Menelusuri Makna dan Sejarah Pura Mekele Dewa Gede Gamang
Pulau Bali dikenal sebagai Pulau Dewata. Salah satu Pura dengan nilai sejarah dan mitos tinggi yang sering ditemui di Pulau Bali adalah Pura Mekele Dewa Gede Gamang . Pura Mekele Dewa Gede Gamang terletak di Kabupaten Buleleng Bagian Barat. Pura ini adalah salah satu Pura Dang Khayangan atau penyusungan jagat yang terkait dengan kedatangan Pendeta Siwa Sidanta Dang Hyang Nirarta (Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh) pada abad ke-15 Masehi.
Pura Mekele Dewa Gede Gamang adalah salah satu pura penting di Kabupaten Buleleng, Bali, yang memiliki sejarah panjang dan kaya akan tradisi keagamaan Hindu. Pura ini memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan terhadap Dewa-Dewa utama dalam agama Hindu, serta menjadi pusat spiritual bagi masyarakat setempat. Seperti banyak pura di Bali, Pura Mekele Dewa Gede Gamang tidak hanya berfungsi sebagai tempat persembahyangan, tetapi juga sebagai simbol kekuatan spiritual, tradisi, dan kebudayaan masyarakat Buleleng.
Pura Mekele Dewa Gede Gamang (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pura Mekele Dewa Gede Gamang memiliki nama yang kaya makna dan mencerminkan sifat spiritual serta tradisi yang melekat pada pura ini. Nama "Mekele" diyakini merujuk pada nama lokasi atau daerah tempat pura ini didirikan, yang menjadi pusat kehidupan spiritual masyarakat setempat. "Gede," yang dalam bahasa Bali berarti besar atau agung, menunjukkan status pura sebagai tempat suci yang memiliki kedudukan tinggi dalam sistem keagamaan Hindu di Bali. Ini juga mengindikasikan bahwa pura ini tidak hanya penting dalam skala lokal, tetapi juga memiliki pengaruh yang lebih luas di wilayah Buleleng dan sekitarnya.
Sementara itu, kata "Gamang" memiliki arti yang lebih mendalam dan simbolis. Dalam bahasa Bali, "Gamang" bisa diartikan sebagai sesuatu yang goyah, tidak stabil, atau berada dalam ketidakpastian. Namun, dalam konteks spiritual, istilah ini merujuk pada pencarian keseimbangan batin dan kehidupan. Nama ini mengandung makna bahwa pura ini dibangun sebagai tempat untuk menemukan keseimbangan spiritual di tengah kehidupan yang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian. Masyarakat percaya bahwa dengan bersembahyang di Pura Mekele Gede Gamang, mereka dapat memohon perlindungan dan bimbingan spiritual untuk menghadapi berbagai kesulitan hidup. Gabungan dari ke empat elemen nama ini "Mekele," "Dewa," "Gede," dan "Gamang" menjadikan Pura Mekele Gede Gamang sebagai simbol dari pusat kekuatan spiritual yang agung, tempat masyarakat mencari kedamaian, perlindungan, dan keseimbangan dalam hidup mereka. Nama tersebut tidak hanya mengacu pada lokasi fisik pura, tetapi juga mencerminkan tujuan spiritual yang lebih dalam, yaitu tempat untuk memperkuat hubungan dengan para dewa dan leluhur, serta mencari petunjuk di tengah kehidupan yang dinamis dan terkadang tidak menentu.
Pura Mekele Dewa Gede Gamang diyakini didirikan pada masa perkembangan awal agama Hindu di Bali Utara, yang terjadi sekitar abad ke-16 hingga 17 Masehi. Pada masa tersebut, wilayah Buleleng mengalami perkembangan pesat dalam aspek politik dan keagamaan, terutama dengan berdirinya Kerajaan Buleleng. Para raja dan penguasa lokal, yang sangat berpegang teguh pada ajaran Hindu, mendirikan banyak pura sebagai pusat spiritual dan perlindungan. Pendirian pura ini didorong oleh kebutuhan spiritual masyarakat untuk memiliki tempat yang dapat digunakan sebagai pusat persembahyangan dan pemujaan kepada dewa-dewa dan roh leluhur. Pendirian Pura Mekele Dewa Gede Gamang juga terkait dengan ekspansi spiritual dari pendeta-pendeta besar yang berperan dalam penyebaran ajaran Hindu di Bali. Salah satu tokoh yang sering disebut adalah Dang Hyang Nirartha, seorang pendeta suci yang dianggap berjasa dalam menyebarkan ajaran Hindu di Bali pada abad ke-16. Meskipun tidak ada bukti langsung yang mengaitkan Nirartha dengan pendirian Pura Mekele Dewa Gede Gamang, pengaruh ajaran beliau diyakini memberikan inspirasi bagi pendirian banyak Pura di Bali, termasuk Pura Mekele Dewa Gede Gamang ini.
