahwa Beji Pura Taman Langse nampak seperti versi kecil dari Pura Taman Ayun, namun sejatinya Beji Pura Taman Langse ini sudah berdiri jauh sebelum Pura Taman Ayun. Fakta tersebut menunjukkan eksistensi dari Beji Pura Taman Langse ini, bahkan jauh sebelum dibuatnya Pura Taman Ayun tersebut.
Pancoran Luar (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pancoran yang terletak di luar Beji Pura Taman Langse menjadi sebuah sumber kehidupan yang vital bagi masyarakat Desa Adat Gerih. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dengan penuh rasa hormat memanfaatkan air dari pancoran tersebut untuk berbagai keperluan, menciptakan hubungan yang erat antara manusia dan alam. Kehadiran pancoran ini tidak hanya memberikan manfaat praktis, tetapi juga mengakar dalam nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Desa Gerih. Pancoran luar tersebut menjadi tempat yang digunakan untuk mandi, meminta air minum, atau bahkan untuk mencuci baju dan perabotan rumah tangga. Proses ini melibatkan pemisahan antara penggunaan air oleh perempuan dan laki-laki, menunjukkan adanya pengaturan tata tertib yang dihormati oleh masyarakat setempat.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam keseharian, ketersediaan air di dalam Beji Pura Taman Langse dapat dipengaruhi oleh kondisi alam, seperti cuaca dan curah hujan. Pada saat pancoran luar mengalir deras, tidak jarang air di dalam telaga suci Beji Pura Taman Langse menjadi suruti. Selain digunakan untuk keperluan sehari-hari, air dari pancoran luar juga dapat menjadi alternatif yang sah untuk keperluan tirta, terutama pada saat air di dalam Beji Pura Taman Langse surut.
Kepercayaan dan norma-norma keagamaan yang berkaitan dengan Beji Pura Taman Langse menggambarkan tingkat kebersihan dan kesucian yang dianggap sangat penting dalam konteks spiritual. Salah satu kepercayaan yang beredar di masyarakat setempat adalah bahwa pancoran yang terletak di luar Beji Pura Taman Langse dapat terputusnya airnya jika pengunjung memasuki area tersebut dalam kondisi kotor, terutama bagi mereka yang sedang mengalami menstruasi. Selain itu, masyarakat juga memegang keyakinan bahwa ibu hamil sebaiknya tidak masuk ke dalam Beji Pura Taman Langse. Meskipun tidak dapat dibuktikan secara empiris, keyakinan ini sering kali diterima sebagai bagian dari norma-norma keagamaan yang dijunjung tinggi. Meskipun demikian, kebenaran dari keyakinan ini dapat bersifat subyektif dan tergantung pada interpretasi individu atau kelompok.