Endongan dan Tamiang Kuningan: Simbol mendalam tentang Pengetahuan Kehidupan

Endongan dan Tamiang adalah dua sarana penting dalam Hari Raya Kuningan. Endongan, berbentuk tas kecil, melambangkan bekal ilmu dan kebijaksanaan untuk menjaga keseimbangan hidup. Tamiang, berbentuk melingkar, melambangkan perlindungan diri dan diasosiasikan dengan Dewata Nawa Sanga, penguasa sembilan penjuru mata angin. Keduanya bersama menjadi simbol harmoni dan kesiapan dalam perjalanan spiritual.

Nov 26, 2024 - 11:00
Nov 23, 2024 - 08:48
Endongan dan Tamiang Kuningan: Simbol mendalam tentang Pengetahuan Kehidupan
Sampian Gantung dan Lamak(Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Hari Raya Kuningan memiliki makna filosofis yang mendalam, yang berasal dari kata dasar "uning" atau "kuning," yang berarti tahu atau sadar. Perayaan ini mengingatkan manusia untuk senantiasa menyadari hakikat hidup dan hubungannya dengan Sang Pencipta, serta menyampaikan rasa syukur atas karunia yang diberikan. Dalam upacara Kuningan, terdapat beberapa sarana penting yang memiliki simbolisme mendalam, di antaranya: Endongan, Tamiang, Ter, Sampian Gantung, dan Lamak. Masing-masing sarana ini menyampaikan pesan khusus yang berkaitan dengan perlindungan, bekal, kecerdasan, penolak bala, dan kekuatan spiritual. Masyarakat Hindu Bali mengenal berbagai sarana dan prasarana upacara yang sarat akan nilai simbolis. Berikut merupakan makna mendalam dari setiap sarana upacara dalam Kuningan : 

1. Endongan: Bekal Kehidupan dan Pengetahuan
Endongan memiliki makna mendalam dalam kehidupan spiritual umat Hindu Bali. Menurut Kamus Bali-Indonesia (1991), Endongan berarti wadah dari anyaman berbahan dasar daun kelapa yang berfungsi sebagai tempat perbekalan. Dalam konteks upacara, Endongan sering digunakan untuk membawa sesajen, tetapi secara simbolis, ia mewakili bekal kehidupan dan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap individu.

Endongan ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi )

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia harus selalu membawa "bekal" yang cukup, simbolis dalam bentuk Endongan, yang berisi elemen-elemen yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan hidup. Bekal ini tidak hanya berupa makanan fisik, tetapi juga bekal spiritual berupa Jnana (ilmu pengetahuan) dan kebijaksanaan. Endongan juga dilengkapi dengan "senjata" berupa Ter (panah), yang melambangkan ketajaman pikiran yang didasarkan pada pengetahuan dan kebijaksanaan.

2. Tamiang : Perisai Perlindungan 
Tamiang berbentuk bulat menyerupai tameng, melambangkan perlindungan diri dari ancaman, baik fisik maupun spiritual. Dalam kehidupan, tamiang mengajarkan pentingnya kontrol diri dalam menghadapi tantangan. Secara simbolis, tamiang mewakili Dewata Nawa Sanga, penguasa sembilan arah mata angin, serta melambangkan siklus kehidupan, yang diibaratkan seperti perputaran roda alam. 

Tamiang ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi )

Lebih dari sekadar perlindungan, tamiang juga menyimbolkan perputaran siklus kehidupan. Hal ini terkait dengan konsep "cakraning panggilingan", yaitu perputaran roda alam yang mencerminkan perjalanan hidup yang terus berputar dan bergerak maju, mirip dengan roda yang tidak pernah berhenti berputar. Perputaran ini menggambarkan bagaimana hidup adalah sebuah siklus yang selalu berubah, baik itu melalui lahir, hidup, mati, dan kembali ke asalnya.

Dalam tradisi Hindu Bali, filosofi tamiang bukan hanya tentang perlindungan dari bahaya fisik atau serangan energi negatif, tetapi juga sebagai pengingat akan perlunya pengendalian diri. Manusia diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara pikiran, tubuh, dan roh, serta terus berusaha mempertahankan harmoni dengan alam dan spiritualitas. Perisai atau tameng ini adalah representasi simbolik dari kekuatan batin untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.

3. Ter : Simbolis Senjata Panah
Ter, berbentuk seperti panah, melambangkan ketajaman pikiran. Panah, dalam konteks spiritual, sering diartikan sebagai alat untuk menembus kebodohan dan halangan. Ter mengajarkan bahwa pikiran yang tajam dan fokus adalah senjata utama untuk mengambil keputusan yang tepat dan bijak dalam menghadapi rintangan hidup. 