Pura Mekele Dewa Gede Gamang merupakan salah satu pura penting yang termasuk dalam kategori Pura "Dang Kahyangan", yaitu Pura yang didirikan untuk menghormati para leluhur suci dan dewa-dewa utama dalam agama Hindu. Fungsi utama pura ini adalah sebagai tempat pemujaan, di mana masyarakat datang untuk memohon perlindungan, berkah, dan keseimbangan spiritual. Selain menjadi tempat persembahyangan, Pura Mekele Dewa Gede Gamang juga dianggap sebagai pusat perlindungan spiritual bagi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat meyakini bahwa pura ini memiliki kekuatan magis yang mampu melindungi mereka dari bencana alam, penyakit, atau gangguan spiritual.
Pura Mekele Dewa Gede Gamang (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Saat melangkahkan kaki ke utama mandala, terlihat jelas jika pelinggih berbentuk arca tersebut berada di dalam bangunan yang menyerupai gua. Arca berbahan batu paras tersebut sepintas mirip seperti patung macan. “Sepintas tidak terwujud. Kalau diamati bisa berwujud bermacam rupa. Itu perlu ketenangan dan kesabaran untuk mengamatinya,” ujar Kelian pengempon Pura Pulaki dan Pesanakan. Pengempon Pura Mekele Dewa Gede Gamang mengatakan, kisah keberadaan Pura Mekele Gede Gamang sebagai pesanakan dari Pura Pulaki memang tidak terlepas dari Babad Pulaki.
Disana erat kaitannya dengan seorang tokoh yang disucikan bernama Dang Hyang Nirartha sekitar abad ke-14. Dalam babad Pulaki dijelaskan konon jumlah gamang di kawasan Pura Agung Pulaki mencapai angka 8.000 orang. Gamang ini awalnya adalah penduduk Pulaki yang dipralina (dimusnahkan) oleh Dang Hyang Nirartha menjadi wong samar. Pada awalnya, Dhang Hyang Nirartha datang ke Bali bersama dua istrinya, Sri Padmi Keninten dan Dewa Ayu Swabawa. Dang Hyang Nirartha sempat bertemu dengan seekor naga saat pertama kali meginjakkan kakinya di tanah Bali.
Dengan janana yang tinggi dan kuat, Dang Hyang Nirartha berhasil menyelamatkan diri dengan mengubah wajahnya dan melarikan diri dari mulut naga. Kedua istrinya ketakutan sehingga lari tunggang langgang. Sri Padmi Keninten kemudian ditemukan di Pura Pagaluhan, bagian atas Pura Pulaki. Istri Dang Hyang Nirartha yang lain, Dewa Ayu Swabawa, ditemukan di Pura Melanting di sekitar Pura Agung Pulaki. Dilaporkan bahwa masyarakat setempat mengganggu Dewa Ayu Swabawa, sehingga istri Dang Hyang Nirartha menolak untuk pergi ke Istana Gelgel dan meminta panugrahan agar tidak dilihat orang.
Saat itu, ilmu kanuragan diberikan kepada Dewa Ayu Swabawa untuk membuatnya menjadi tidak dapat dilihat oleh manusia. Sebaliknya, 8.000 orang yang tinggal di sana dipralina menjadi wong samar, yang kemudian tinggal di Pulaki. Ribuan wong samar itu juga terkenal sebagai tentara niskala Dang Hyang Nirartha ini hingga kini diyakini masih menjaga ketenteraman dan ancaman bahaya dari luar Bali. Keberadaan wong samar ini kemudian dipusatkan di Pura Goa Mekele Dewa Gede Gamang.