Keajaiban Spiritual di Pura Ceng Ceng Kembar: Misteri Orang Moksa di Bali
Pura Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar di Bali memiliki sejarah unik yang dimulai dari mimpi seorang petani garam, hampir terlupakan karena gejolak politik, dan dibangun kembali oleh pasangan suami-istri yang mencari kesembuhan. Pura ini juga memiliki legenda tentang Moksa, sebuah sumur suci dengan air tawar untuk penglukatan, dan keunikan seperti larangan menggunakan daging babi selama upacara. Setelah penelitian arkeologi, pura ini mendapatkan status resmi, dan naskah lontar penting, "Batur Kalawasan Petak," menjadi bagian dari sejarahnya.
Pura Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar yang berlokasi di Desa Adat Pangyangan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, menyimpan cerita sejarah yang cukup unik. Pura Suci Ceng Ceng Kembar sendiri terdiri dari kata Ceng Ceng yang artinya Pemerintah atau Pemimpin dan Kembar yang artinya dua dengan ciri khas memiliki dua rong di beberapa pelinggih.
Sejarah pura ini diawali dari keberadaan Pan Lodri, seorang petani garam di kawasan Desa Pangyangan, kisaran tahun 1947. Beliau memperoleh petunjuk melalui mimpi untuk berhenti bekerja menjadi petani garam dan beralih menjadi pedagang. Dalam mimpi itu, beliau di beri petunjuk bahwa modal untuk membuka usaha sudah disediakan dengan cara menggali gundukan pasir yang ada disana. Berdasarkan petunjuk tersebut, ditemukan sebilah keris dan selanjutnya berupa pis bolong atau uang kepeng. Perintah selanjutnya dari petunjuk gaib tersebut adalah melanjutkan atau memugar pemujaan yang ada disana, yang dahulunya berupa tumpukan batu. Bangunan yang dibangun berupa Meru, Pelinggih Gedong, Pelinggih Betari Ulun Suwi, dan Manik Galih.
Pujawali di pura ini jatuh pada Anggara Kasih Dukut, dimana penduduk desa banyak yang datang ke pura ini untuk menghaturkan sarin tahun atau hasil bumi. Hal ini tidak berlangsung lama karena gejolak politik dimana pada saat itu banyak penyungsung pura belum mengerti tentang demokrasi, lama-lama Pura tersebut mulai dilupakan. Ketika Jero Mangku Pan Lodri meninggal, akhirnya hanya dilanjutkan oleh istri dan keluarganya yang ngaturang ayah-ayah di Pura. Pada saat itu keadaan ekonomi mereka dalam keadaan sulit sehingga banyak benda benda peninggalan yang tidak terurus dan terbengkalai sehingga tidak diketahui lagi keberadaanya hingga kini.
Pada tanggal 4 April 2004 sepasang suami istri I Wayan Waken dan Ni Nyoman Nestri yang mengalami sakit tidak kunjung sembuh, momohon petunjuk kesembuhan di pura ini. Petunjuk yang diperoleh adalah bahwa pura Ceng Ceng Kembar ditinggalkan oleh para penyungsungnya dan diharapkan untuk dibangun kembali. Atas gotong royong para penyungsung, bangunan pura dapat dibangun kembali seperti saat ini.
Setelah beberapa kali melakukan pemugaran maka pada Anggara Kasih Dukut, 30 Oktober 2007, akhirnya dapat melaksanakan Karya Ngenteg Linggih Ida yang berstana di Khayangan Ceng Ceng Kembar. Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya Jero Mangku juga dapat pawisik atau bisikan untuk mendirikan Pelinggih Pasimpangan "Ida Betari Melanting" dan Pelinggih Pengayatan Ida Ratu Gde "Dalem Ped." Selain itu di pura ini juga terdapat Pelinggih Ida Ratu Kompyang Sakti, yang diyakini sebagai tempat seseorang yang mencapai Moksa dan dianggap sebagai abdi Ida Sasuhunan yang berstana di Khayangan Suci Ceng-Ceng Kembar.
Cerita mengenai seseorang yang mencapai Moksa awalnya terdengar dari mulut ke mulut dan terdapat versi berbeda di masing-masing ceritanya.
Dua teman yang tersisa kebingungan dan akhirnya pulang. Mereka tidak tahu keberadaan teman yang dipilih sebagai abdi tersebut. Namun, akhirnya mereka mengetahui bahwa teman mereka telah menjadi abdi di alam nirwana, berstana di Pura Kahyangan Suci Ceng Ceng Kembar.
Mereka mendirikan Pelinggih Ida Betara Kompyang Sakti untuk menghormatinya, dan sejak itu, setiap upacara dimulai dan diakhiri dengan mepekeling ring Ida Betara Kompyang Sakti. Nantinya beliaulah yang mengantarkan atau menyampaikan kehadiran pemedek yang melakukan sembah bakti ke Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar ini. Sehingga alur persembahyangan akan berurutan yang dimulai dari Pelinggih “Ida Ratu Kompyang Sakti”, Pelinggih Pasimpangan “Ida Betari Melanting”, Pelinggih Pengayatan Ida Ratu Gde “Dalem Ped”, serta di Luhur.
