Peninggalan Sejarah Hindu Tantrayana di Pura Kebo Edan

Pulau Dewata merupakan pulau seribu pura. Keberadaan pura di Bali tentunya tidak luput dari sejarah yang tersimpan di setiap pura. Adapun sejarah pura di pulau Bali bukan hanya berasal dari dalam pulau Bali saja, seperti contohnya Pura Kebo Edan yang memiliki sejarah erat kaitannya dengan Kerajaan Singosari, disaat pemerintahan Raja Kertanegara. Perpaduan sejarah ini tentunya meninggalkan benda bersejarah dari kedua daerah yang sarat akan budaya, kepercayaan, dan sebagai saksi bisu terjadinya peristiwa yang bersejarah pada perkembangan Hindu Tantrayana di Bali.

Dec 17, 2023 - 06:14
Dec 17, 2023 - 09:53
Peninggalan Sejarah Hindu Tantrayana di Pura Kebo Edan
Pura Kebo Edan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pulau Dewata adalah tempat mayoritas umat beragama Hindu tinggal dan terkenal akan pulau seribu pura. Tempat suci agama Hindu yang disebut pura berfungsi untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa. Bali yang lebih dikenal sebagai daerah yang memiliki masyarakat yang homogen, tapi sebenarnya masyarakat di Bali tidaklah homogen tetapi heterogen. Hal ini ditandai dengan kedatangan para pendatang dari berbagai latar belakang, etnik, budaya, agama yang berbeda.

 

Kemajemukan kebudayaan di Pulau Dewata yakni bisa kita lihat dari tempat suci dengan dibangun sebuah pelinggih atau adanya sebuah benda arkeologi dengan konsep kepercayaan di luar kepercayaan Hindu di Bali yang disimpan di tempat suci. Pura Kebo Edan yang berletak pada daerah Pejeng, Gianyar merupakan salah satu pura yang memiliki benda bersejarah dalam perkembangan Kerajaan Hindu di Indonesia.

 

Pura Kebo Edan merupakan tempat suci yang mempunyai peninggalan arkeologi dengan ciri khas tersendiri. Keunikan dari pura ini adalah memiliki arca Siwa Bhairawa yang artinya di Bali pada saat itu berkembang ajaran Hindu Tantrayana.

 

Pelinggih Arca Pura Kebo Edan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pada zaman Kerajaan Singosari, Raja Kertanegara mendirikan Pura Kebo Edan. Pada saat itu Raja Kertanegara sangat dikenal politik luar negerinya, dimana pada masa kepemimpinannya selalu berjuang melakukan invasi kekuasannya baik ke arah barat sampai daerah Melayu di Sumatera maupun ke arah timur termasuk Bali. Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa di tahun 1284 Raja Kertanegara menyerang Bali, dan Kerajaan Bali kalah dengan Rajanya menjadi tawanan. Hal itu disebutkan dalam kitab Negarakertagama bahwa Raja Kertanegara mengirim utusan untuk mengalahkan Bali.

 

Raja Kertanegara merupakan raja yang mengikuti paham Tantrayana dengan memandang dirinya sebagai Bhairawa. Aliran Bhairawa terdiri dari tiga macam. Tiga aliran tersebut yaitu Bhairawa Kala Cakra yaitu perpaduan dari ajaran Bhuda dengan aliran Tantrayana. Lalu Bhairawa Heruka yaitu ajaran yang  berasal dari tradisi kepercayaan masyarakat Indonesia bercampur dengan aliran Kala Cakra, ajaran ini terdapat di Sumatra Barat. Ketiga merupakan Bhairawa Bima Sakti berada di Bali, aliran ini adalah campuran dari ajaran Bhairawa dengan ajaran Siwa. Tetapi ajaran ini dikatakan mempunyai tendensi politik, memiliki tujuan untuk memperoleh kharisma besar dalam memimpin kerajaan dan menjaga keamanan Kerajaan.

 

Ada dua prasasti yang berangka tahun caka 1218 dan 1222 yang tidak menyebutkan nama raja tetapi hanya menyebutkan nama “raja patih”, yaitu yang dimaksud yaitu Kebo Parud. Selain itu nama-nama dan pangkat mantra lainnya juga brcorak Jawa, seperti mentri-mentri kerajaan Singosari. Sebagai seorang patih raja, beliau mengeluarkan sebuah prasasti, prasasti pertama dari Patih Kebo Parud yakni membahas permasalahan desa Kedisan yang berangka tahun Caka 1218. Dalam prasasti tersebut Kebo Parud dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I mekakosir Kebo Parud”. Berdasarkan isi prasasti dan nama patih itu ternyata sebutan seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur. Dalam kerajaan Singosari nama Patih seperti itu banyak dijumpai sebagai patih Raja Kertanegara seperti Patih Kebo Arema dan Patih Kebo Tengah. Ini menjelaskan bahwa Kebo Parud ditugaskan sebagai Gubernur atau utusan dari Kerajaan Singosari di Bali. Sama halnya dengan Kertanegara, Kebo Parud juga menganut aliran Tantrayana, hal tersebut karena dalam prasastiprasasti yang ditinggalkan oleh Kebo Parud tidak terdapat sapatha yang ditunjukan kepada Maharesi Agastya sebagaimana sering ditemukan dalam prasasti-prasasti lainnya yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan terlebih dahulu.

