Potensi Edu-tourism di Desa Wisata Les
Desa Wisata Les di Buleleng Timur, Bali, menghadirkan keindahan alam dan budaya melalui Air Terjun Yeh Mampeh, Pura Puseh Panjingan, serta pembuatan garam tradisional Garam Palungan. Destinasi ini menawarkan pengalaman edu-tourism yang unik, menggabungkan keindahan alam dan kearifan lokal.
Membicarakan pesona dan potensi yang ada di Bali Utara terutama daerah Bumi Panji Sakti tidak akan pernah bosan jika mengunjungi daerah ini. Buleleng Timur masih sedikit yang mengetahui beberapa objek-objek wisata yang ada di sana, di bandingkan dengan Buleleng Barat yang lebih terkenal. Mari kita coba menelisik terkait wisata yang ada di salah satu daerah bagian Buleleng Timur yaitu Desa Les. Desa Les saat ini telah berkembang di sektor pariwisatanya sehingga diberi julukan tambahan Desa Wisata Les, bagaimana tidak? Desa Les pernah meraih nominasi 50 besar dalam Desa Wisata Nasional (ADWI) pada tahun 2024. Desa Wisata Les terletak di Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali. Tak hanya keindahan alamnya yang memukau, desa ini juga menawarkan pengalaman edukasi yang unik bagi wisatawan. Potensi Edu-Tourism di Desa Les semakin menarik untuk dikembangkan, mengingat minat antusiasme masyarakat terhadap wisata yang bernilai edukasi semakin meningkat.
Unik menjadi Menarik. Itulah jargon yang pas kita ungkapkan bila berkunjung ke Desa Les, ada beberapa keunikan yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran historia, misalnya; keberadaan Pura Puseh Les Penuktukan atau Pura Puseh Panjingan yang di mana tempat ini telah menjadi cagar budaya nasional. Pura ini menjadi cikal bakal dari sejarah Desa Les dan jalinan persahabatan antara Desa Les-Penuktukan. Ternyata setelah di kaji lebih dalam melalui Babad yang ada bahwa dulunya Desa Les dikenal dengan nama Desa Panjingan. Akibat kondisi geografis yang terletak diantara pesisir pantai yang konon kata Panjingan berasa dari kata manjing yang berarti masuk pada saat itu diyakini desa ini merupakan sebuah bandar/pelabuhan masuk ke Bali Dwipa sehingga desa ini sering di singgahi atau bahkan di lalui oleh pedagang-pedagang dari luar bali.
Kisah yang masih diingat hingga sekarang yaitu dulu di desa ini sering diadakan hiburan sabung ayam. Kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh masyarkat desa saja melainkan diikuti juga oleh orang-orang perahu atau dikenal dengan sebutan Wong Bajo. Pada saat itu terjadilah kekalahan oleh pihak Wong Bajo yang menyebabkan adanya konflik. Waktu berlalu membuat beberapa penduduk desa hidupnya berpindah-pindah akibat mengalami serangan. Dan untuk memperbaiki hubungan tersebut terciptalah Desa Les dan Penuktukan. Pura Puseh Panjingan ini disungsung oleh kedua desa ini sebagai simbol terjalinan pada masa lampau (Batur, 2020). Pura ini selain memberikan nilai spiritualitas juga memiliki edukasi kita bersama bahwa hubungan yang telah lama rusak akan dapat bersatu dan terjalin kembali, tak lupa dengan membersamai Tuhan disetiap langkahnya.
Foto Pura Puseh Desa Les (Sumber : Koleksi Pribadi)
Selain memiliki potensi dalam keindahan aspek spiritual saja. Desa Wisata Les memiliki pesona yang begitu apik dan menjadi aset tersendiri bila kita mengunjungi Desa ini. Obyek Wisata ini yaitu Air Terjun Yeh Mampeh. Air Terjun ini diberi julukan Yeh Mampeh yang berarti Air Terbang zdikarenakan air terjun ini memiliki ketinggian hingga lebih dari 30 meter. Tentunya dengan segala ciptaan yang Tuhan berikan kepada desa ini tidak terlepas pula untuk bagaimana masyarakat desa memberdayakan potensi desanya sehingga Air Terjun Yeh Mampeh saat ini masih terbilang asri dan airnya pun jernih. Diantara sejuknya sang bayu yang diapit oleh perbukitan Tangudi dan Bukit Pungsu. Sebelum menuju Air Terjun Yeh Mampeh, wisatawan bisa berkunjung ke mata Air Toya Anakan yaitu sumber mata air yang memiliki nilai religius bagi umat Hindu di Desa Les, karena mata air ini biasa di gunakan untuk Upacara Yadnya.
Foto Air Terjun Yeh Mampeh (Sumber : Koleksi Pribadi)
Selanjutnya yang tak kalah menarik yaitu adanya Kearifan Lokal yang telah menjadi budaya hingga saat ini yaitu pembuatan garam yang masih menggunakan teknik kuno didalam proses pembuatannya yang dikenal dengan nama Garam palungan. Pembuatan Garam Palungan ini disebut demikian karena salah satu alat yang digunakan itu disebut Palungan, dimana Palungan sendiri berfungsi sebagai media untuk air laut dijemur menjadi nyah yakni hasil dari penyulingan di tinjungan. Palungan terbuat dari batang pohon kelapa tua yang berusia diatas 50 tahun. Palungan ini telah menjadi warisan sejak lama dan seiring jalannya waktu sulit mencari pohon kelapa yang usianya di atas 50 tahun ditambah lagi dengan pembuatan palungan yang sangat sulit. Sudah ada beberapa cara serta inovasi guna menggantikan proses produksi garam palungan dengan menggunakan geomembran akibat banyaknya warisan alat Palungan yang sudah rapuh. Akan tetapi tetap saja ada kelebihan dan kekurangannya, karena menggunakan geomembran memang membuat petani garam menjadi praktis dalam produksinya namun, dari sisi rasa ataupun kualitasnya ketimbang menggunakan geomembran hasil dari Palungan menunjukkan justru lebih bagus ini ditunjukan dengan hasil garam yang bersih serta tidak terasa pahit. Mengenalkan proses pembuatan Garam Palungan yaitu produksi garam era kuno menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan selain itu juga menambah wawasan terlebih lagi bagi kita generasi muda yang kedepannya meneruskan serta memberdayakan potensi yang ada di Bali, terkhusus di Desa Wisata Les.
Foto Garam Palungan (Sumber : Koleksi Pribadi)