Ter ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi )

4. Sampian Gantung : Penolak Bala 

Sarana upacara dalam Hari Raya Kuningan yang memiliki fungsi sebagai penolak bala, atau penghalau energi negatif. Simbol ini sering dipasang di berbagai tempat, seperti di gerbang, atap rumah, dan palinggih (bangunan suci), sebagai pengingat pentingnya perlindungan dari ancaman, baik dari luar maupun dalam diri sendiri. Sampian Gantung tidak hanya melambangkan perlindungan fisik, tetapi juga mengajarkan umat Hindu Bali untuk menjaga keseimbangan batin dan memperkuat tekad spiritual.

Sampian Gantung ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi ) 

Menariknya, bentuk Sampian Gantung yang rumit dan penuh makna melambangkan kemampuan manusia untuk menghadapi tantangan dalam hidup. Seiring dengan keyakinan bahwa bahaya dapat datang dari mana saja, Sampian Gantung menjadi simbol bahwa manusia harus selalu waspada dan siap menghalau segala pengaruh buruk, termasuk godaan duniawi dan kelemahan diri sendiri.

Sampian Gantung dan Lamak( Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Secara spiritual, Sampian Gantung mengingatkan kita bahwa perlindungan batin tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari kekuatan kesadaran diri dan pengendalian emosi, agar dapat menolak segala hal yang merusak harmoni dalam kehidupan.

5. Lamak : Lebih dari Sekadar Hiasan
Lamak termasuk dalam golongan Cenigan, yaitu kelengkapan upacara yang terbuat dari dedaunan, umumnya daun aren tua yang dianyam dengan lidi bambu. Dalam praktiknya, Lamak ditempatkan di beberapa lokasi, seperti palinggih (altar suci) dan pelangkiran (ruang kecil di rumah atau pura). Banyak masyarakat beranggapan bahwa Lamak berfungsi sebagai elemen dekoratif yang memperindah tempat persembahan, namun Lamak dipercaya lebih dari sekadar hiasan dan merupakan simbol keagamaan yang kaya makna spiritual.

Secara etimologis, kata Lamak dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuna berarti alas, mencerminkan fungsinya sebagai tempat meletakkan sesajen atau persembahan dalam upacara. Sama halnya dengan bumi yang menjadi alas kehidupan, Lamak berfungsi sebagai media yang menghubungkan alam makrokosmos dengan upacara suci di Bali.

Ornamen Lamak:  Simbolis Keberagaman Alam Semesta
Lamak bukan hanya alas biasa; di dalamnya terdapat berbagai ornamen yang sarat akan simbol agama dan kosmologi Hindu. Beberapa simbol yang kerap ditemui di Lamak antara lain:
- Gunung, yang dipercaya sebagai sumber kehidupan, melambangkan hubungan antara dunia manusia dan dunia spiritual.
- Kayonan (pohon kehidupan), simbol keutuhan dan keseimbangan alam semesta.
- Cili-cilian, simbol Purusa dan Pradana, yang mewakili konsep dualitas kosmis Rwa Bhineda—keseimbangan antara kekuatan maskulin dan feminin.
- Bulan, bintang, dan matahari, yang masing-masing melambangkan kesejahteraan, keberanian, dan pemberi kehidupan. 

Lamak ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi )

Simbol-simbol tersebut menyiratkan bahwa Lamak mengandung segala aspek kehidupan dan alam semesta. Bahkan, ornamen seperti Pis Bolong (koin bolong) yang sering ditemukan di Lamak, diduga sebagai hasil akulturasi budaya Hindu dan Tionghoa di masa lalu.

Selain itu, Lamak sering dipasangkan dengan sampian gantungdari janur yang menggantungdalam upacara, melengkapi simbolisme yang terkandung dalam rangkaian tersebut. Hal ini menguatkan ungkapan tradisional, "Sampian gantung matimpal ajak Lamak," yang berarti bahwa keduanya saling melengkapi dalam konteks upacara.

Lamak dan Sampian Gantung ( Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Tiga Jenis Lamak
Dalam Lontar Tutur Rare Angon-, dijelaskan bahwa ada tiga jenis Lamak yang digunakan sesuai dengan fungsinya:
1. Lamak Terujungan (Teterujung), digunakan di halaman depan rumah atau lebuh saat pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya atau Tawur.
2. Lamak kecil, biasanya dipasang di beberapa palinggih seperti Apit Lawang dan tugu.
3. Lamak besar, ditempatkan di palinggih utama seperti Padmasana dan Gedong.

Setiap jenis Lamak ini digunakan pada konteks yang berbeda-beda sesuai dengan skala dan jenis upacara yang dilaksanakan. Selain dipasangkan dengan sampian gantung, Lamak juga kerap kali dipasangkan dengan Endongan, yang merupakan sarana upacara yang kerap kali dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali untuk dipersembahkan dengan tujuan tertentu.