 

Arca Pura Kebo Edan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Diberikan nama Siwa Bhairawa oleh warga sekitar pura Kebo Edan mengartikan tentang arca tersebut adalah  sebuah arca yang dibuat oleh para penganut aliran Tantrayana yang dibuat untuk kepentingan pemujaan. Bisa dilihat dari bentuk dan gaya arca Siwa Bhairawa ataupun arca-arca yang terdapat di Pura Kebo Edan memiliki kemiripan dengan arca lainnya yang beraliran Tantrayana, seperti arca Heruka yang berada di Biaro Bahal II Padang Lawas, Sumatra Tengah, arca Budha Bhairawa yang adalah menggambaran dari Raja Adityawarman dari Kerajaan Melayu, Sumatra dan arca Bhairawa 6 dari candi Singosari Jawa Timur. Arca-arca tersebut adalah arca peninggalan dari ajaran Tantrayana yang merupakan ajaran yang dianut oleh Kertanegara kemudian disebarluaskan ke daerah yang dikuasainya termasuk Bali dan Sumatra.

 

Berdasarkan catatan pada kitab Negarakertagama bahwa Kerajaan Singosari pernah mengalahkan Bali  pada tahun 1284 pada masa pemerintahan Kertanegara, dan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Kebo Parud yang berangka tahun caka 1218 dan 1222. Selain itu gaya dan atribut peninggalan yang ada di Pura Kebo Edan yang beruba arca Siwa Bhairawa yang hampir mirip dengan peninggalan-peninggalan lainnya yang bercorak aliran Tantrayana yang berlokasi diluar Bali. Pura Kebo Edan dibuat sekitar akhir abad ke-13 oleh Kebo Parud sebagai Patih dari Kerajaan Singosari yang bertugas di Bali, yang bertujuan untuk melakukan upacara kepercayaannya yaitu Tantrayana. Jadi Pura Kebo Edan merupakan tempat untuk melaksanakan upacara kepercayaan aliran Tantrayana yang dibuat pada akhir abad ke-13.

 

Arca Siwa Bhairawa ini berukuran tinggi 362 cm, memiliki lebar 177 cm, dan tebal 87 cm. Arca ini berjumlah 1 buah dan terbuat dari batu padas, yang berwarna abu-abu saat ini kondisinya tidak sempurna seperti saat dahulu. Arca Siwa Bhairawa disemayamkan di pelinggih Bhatara Siwa Bhearawa. Arca Siwa Bhairawa merupakan arca yang menggambarkan dari Dewa Siwa yang dalam keadaan marah dan menyeramkan. Arca ini digambarkan dengan rambut yang ikal dan bergelombang, yang memiliki arti memperlihatkan sifat keraksasaan. Melalui ikatan pita yang ada dibelakang kepalanya dan dengan memakai kedok muka, pandangan Stutterheim kedok tersebut berisi gambar-gambar yang melambangkan salah satu dari lambang yang bermacam-macam dari tanda kemujuran Sri yang menganugrahkan segala macam kesejahteraan dan kebahagiaan.

 

Arca Siwa Bhairawa (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Arca Siwa Bhairawa mempunyai postur tubuh yang tegap dan besar berdiri di atas mayat manusia dengan kepala murung dan mata terbuka. Kaki dari arca ini menunjukkan sikap agem yakni salah satu sikap dalam sebuah tarian. Pergelangan kaki dan tangannya dililit ular, dan kemaluannya mencuat ke arah kiri yang mengakibatkan kakinya tersingkap. Berdasarkan kemaluan dari arca Siwa Bhairawa yang mengarah ke kiri, ini memungkinkan aliran Tantrayana yang dianut pada masa itu merupakan Tantrayana aliran kiri (niwerti).

 

Aliran Tantrayana kiri mempunyai kepercayaan untuk mencapai moksa setiap orang harus berusaha sebanyak-banyaknya melakukan Pancatatwa atau lebih dikenal dengan 5 Ma yakni matsya (makan ikan), mamsa (makan daging), mudra (makan padi-padian), mada (minum munuman keras), dan maithuna (melakukan hubungan suami istri).