Pelinggih “Ida Ratu Kompyang Sakti” (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Di Pura Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar, terdapat sebuah sumur suci yang terletak di tepi pantai, namun airnya adalah air tawar. Manfaat dari sumur air tawar yang terdapat pada Pura ini tentunya untuk penglukatan. Air dari sumur ini merupakan penyudamala atau pembersih dari segala hal-hal yang berbau negatif, khususnya bagi orang yang sakit. Disamping itu juga air ini dimanfaatkan sebagai tirta. Air dari sumur tersebut sangat suci sehingga tidak diperbolehkan untuk dicemari.
Sumur air tawar yang berada di tepi pantai (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Adapun keunikan atau keajaiban yang ada di Pura Ceng Ceng Kembar antara lain:
- Setiap Pujawali Besar/Kecil tidak diperkenankan memakai sarana daging Babi.
- Adanya wana atau hutan kecil yang sama sekali tidak boleh ditebang.
- Di tepi pantai terdapat sumur yang memiliki air tawar.
- Rong pelinggih kembar atau dua.
Setelah sekian lama pura itu berdiri, maka dilakukanlah pengkajian tinggalan arkeologi di Pura Khayangan Ceng Ceng Kembar dan menerjemahkan Lontar Batur Kalawasan Petak. Hal ini yang menjadi titik terang tentang keberadaan Pura Suci Ceng Ceng Kembar sehingga mendapatkan status sesuai dengan keberadaan pura sesungguhnya, dimana status pura itu menjadi “Pura Khayangan Jagat” sesuai dengan surat keputusan nomor 43/PHDI.J/X/2019 pada 17 Oktober 2019 lalu yang secara resmi sudah disahkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Surat Keputusan Perubahan Status Pura (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Pura Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar ini juga sudah dikukuhkan oleh Bupati Jembrana, I Nengah Tamba. Sama halnya dengan surat diatas, awalnya status Pura ini Pura Luhur Suci Ceng Ceng Kembar, kini menjadi Pura Khayangan Jagat Luhur Suci Ceng Ceng Kembar berdasarkan Alih Aksara dan Terjemahan Lontar Batur Kalawasan Petak oleh Tim Pusat Kajian Lontar Universitas Udayana Tahun 2018, Surat Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Jembrana Nomor: 43/PHDI.J/X/2019 tanggal 17 Oktober 2019 perihal Status Pura, serta memperhatikan Surat Pengempon Pura Nomor 01/KJPSCCK/V/2021 tanggal 8 Mei 2021 yang bertempat di Banjar Adat Cepaka, Desa Adat Pangyangan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Sertifikat Pengukuhan oleh Bupati Jembrana (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Pustaka Lontar Batur Kalawasan Petak adalah naskah lontar penting bagi Brahmana Bujangga di Bali, dikoleksi oleh Ida Rsi Waisnawa Dharma Santika di Gria Batur Suci Banjar Sengguan Desa Gumbrih. Naskah ini berisi aspek filosofis, susila, dan panduan upacara untuk Bujangga Waisnawa di Bali. Naskah dengan 69 halaman ini, ditulis dengan aksara Bali dan menggunakan bahasa Kawi Bali seperti naskah-naskah historis lainnya.
Salinan Pustaka lontar Batur Kalawasan Petak (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Tim Pusat Kajian Lontar telah melakukan alih aksara dan terjemahan yang terfokus dari halaman 38a hingga 41a yang menceritakan perjalanan suci Ida Rsi Madura, putra Ida Sang Hyang Sunya Ning dari Majapahit, ke Pulau Bali. Ia dikirim untuk memperbaiki tatanan upacara agama Hindu Bali yang kacau. Ida Rsi Madura membawa sejumlah pustaka seperti Pustaka Raja, Camuscaya atau Sarasamuscaya, Adigama, dan Lingning Agama, yang akan disampaikan kepada para Brahmana Bujangga di Bali. Pustaka-pustaka ini penting sebagai panduan rohani. Selama perjalanan, ia memberi nama beberapa tempat suci, desa, dan gunung, termasuk Pura Pangyangan yang sekarang kita kenal sebagai Pura Khayangan Jagat Luhur Suci Ceng Ceng Kembar.
Terjemahan Lontar yang menyebutkan perjalanan Rsi Madura hingga di pura Pangyangan (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Dalam kisah sebelumnya, Pan Lodri mendapat petunjuk dalam mimpinya untuk mencari modal dengan menggali gundukan pasir di Pura Khayangan Suci Ceng Ceng Kembar. Hasil galian termasuk sebilah keris dan uang kepeng yang menjadi tinggalan arkeologi yang tersimpan di pura ini dan telah diperiksa oleh Balai Arkeologi Bali. Untuk sampai di Pura ini, diperlukan waktu kurang lebih 2 jam dengan kendaraan bermotor dari Kota Denpasar karena akan menikmati perjalanan sepanjang 63.4 km.