Desa Adat Batuan: Desa dengan Kearifan Kuno yang Terjaga
Bali, pulau dewata yang terkenal dengan keindahan alamnya, juga menyimpan permata budaya yang tak kalah berharga. Di tengah gemerlapnya pariwisata Bali yang terkenal, terdapat sebuah desa yang menjaga dengan kokoh warisan budayanya. Selamat datang di Desa Adat Batuan, sebuah tempat yang menjadi teladan hidup tentang bagaimana kearifan kuno dapat dilestarikan dalam masyarakat yang terus berubah.
Desa Batuan merupakan salah satu desa tua di Bali yang masih menjaga kearifan lokalnya hingga kini. Secara geografis, Desa Batuan terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar dan diapit oleh dua buah aliran sungai yaitu Sungai Petanu dan Sungai Wos yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakatnya. Rekam jejak perjalanan sejarah yang sangat panjang dari Desa Batuan tercatat dalam sebuah prasasti kuno bernama Prasasti Baturan. Prasasti ini terdiri atas tujuh lempengan tembaga yang memberikan gambaran mengenai keadaan Desa Batuan seribu tahun yang lalu. Disebutkan pada Prasasti Baturan bahwa prasasti tersebut ditulis pada tahun 944 Saka atau tepatnya 26 Desember 1022 pada masa pemerintahan raja Bali kuno Sri Aji Marakata. Dahulu desa ini bernama Desa Baturan, namun seiring perjalanan waktu penyebutan Desa Baturan berubah menjadi Desa Batuan.
Sebagai desa wisata, Desa Batuan memiliki beragam destinasi dan daya tarik wisata yang memukau. Salah satunya adalah Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan. Selayaknya pura Kahyangan Tiga di Bali, pura ini difungsikan sebagai tempat pemujaan dan melakukan kegiatan keagamaan oleh masyarakat desa yang beragama Hindu. Disamping itu, nilai artistik yang terkandung dalam setiap arsitektur bangunan di pura ini menjadikan Pura Desa lan Puseh Batuan memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan sehingga dibuka sebagai destinasi wisata yang ramai dikunjungi wisatawan mancanegara. Walaupun demikian, kesucian, kesakralan dan kelestarian lingkungan pura tetap dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat setempat. Selain keindahan setiap ornamen yang ada, daya tarik lainnya dari pura ini juga berupa cerita perjalanan sejarah dari pura yang sangat panjang dan merupakan pura puseh tertua di Bali, serta peninggalan purbakala yang berasal dari masa prasejarah. Peninggalan purbakala yang tersimpan di Pura Puseh Desa Batuan berupa arca, lingga, dan peripih. Berdasarkan penemuan benda-benda peninggalan purbakala ini, Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali yang dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang cagar budaya.
Tari Rejang Sutri (Sumber Foto : Koleksi Redaksi)
Masyarakat Batuan menjaga kearifan lokal yang diwarisi sejak zaman dahulu dengan sangat baik. Seperti sebuah tradisi yang diyakini sebagai tradisi penolak bala di Desa Batuan dan masih dijalankan sampai saat ini yaitu Tari Rejang Sutri. Tari Rejang Sutri merupakan tarian sakral yang ditarikan di Wantilan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan setiap sasih Kalima (bulan November) sampai sasih Kasanga (bulan Maret) oleh masyarakat Desa Batuan secara bergiliran. Penari tarian ini merupakan perempuan dari setiap banjar di Desa Batuan tanpa adanya batasan umur tertentu asalkan tidak dalam kondisi cuntaka. Adanya Tari Rejang Sutri di Desa Adat Batuan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap kisah pertempuran adu kesaktian I Dewa Gede Mecaling dengan I Dewa Babi. Dalam taruhan tersebut, I Dewa Gede Mecaling kalah dan harus pergi meninggalkan Desa Batuan. Akan tetapi, I Dewa Gede Mecaling tidak terima atas kekalahannya dan berjanji akan menuntut balas dengan menebar wabah penyakit di Desa Batuan pada sasih Kalima hingga sasih Kasanga. Oleh karena itu, masyarakat mengadakan dan menjalankan tradisi Tari Rejang Sutri sampai saat ini. Serangkaian dengan pementasan tarian sakral ini, diadakan pula sebuah gocekan (sabung ayam) yang dilaksanakan sebelum pementasan Tari Rejang Sutri.
Sebagai bagian dari Kabupaten Gianyar yang terkenal dengan julukan “Gumi Seni”, aliran kesenian pun mengalir deras di Desa Batuan. Terdapat begitu banyak seniman yang lahir di Desa Batuan, mulai dari seniman lukis, tari, patung dan ukir. Salah satu bentuk kesenian yang sangat populer di Desa Batuan adalah seni lukis gaya Batuan. Sejak tahun 2018, seni lukis Batuan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri karena teknik dan proses pengerjaannya yang kompleks dan relatif lama. Teknik yang digunakan oleh pelukis Batuan pada umumnya seperti nyeket, ngorten, nyawi, nyigar, ngucek, dan manyunin. Mengenai pemilihan tema, pelukis Batuan pada umumnya mengangkat tema berupa cerita rakyat, kisah pewayangan, kehidupan sehari-hari sampai kehidupan kontemporer. Di Desa Batuan terdapat perkumpulan seni lukis Batuan yang bernama Baturulangun yang beranggotakan para pelukis Batuan. Perkumpulan ini melakukan berbagai upaya guna melestarikan lukisan gaya Batuan dan mengadakan regenerasi pelukis Batuan melalui pelatihan gratis melukis gaya Batuan yang ditujukan kepada anak-anak di Desa Batuan.
Selain seni lukis, terdapat pula seni tari khas Batuan yang masih dilestarikan hingga saat ini. Tarian tersebut Bernama Tari Gambuh yang merupakan sebuah drama tari klasik Bali yang sudah sangat tua umurnya. Adapun lakon pada Tari Gambuh ini diambil dari lontar Malat yang mengisahkan cerita-cerita panji dengan dialog menggunakan Bahasa Kawi dan Bahasa Bali sesuai dengan perannya. Pementasan Tarian ini diiringi oleh seperangkat gamelan pagambuhan dengan sulingnya yang berukuran besar sebagai instrumen khasnya. Di Desa Batuan sendiri, Gambuh biasanya dipentaskan setiap upacara odalan di Pura Desa lan Puseh Desa adat Batuan yang jatuh setiap enam bulan sekali. Durasi pementasan tari gambuh ini pun cukup lama yakni sekitar 3 jam dalam satu kali pementasan.